Terperangkap Dalam Gairah Dosen Muda

Terperangkap Dalam Gairah Dosen Muda

last updateTerakhir Diperbarui : 2025-06-12
Oleh:  Atdriani12On going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Belum ada penilaian
5Bab
12Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Callista hanya ingin fokus kuliah dan lulus tepat waktu demi bisa bekerja dan membiayai pengobatan ibunya. Tapi semua berubah saat ia menerima tawaran menjadi asisten penelitian dosennya, Adrian. Yang tak pernah ia duga, langkah itu justru menyeretnya ke dalam hubungan terlarang dengan pria yang sudah beristri.

Lihat lebih banyak

Bab 1

BAB 1

“Shhh … Pak Adrian… ini masih di area kampus.”

Suara Callista lirih, bergetar seperti bisikan yang tak ingin terdengar siapa pun, namun cukup tajam untuk menggantung di udara sunyi ruang dosen yang hanya diterangi cahaya temaram dari lampu meja. Tubuhnya terjepit di antara lemari arsip dan meja kerja. Adrian berdiri terlalu dekat, terlalu dalam—bukan sebagai dosen, tapi sebagai pria yang sudah kehilangan pegangan.

Napas mereka memburu, saling bertubrukan dalam jarak yang nyaris tak menyisakan ruang untuk waras.

“Memangnya kenapa?” Suara Adrian serak, rendah. “Semua orang sudah pulang.”

Tatapan matanya mengunci Callista. Gadis itu menunduk, tapi tubuhnya tak menjauh. Wajah yang biasanya tenang kini penuh keraguan, ketakutan, dan yang tak bisa ia dustai, adalah kerinduan.

Adrian menunduk perlahan. Bibirnya menyentuh milik Callista dengan sedikit ragu, mencari celah dalam hati gadis itu. Namun, yang ia temukan adalah jawaban.

Ciuman itu berubah. Dari ragu menjadi haus. Dari pelan menjadi deras. Seolah mereka berdua menyimpan lautan luka yang akhirnya tumpah melalui sentuhan itu.

Tangan Adrian meremas pinggang Callista, menarik tubuhnya hingga tak menyisakan jarak. Callista membalas pelukannya, genggamannya pada bahu Adrian begitu kuat seolah jika ia melepaskan, ia akan kembali tenggelam dalam dunia yang tak memberinya ruang untuk bernapas.

Mereka bergeser mundur, hingga punggung Callista menabrak meja kerja. Adrian mengecup lehernya, tangannya menyusuri punggung gadis itu yang mulai bergetar, bukan karena takut, tapi karena terlalu lama merasa hampa.

“Pak…” bisik Callista, nyaris tak terdengar. Tapi kali ini bukan untuk menghentikan. Bukan juga untuk menegur.

Itu hanya bisikan yang lemah, ragu, tapi juga terasa jujur.

Semuanya berawal beberapa bulan lalu. Saat beasiswa Callista tiba-tiba dicabut tanpa pemberitahuan dan alasan yang jelas. Saat masa depannya nyaris lenyap karena ancaman DO, dan saat dunia seolah membebaninya lebih dari yang bisa ia tanggung. Ayahnya telah lama tiada, dan ibunya divonis mengidap kanker serviks. Callista tak punya siapa-siapa, tak punya pekerjaan untuk membayar semua itu.

Kemudian, Adrian hadir seperti jawaban—awalnya. Ia adalah dosen muda yang baik, peduli, dan mau memberikan jalan untuk Callista bertahan. Ia menciptakan celah agar Callista tetap bisa kuliah dengan menjadikannya sebagai asisten penelitiannya juga membantunya bicara dengan pihak kampus, bahkan ia menyisipkan uang makan melalui proyek asisten yang tampak resmi.

Namun, semua kebaikan itu perlahan berubah bentuk. Menjadi candu, menjadi keterikatan, dan mungkin menjadi perasaan.

Dan kini, di ruang kerja yang dingin dan penuh tekanan, keduanya terjebak dalam pusaran yang tak lagi bisa dibendung.

Ciuman mereka terlepas. Tatapan mereka bersirobok dalam sunyi. Tubuh mereka berkeringat meski AC menyala penuh.

“Maaf,” ujar Adrian akhirnya. Suaranya pelan, hampir tak terdengar, tapi berat. Ia melangkah mundur dan menunduk seolah menyadari apa yang baru saja ia perbuat.

Callista hanya diam. Matanya basah, namun bukan karena menangis, melainkan karena terlalu banyak perasaan yang tak bisa ia salurkan. Selama ini, ini adalah kali pertama mereka melakukan hal sejauh ini.

Callista menarik napas, lalu pelan-pelan merapikan kancing kemejanya.

“Saya pulang duluan,” ucapnya. Suaranya nyaris patah.

Tak ada yang menahan. Tak ada yang bicara.

Dan ruangan itu tertinggal bersama bau kopi basi… dan dua orang yang tahu, malam itu mereka sudah terlalu dekat dengan jurang.

Callista berjalan cepat keluar gedung. Di setiap langkahnya, ia ingin menahan air mata.

“Kenapa semua harus serumit ini?” batinnya.

Namun ia tahu jawabannya. Karena hidup tak pernah memberi pilihan mudah bagi orang yang hanya ingin bertahan.

**

Sementara itu, di sebuah rumah mewah bergaya klasik…

Adrian membuka pintu rumah dengan gerakan malas. Gerimis tipis menyelimuti jaketnya, tapi ia bahkan tak peduli. Begitu masuk, aroma parfum mahal langsung menyeruak tajam, menusuk, bercampur dengan sisa alkohol ringan.

Lampu menyala, tapi rumah terasa kosong, dingin, seperti sesuatu yang telah lama mati.

"Amelie?" panggilnya, suara parau.

Dari arah tangga, suara langkah hak tinggi terdengar. Lalu muncullah Amelie, masih dengan gaun pesta berbelahan tinggi, kalung mutiara menggantung di leher. Lipstiknya memudar, tapi senyumnya masih angkuh.

"Baru pulang? Dari mana?" tanya Adrian datar.

“Dari arisan,” jawab Amelie sambil meletakkan clutch bermerek. “Ngobrol-ngobrol sama teman, sekalian wine tasting.”

Adrian mengangguk kecil. Ia memandangi meja makan kosong. Rumah berantakan. Tak ada makanan.

Ia mendekat ke arah tangga. Pandangannya tertuju ke punggung wanita itu—sosok yang dulu ia kagumi. Cantik. Cerdas. Tapi kini terasa asing.

“Mel…” bisiknya, pelan, penuh permohonan. “Temani aku malam ini, ya?”

Amelie berhenti sejenak. Tapi tidak menoleh. Ia hanya melanjutkan menyisir rambut yang mulai kusut.

Lalu, dingin, ia menyingkirkan tangan Adrian dari pinggangnya.

“Adrian… aku juga capek,” katanya. Datar. Tak ada sisa kelembutan.

Adrian menahan napas. Sudah terlalu sering kalimat itu ia dengar.

“Capek,” ulangnya lirih, getir. “Tapi kamu selalu sempat dandan. Sempat pesta. Sempat unggah foto di I*******m. Kamu cuma capek… kalau urusannya soal aku.”

Amelie menoleh, tatapannya defensif. “Aku juga punya kehidupan, Adrian.”

“Tapi kamu juga punya suami,” suaranya mulai meninggi. “Dan aku bukan figuran.”

Keheningan menggantung.

Amelie mengalihkan pandang. “Tapi aku gak harus melayani kamu setiap malam cuma karena kamu suamiku.”

Di titik itu, sabar Adrian pecah.

“Jadi aku harus apa? Nyewa perempuan buat nyentuh aku? Supaya aku bisa merasa kayak laki-laki normal? Karena jelas, istriku sendiri bahkan gak mau sentuh aku, bahkan saat aku minta dengan baik!”

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

Bab Lainnya

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

Tidak ada komentar
5 Bab
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status