Share

3. Menjaga Langkah

9 Januari 2019

[+62 835-xxxx-xxxxx: Pak Dalvin, hari ini masih belum bisa masuk kerja?]

[Dalvin: Ya menurut lu aja gimana ngab]

[+62 835-xxxx-xxxxx: Maafin saya pak.. saya pas itu panik]

[Dalvin: O gt y]

[+62 835-xxxx-xxxxx: Iya pak, maaf pak saya beneran nggak maksud bikin bapak celaka

+62 835-xxxx-xxxxx: Sekali lagi saya minta maaf pak]

Dalvin enggan membalas pesan terakhir yang dikirimkan oleh Biya walau tiga hari telah berlalu. Lelaki itu terlalu jengkel atas kejadian menghebohkan di bioskop. Rasa malu sekaligus sakit di seluruh tubuh masih menyiksanya sampai saat ini--tidak, sejujurnya rasa malu Dalvin jauh lebih besar dibandingkan sakit.

Dalvin terpaksa izin sakit dan bahkan sempat menerima omelan dari Ibu yang selama tiga hari memanggil tukang pijit berturut-turut agar kondisi tubuh Dalvin segera membaik. "Kamu gimana bisa jatuh? Badan segede gini jelas sakit pas ngehantam lantai!" Dalvin terlalu gengsi untuk memberitahu Ibu jika dirinya dibanting oleh seorang perempuan--yang badannya jauh lebih kecil darinya pula.

Hari ini Dalvin baru bisa masuk kerja, dan sialnya, saat melangkah masuk ke dalam gedung perusahaan malah langsung bertemu Biya yang tengah berdiri di depan lift bersama Maya. Tidak ada karyawan lain selain mereka yang menunggu, menyebabkan Dalvin mau tidak mau dilihat dan disapa oleh mereka.

'Bete banget lihat mukanya,' Dalvin menggerutu dalam hati dibarengi wajah jutek setengah mati kala menghentikan langkah di depan lift. Dia berdiri di samping dua perempuan itu saat lift nyaris sampai di lantai satu. Melihat wajah Biya mengakibatkan sekelebat memori buruk di hari itu menyerang hingga rasa malu kian bertambah tiap detiknya.

Di sana, Dalvin ikut menunggu lift.

"Pak Dalvin!" Maya menyapa ceria seperti biasanya. Dalvin ingin balik menyapa Maya, tapi malas sekali sesudah melihat wajah Biya yang kelihatan kikuk. Alhasil, Maya langsung overthinking. Memikirkan, 'Mukanya Pak Dalvin gitu amat?! Gue ada salah apa?! Gimana nih?!'

Lift di lantai satu terbuka ketika sampai. Dalvin melipat kedua tangannya judes sembari berkata, "Kalian duluan aja. Saya nunggu yang selanjutnya."

Bagaimana Maya tidak tambah overthinking? Maya melirik ke arah Biya yang membeku dan menunduk canggung. Maya ingin meninggal detik itu juga, karena paling tidak suka jika ada atasan yang marah atau bermusuhan dengannya. Maya hanya malas jika diberi banyak tugas khusus sebagai hukuman atau tempat kerja menjadi tidak kondusif.

Maya berusaha menunjukkan cengiran bersahabat walau hasilnya malah terlihat super kaku. "Pak Dalvin beneran nggak mau bareng aja? Masih banyak tempat--"

"Kalau saya bilang 'nunggu selanjutnya' ya berarti 'nunggu selanjutnya'!"

Dalvin terlalu malas berada di dekat Biya. Bernapas di dunia yang sama saja sudah membuat Dalvin muak. Maksud Dalvin, kenapa dia harus terlibat dengan Biya? Kenapa juga harus Dalvin yang menganggung malu di bioskop? Waktu itu, dia digotong beberapa orang agar bisa sampai ke tempat parkir dan diantarkan oleh Arsen pula.

Dalam hati, Biya juga sama seperti Maya alias ingin mati saja.

***

12.45

Jam istirahat makan siang akan segera tiba. Biya dan Maya memutuskan untuk pergi ke kamar mandi bersama, karena ingin buang air kecil sekaligus menemani Maya membenahi penampilan di depan cermin. Di balik bilik kamar mandi masing-masing, Maya mengoceh tanpa henti mengenai sikap Dalvin sejak pagi hingga siang ini.

"Pak Dalvin hari ini galak banget tau. Padahal biasanya enggak gitu," tuturnya dengan nada sebal bukan main saat masih buang air kecil. "Tadi pagi diajakin naik lift bareng nggak mau. Terus selama kerja dia judesin semua orang Ya Tuhan, Bi! Herannya, dia juga numpukkin sebagian kerjaan orang lain ke lo. Lo ada salah ke itu orang sampe dia marah-marah apa gimana, deh?!"

Biya jelas tidak bisa menjelaskan alasan kenapa Dalvin mudah marah hari ini. Mana mungkin dia memberitahu Maya jika tiga hari lalu Dalvin berhasil dibanting ke lantai oleh perempuan dengan tubuh sekecil Biya? Di depan umum pula. Biya bisa membayangkan rasa malu yang Dalvin dapatkan saat itu.

Sebenarnya, Biya juga masih merasa bersalah sampai sekarang.

"Nggak lah, orang gue deket sama Pak Dalvin aja enggak." jawab Biya sembari tertawa kaku.

Biya mengenakan kembali celananya lalu menekan flush toilet. Dia keluar dari bilik toilet, berjalan mendekati cermin, dan menunggu Maya di sana.

***

16.22

[Kak Arsen: Biya, udah minta maaf ke dalvin blm?

Kak Arsen: Cepetan minta maaf. Dia kalo ngambek lama lho sampe setaunan bisa itu

Kak Arsen: Lagian lo aneh" temen gue pake lo banting segala ah. Udah malu, sakit juga anjir]

"Bi, gue pulang duluan ya. Lo nggak papa kerja sebanyak itu?"

Biya meringis dibarengi jemarinya yang bergenti bergerak di atas keyboard. Dia kemudian mengangguk, karena tidak enak jika membuat Maya menunggu di perusahaan.

"Iya, nggak papa. Lo duluan aja," jawab Biya. Dia berusaha tidak menunjukkan kelesuannya di depan sang teman. "Oh iya, nanti jangan lupa cuci piring. Tadi pagi lo masak tapi belum lo cuci semua."

Sekadar informasi, apartemen studio yang mereka tinggali sekarang sebenarnya dimiliki oleh sepupu Maya yang super kaya raya. Tapi, karena sepupunya tak menggunakan tempat tersebut dan pindah ke luar negeri untuk bekerja--dia pun memberikannya pada Maya secara gratis, karena jangka sewanya juga masih lama.

"Siap, Bi. Ya udah gue pulang duluan ya. Gue pesenin makanan nanti. Jadi lo makan di apart aja, oke?"

Sesudah Maya berlalu pergi, hanya tersisa Biya dan Dalvin di dalam ruangan itu. Lagi. Semua pegawai sudah pulang pukul empat tadi. Biya menghela napas lelah--matanya sakit, karena angka dan laporan yang dia urus lebih banyak daripada biasanya.

Tak lama, Biya mendengar suara decitan antara kursi dengan lantai. Dia mendongak; menemukan Dalvin sudah berkemas. Bersiap pulang meninggalkan Biya seorang diri di ruangan super dingin.

'Ah, gue takut banget kalo sendirian di sini. Gimana nih?!' Biya menjerit cemas saat memandangi sang atasan yang sudah memasukkan seluruh barang ke dalam tas ransel.

"Apaan ngelihatin saya terus? Tambah ganteng ya abis dibanting?" tanya Dalvin setengah menyindir. Dia jelas menyadari bahwa sedari tadi diperhatikan oleh si perempuan.

Biya buru-buru menggeleng dan menjawab pelan sekali. "Enggak, Pak.."

Lelaki itu membuang napas kasar. Dia memincingkan mata judes--sungguh menunjukkan dendamnya pada Biya melalui gerak-gerik tubuh. Bagaimana tidak dendam kalau Biya meninggalkan kesan yang tidak baik.

"Jangan pulang sampai kerjaan kamu selesai," Dalvin memperingati dengan nada penuh ancaman sembari menunjuk wajah Biya menggunakan jari telunjuk. "Nggak usah alasan sakit atau ada janji biar bisa pulang sekarang. Awas aja kerjaan kamu nggak beres."

Biya ingin menangis. Dia enggan ada di kantor sendirian. Maka dari itu, saat Dalvin berjalan menuju ke arah pintu--Biya segera berdiri dan meneriakkan sesuatu yang sukses mengakibatkan Dalvin berlari ke arah tempat Biya lalu mencengkeram jengkel bahu si perempuan.

"Kalau Bapak nggak maafin dan jahatin saya terus, saya bakal kasih tahu ke orang-orang kalau Bapak ngisap dot!"

Dalvin menggeram frustrasi. Dalvin mengguncang kasar bahu Biya dan berteriak tertahan.

"ARE YOU BLACKMAILING ME? HOW DARE YOU?!" Dalvin tidak habis pikir dengan kelakuan Biya. Kemarin dibanting ke lantai, sekarang malah diancam. Dalvin nyaris mencekik leher Biya akibat amarah yang sudah naik ke ubun-ubun. "You're so mean, Biya! Kamu pikir saya mau terlibat sama kamu? Saya juga ogah! Keterlaluan kamu, pakai ngancam saya segala!"

Biya merasa bersalah.

Tapi, mau bagaimana lagi?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status