Ivona memasukkan kembali handphone miliknya. Tadi dia memang beralasan untuk pergi ke toilet, tapi sebenarnya perempuan paruh baya itu menggunakan waktu yang ada untuk menelepon Killian.
Setelah setengah jam lebih berbicara panjang kali lebar dan bahkan diselipi omelan juga desisan penuh ancaman, Ivona akhirnya mengakhiri sambungan teleponnya. Hati perempuan itu terasa sedikit ringan karena bisa mengomeli Killian, meskipun belum puas betul.
Dia baru saja sampai di pintu toilet sewaktu terdengar suara bentakan dan tamparan.
'Apa ada orang yang bertengkar?' pikir Ivona, tidak habis pikir.
Restoran yang mereka pilih sebagai tempat makan ini termasuk restoran kelas atas, di mana tentunya tidak sembarang orang yang bisa masuk. Lalu, apa penyebab keramaian itu?
"DASAR GADIS MURAHAN!"
"I—bu."
"Ya Tuhan."
Ivona bahkan nyaris tidak berpikir. Perempuan yang tetap terlihat cantik di usia 50 tahun itu langsung berlari ke arah A
Seumur hidup, Killian belum pernah serisau ini. Lelaki itu sudah merasa gelisah sejak Ivona secara tiba-tiba datang siang tadi. Ditambah lagi ibunya yang mendadak mengajak Ansia pergi dengan dalih ingin berbelanja bersama. Killian tahu bagaimana penilaian ibunya terhadap Ansia. Meski tidak terlalu seperti Claude, ayahnya, tapi Ivona juga tidak bisa dikata menyukai calon istrinya itu. "Bagaimana kalau nanti Ibu bicara macam-macam?" gumamnya, gusar sendiri. "Lalu bagaimana kalau nanti Ansia tersinggung dan marah?" Memikirkan perasaan orang lain seperti ini sebenarnya merupakan hal yang baru bagi Killian. Bisa dikata dia sangat jarang, bahkan nyaris tidak pernah memperhatikan hal remeh semacam itu. Bagi Killian, perasaan orang lain tidak pernah menjadi hal yang penting. Bukankah dengan uang semua bisa terselesaikan? Bahkan orang yang awalnya membenci atau menentangnya sekali pun, mendadak bisa menurut kalau disodori segepok uang. Jadi, un
Jantung Ivona nyaris melompat ke tenggorokan. Rasanya, ada jeda satu detakan di mana jantungnya berhenti berdenyut.Dengan gemetaran di sekujur tubuh, dia mempererat pelukan tangan yang melingkar di perut Aila, sementara satu tangannya memegang kuat bingkai pintu mobil."Tenanglah, Sayang. Jangan bergerak dan meronta, atau kita berdua akan jatuh bersama. Mengerti?" bisik Ivona, sementara laju mobil perlahan diperlambat oleh sang supir.Tadi itu nyaris saja.Aila sudah membuka pintu mobil dan melompat keluar tanpa keraguan. Syukurlah Ivona masih sempat menangkapnya sebelum gadis itu benar-benar terjatuh."Sekarang aku akan menarik kita masuk," ujar Ivona, masih berbalas sikap diam Aila.Menarik napas, Ivona menghela ke belakang dan membuat mereka berdua jatuh ke atas kursi mobil. Posisi Aila sedikit menindih dan meski napas mereka sama terengah, Ivona masih belum melepas pelukannya. Setidaknya sampai mobil berhenti sempurna dan sang supir lan
"Apa ada hal lain yang Anda butuhkan, Nona?""Ada.""Ya? Kalau begitu, silakan katakan saja, Nona.""Apakah ada sesuatu yang bisa membuatku menghilang dari sini?"Tiga orang pelayan perempuan yang tadi membantu Aila membersihkan diri sekaligus merawat luka dan memar gadis itu, tersenyum dan menahan tawa.Aila jelas terkena serangan panik. Wajah gadis itu sejak tadi memerah dan sikapnya juga gelisah. Bayangan kalau dia harus tidur di kamar Killian membuat gadis bersurai coklat itu benar-benar tegang."Tenanglah, Nona. Nona akan baik-baik saja," ujar salah satu pelayan, memberi Aila senyuman menenangkan."Benarkah?" cicit Aila dengan napas tercekat. "Apa kalian yakin?"Saling bertukar senyuman, ketiga pelayan itu memberi anggukan meyakinkan."Iya," sahut salah seorang pelayan perempuan yang lain. "Siapa lagi yang bisa menaklukkan Tuan Muda kalau bukan Nona?"Ketiga pelayan perempuan itu lalu tertawa bersama. Rupanya
Ada rasa kantuk yang sangat yang dirasakan Aila. Kedua mata gadis itu terasa sangat berat untuk dibuka, pun kenyamanan tempatnya tidur semakin membuat gadis bersurai coklat itu enggan untuk bangun dari tidur.Namun toh, ada sesuatu yang membuat tidurnya tidak nyenyak. Tubuh gadis itu perlahan menggeliat, sedangkan bibir mungil berwarna peach yang menggoda itu mulai terbuka dan mengeluarkan suara desahan."Akh! Akh! Nghhnn ...." Meremas sprei, Aila merasakan geli yang nikmat di bagian intimnya, membuat gadis itu berusaha merapatkan kedua kaki. Namun ternyata ada yang menahan, membuat sepasang kaki jenjang itu tetap terbuka lebar. "Ngh! Ngh! Akh!"Ada yang menusuk-nusuk dan mengoyak kewanitaannya. Sesuatu yang lembek dan hangat tapi dengan permukaan kasar, seolah sedang menari-nari, keluar, masuk, dan entahlah apa lagi, yang jelas Aila merasakan nikmat.Gadis itu juga merasa sepasang aset kembarnya diremas-remas. Kedua ujungnya dipelintir, dijepit dan ditar
Killian baru menyelesaikan pekerjaannya setelah lewat tengah malam. Meski kondisinya buta seperti ini pun, dia tidak betah kalau terus diam tanpa melakukan apa pun. Memang, segala urusan mengenai bisnis keluarga Ardhana dan keluarga Reinhardt yang semula ditangani oleh Killian, sudah dialihkan ke beberapa orang yang lelaki buta itu percayai dan tunjuk sebagai wakil secara langsung. Selain itu, ayahnya, Claude Agentine, juga ikut memantau dan mengawasi segalanya. Lelaki Rusia itu memutuskan tinggal di Indonesia untuk sementara waktu agar bisa membantu putra semata wayangnya. "Padahal Ayah nggak perlu repot seperti itu," gumamnya, menyugar rambut dan menghela napas panjang. "Kenapa capek sekali, ya, rasanya? Padahal biasanya, bekerja sampai pagi pun nggak masalah." Menelungkupkan kepala di atas meja, Killian menyatukan kedua tangan di tengkuk. Beberapa kali lelaki buta itu menghela napas panjang. Segera setelah dia mengalami kebutaan, Killian la
Four Season Hotels and ResortPenthouse Suites Di kamar kerja Aria Hills. Hari ini Ivona memang mengajak Aila ke tempat di mana desainer cantik itu menginap untuk mencoba kembali gaun-gaun yang akan gadis itu kenakan saat pernikahan nanti. Sebenarnya, Aria Hills berjanji untuk datang ke kediaman Ardhana 2 hari lagi, tapi rupanya perempuan paruh baya itu sudah tidak sabar menunggu. "Cantiknyaa ...," desah Ivona, jelas terlihat begitu terpesona. "Oh, ya Tuhan. Menantuku memang sangat cantik dan anggun." "Dia calon menantumu, Nyonya Agentine. Bukan menantu." Aria Hills menyahuti ucapan Ivona dengan senyuman di wajah. "Oh, memang apa bedanya? Toh, tanggal pernikahannya bahkan kurang dari satu minggu lagi." "Bedanya adalah, Artemisku, ah, maksud saya ... gadis itu bahkan belum sah menjadi istri putra Anda." "Segera. Tidak lama lagi." "Tetap saja. Artinya 'kan masih belum." Tidak hanya Aila yang kebingungan dengan
Sepertinya Aiden belum pernah sebahagia ini."Coba yang ini, Ans. Grilled calamari di sini lumayan rasanya.""Ini, cicipi lasagna-nya. Risotto-nya jangan lupa dimakan juga.""Wagyu steak-nya apakah sesuai dengan seleramu? Aku tadi memesannya dengan tingkat kematangan medium."Aila mengangguk sementara mulutnya sibuk mengunyah. Ada rona bahagia di wajah cantik gadis itu, selain karena pada akhirnya bisa keluar rumah dengan santai, dia juga bisa menikmati makanan favoritnya."Dari mana kamu tahu kalau aku suka makanan Italia?" tanyanya, memasukkan satu suap lagi lasagna dalam potongan besar. Aila memakannya dengan nikmat, tidak menyadari ada sedikit sisa saus yang tertinggal di sudut bibir."Hanya sekedar tebakan saja," jawab Aiden, tersenyum simpul.Dia lalu mengulurkan tangan dan mengusap sisa saus di sudut bibir Aila. Tindakan Aiden membuat gadis itu merona. Ditambah lagi, bukannya mengelap jari yang kotor terkena saus, dia malah men
"Selamat siang, Dokter Aiden." "Selamat siang, Erik. Bagaimana kabarmu?" Sedikit menunduk, Erik memasang senyuman formalnya. "Kabar saya baik, Dokter." "Apakah kita bisa langsung atau—" Aiden mengangkat kedua alis, menatap heran Erik yang memandangi mobilnya dengan cermat. "Erik? Ada apa?" "Maaf, Dokter Aiden. Apakah saya boleh memeriksa mobil Anda sebentar?" "Eh?" Bahkan tanpa menunggu persetujuan dari Aiden, Erik sudah langsung melangkah. Tadi sepertinya dia melihat sekelebatan rambut berwarna coklat madu di balik bangku penumpang. Mengambil sedikit jarak, Erik mengamati mobil mewah yang hanya bisa memuat penumpang 2 orang saja itu. Memang Erik tidak menyentuh Porsche boxster silver milik Aiden, tapi pengawal itu bahkan berjalan mengitarinya sebanyak 2 kali. Pengawal itu sudah hendak menunduk untuk memeriksa bagian bawah mobil, sewaktu suara Aiden terdengar menyela. "Ada apa sebenarnya, Erik?" tanya Aiden, iku