Pelukan itu bertahan lama, hingga napas mereka mulai kembali teratur. Callista masih bersandar di dada Adrian, merasakan detak jantungnya yang perlahan melambat. Tangannya bergerak pelan di sisi tubuh pria itu, seolah memastikan bahwa momen ini nyata.
“Seandainya kita bisa simpan rasa aman ini di botol, dan buka kapan pun kita mau,” gumamnya lirih.Adrian mengusap punggungnya. “Kita nggak perlu botol. Kita punya tempat ini. Dan kita punya kita.”Callista tersenyum kecil. “Kamu tahu nggak… kamu selalu punya cara bikin aku percaya, bahkan waktu logikaku bilang jangan?”“Itu karena kita nggak main logika di sini. Kita main hati.”Mereka terdiam lagi, bukan karena kehabisan kata, tapi karena keheningan itu lebih banyak bicara. Callista memejamkan mata, tapi pikirannya masih bergerak—mengulang apa yang terjadi dengan Amelia, pesan di amplop, dan kemungkinan langkah selanjutnya.**Adrian seperti membaca pikirannya. “Kamu mikiSuara notifikasi ponsel berdering tanpa henti di meja kecil. Callista menatap layar yang terus berkedip, namun ia tidak bergerak untuk mengambilnya. Adrian berdiri di belakangnya, menyilangkan tangan di dada, sorot matanya fokus pada layar yang sama.“Dia mulai jalankan rencananya,” gumam Adrian.Callista akhirnya meraih ponsel, membuka deretan pesan yang masuk. Grup kampus penuh dengan tautan berita, artikel opini, bahkan potongan video yang sudah dipelintir. Judul-judul yang mencolok bertebaran: Mahasiswi Berbakat Terjebak dalam Skandal, Dosen Karismatik dan Bayang-Bayang Perselingkuhan, Siapa Sebenarnya Callista?Callista menelan ludah, membaca komentar yang jauh lebih kejam daripada sekadar berita. Perempuan penggoda… mahasiswi tanpa moral… hanya numpang popularitas. Semuanya seperti anak panah yang berusaha menusuk dari berbagai arah.“Dia sengaja pakai jalur kampus,” kata Adrian, suaranya berat. “Dia tahu dunia akademis masih punya gengsi. K
Adrian membuka map kecil yang semalam ia sembunyikan di laci. Callista berdiri di dekat jendela, tubuhnya tegak namun matanya memantul gelisah. Hening yang menebal membuat suara kertas berdesir terdengar terlalu keras.“Dia mulai main di luar jalur,” ujar Adrian, nadanya rendah namun berat. “Kalau Amelia sudah mengirim pesan terbuka untuk bertemu, itu artinya dia siap membuka kartu besar.”Callista menoleh, menatapnya lekat. “Kamu yakin ini bukan jebakan?”“Justru itu. Dia tidak pernah bergerak tanpa jebakan.” Adrian menutup map itu kembali, lalu berjalan mendekati Callista. “Tapi kalau kita tidak datang, dia akan memutar narasi di depan publik seolah-olah kita pengecut. Amelia paham permainan ini—dan aku lebih paham lagi.”Callista menghela napas, berusaha meredakan degup jantungnya. “Kalau begitu, kita harus siap, Adrian. Bukan hanya siap mental, tapi juga siap strategi.”Adrian menatapnya, wajahnya serius. “Itu sebabnya kamu harus ada
“Kalau benar Amelia yang kirim pesan itu, berarti dia udah siap hadapi kita langsung,” kata Callista, suaranya mantap meski jemarinya saling menggenggam erat di pangkuan.Adrian duduk di depannya, bahunya sedikit menegang. Tatapan tajam pria itu menempel pada amplop kosong yang tergeletak di meja. “Dia nggak akan pernah kirim pesan sejelas ini tanpa tujuan. Pertemuan itu bukan undangan, tapi jebakan.”Callista mencondongkan tubuh. “Dan kamu tetap mau datang?”“Ya,” jawab Adrian tanpa ragu. “Tapi kita yang tentuin caranya, bukan dia.”Ada hening yang menggantung di antara mereka, seolah setiap detik mengandung kemungkinan yang bisa mengubah arah semuanya. Callista tahu, Adrian bukan tipe orang yang main-main dengan keputusan seperti ini. Jika ia sudah bilang akan datang, berarti pria itu sudah siap menanggung semua risikonya.“Aku ikut,” kata Callista tegas.Adrian menoleh cepat, matanya sedikit menyipit. “Aku nggak mau kamu jadi
“Aku masih nggak percaya kalau kita benar-benar ada di titik ini,” ucap Callista pelan, suaranya terdengar seperti bisikan yang hanya dimaksudkan untuk Adrian. Adrian menatapnya, lalu menyentuh pipi gadis itu dengan lembut. “Kita ada di sini bukan karena kebetulan. Kita ada di sini karena kita mutusin buat nggak tunduk.” Callista menahan tatapannya, mencoba menyerap keyakinan yang selalu dipancarkan pria itu. Ada sesuatu dalam cara Adrian berbicara—datar tapi penuh kepastian—yang membuatnya merasa mereka selalu punya peluang, bahkan ketika jalan tampak buntu. Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu, langkah mereka berikutnya akan membawa konsekuensi yang tidak bisa lagi ditarik kembali. “Aku kepikiran satu hal,” ucap Callista setelah hening cukup lama. “Kalau Amelia udah siapin semua ini dari awal, berarti dia juga udah prediksi langkah-langkah kita. Kita nggak bisa main normal. Kita harus bikin dia salah baca kita.”
Napas Callista mulai stabil, tapi tubuhnya masih diselimuti sisa hangat dari pelukan Adrian. Ia tidak bergerak, hanya membiarkan kepalanya tetap di dada pria itu. Suara detak jantung Adrian yang tenang menjadi pengingat bahwa di sini, ia aman.Namun di balik rasa aman itu, pikirannya tetap berjalan. Perang belum selesai. Mereka hanya mengambil jeda—dan jeda ini akan segera berakhir.“Aku nggak mau cuma bertahan, Adrian,” suaranya pelan tapi tegas. “Kita harus mulai nyerang.”Adrian membuka mata, menatap langit-langit sebentar sebelum menurunkan pandangan ke Callista. “Aku tahu. Dan aku udah siapin beberapa langkah. Tapi aku mau kamu dengar semuanya sebelum kita mulai.”Callista mengangkat wajah, mata mereka bertemu. “Oke. Katakan.”Adrian duduk, menarik Callista untuk duduk bersandar di pahanya. Tangannya masih memeluk pinggang gadis itu, memastikan kedekatan itu tetap terjaga. “Pertama, kita manfaatin jaringan yang kita punya di luar med
Begitu pintu baja itu kembali terkunci, suasana ruangan seperti tertutup rapat dari dunia luar. Tidak ada lagi suara mesin mobil, teriakan, atau ketukan mengancam. Hanya ada napas mereka berdua—masih sedikit berat karena ketegangan yang barusan terjadi.Callista berdiri mematung, pandangannya tertuju pada meja yang dipenuhi map. Tapi tubuhnya tidak lagi tegang seperti tadi. Kini, ada rasa lega bercampur adrenalin yang belum sepenuhnya reda.Adrian berjalan mendekat perlahan. “Mereka nggak akan balik malam ini,” ucapnya, suaranya rendah tapi penuh keyakinan. “Kita aman… untuk sekarang.”Callista menoleh, dan baru saat itu menyadari betapa dekatnya Adrian berdiri. Cahaya lampu membuat rahang pria itu terlihat tegas, matanya masih menyimpan sisa amarah sekaligus ketenangan yang ia ciptakan untuk melindunginya.“Aku nggak tahu kalau aman itu rasanya kayak gini,” gumam Callista.“Kayak gimana?” tanya Adrian sambil mendekatkan wajahnya.