"Reza pinter banget sih," puji bu Ambar sambil mengusap pucuk kepala Reza. Anak kecil itu menyeringai kepada bu Ambar yang duduk persis di belakangnya.Tidak lama kemudian, Jaja sampai di depan gang rumahnya. Bersiap menurunkan ibunya tepat di samping toko bangunan yang kebetulan belum buka."Non Yasmin terimakasih atas tumpangannya. Kapan-kapan main ya ke rumah saya," ujar bu Ambar sambil menunduk hormat."Sama-sama, Bu. Terimakasih atas sarapannya," sahut Yasmin yang diikuti senyuman hangat pada Bu Ambar."Bae-bae lu bawa mobil mahal nih, Ja. Jangan sampai lecet! nyawa lu, taruhannya," ujar bu Ambar sambil menepuk pundak anak lelakinya. Jaja mengangguk paham. Kemudian bu Ambar juga pamit pada Reza, bahkan anak kecil itu mencium punggung tangan bu Ambar dengan penuh hormat.Jaja melajukan mobilnya kembali, kali ini menuju sekolah Reza. Sepanjang perjalanan Reza selalu saja berceloteh riang pada Jaja dan juga ibunya. Sangat jelas terlihat Reza begitu semangat pagi ini."Amih, Abang pu
Suasana di dalam mobil semakin hening. Perjalanan menuju pabrik yang harusnya hanya memakan waktu setengah jam, saat ini bagaikan setahun bagi Yasmin. Jaja pun tiada bersuara, hanya fokus pada jalanan padat di depannya. Berkali-kali Yasmin mengibaskan tangannya di leher. Udara di dalam mobil yang harusnya memang cukup dingin, terasa panas bagi Yasmin.Jaja yang sudah berubah wujud bagaikan pangeran membuat Yasmin salah tingkah dan sedikit gugup. Apalagi hanya berduaan saja seperti ini. Aroma panas kian terasa, membuat Yasmin merasa ada yang tidak beres dengan dirinya.Matanya mencuri pandang ke kursi kemudi. Kenapa dia jadi ganteng gini sih? Gumam Yasmin dalam hati, kemudian membuang pandangannya. Ia tidak mau sampai Jaja tahu kalau dia memerhatikan dirinya."Gerah ya, Bu?" tanya Jaja saat memerhatikan Yasmin yang seperti kegerahan dari spion."Iya, tolong kencangkan lagi AC nya!" titah Yasmin, sambil menunjuk AC mobil. Di saat yang sama sambil memerhatikan jalanan, mata Jaja mencari
Jaja mendengarkan dengan seksama resep yang disarankan oleh Nanang. Mulai dari kasih perhatian lebih, sering berkirim pesan, kasih hadiah-hadiah kecil, pepet terus jangan kasih kendor. Nanang juga memberi tahu metode khusus, yaitu tarik-ulur. Satu yang paling diingat Jaja dari penggalan kalimat yang Nanang ucapkan. Janda mah pasti senang diperhatikan.Jaja mengangguk paham atas petuah dari temannya barusan. Mulai saat ini ia akan berusaha mendekati Yasmin secara perlahan."Janda gang mana yang udah bikin lu ganteng kayak gini?" tanya Nanang sambil menatap wajah Jaja penuh curiga."Ada deh." Jaja menyeringai. Jangan sampai Nanang tahu perihal ia sedang mendekati Yasmin."Jandanya demen kaga sama lu?""Kaga! Hahahahaha..." Nanang dan Jaja terbahak."Dah, cari yang perawan aja kalau janda ga mau sama lu.""Pan, usaha dulu, Nang. Kalau tidak berhasil gue baru berselancar cari yang perawan. Ada sih tetangga gue yang kayaknya naksir sama gue. Tapi...gak deh, janda lebih memikat. Kedodoran h
Jaja membopong tubuh Yasmin masuk ke dalam mobil lalu meletakkan tubuh Yasmin pelan di kursi belakang, serta meluruskan kaki Yasmin agar Yasmin lebih nyaman. Jaja juga mengambil bantal leher kemudian menyangga kepala Yasmin."Saya bukan jompo lho, Ja," ujar Yasmin sambil memutar bola mata malasnya. Jaja hanya menyeringai, lalu masuk ke dalam kursi kemudi."Kita langsung pulang, Bu?" tanya Jaja sambil memasang seatbelt."Iya, saya mau istirahat di rumah saja.""Kalau mampir ke KUA dulu mau gak, Bu? Masih buka jam segini kok, Bu," ledek Jaja sambil terkekeh."Mulut kamu kalau bicara yang sopan, Ja. Saya tidak suka mendengarnya," ujar Yasmin ketus sambil melipat tangannya di dada."Emang mau ngapain ke KUA, Bu?" tanya Jaja keheranan."Jangan suudzon, Bu. Di KUA Kebayoran itu persis di sampingnya ada pom bensin, Bu. Ini si merah hampir habis bensinnya," terang Jaja sambil melihat ke arah Yasmin yang membuang pandangan."Oh ... bilang dong," sahut Yasmin sambil mengeluarkan uang tiga ratus
Reza memekik senang melihat amihnya digendong oleh Jaja saat akan turun dari mobil. Bik Narsih yang berdiri di depan pintu bersama Reza ikut melotot kaget melihat penampilan Jaja yang berubah. Ditambah saat ini Jaja sedang menggendong majikannya.Ada apa ini? Narsih bermonolog.Reza yang ditangannya sedang memegang ponsel, cepat membuka mode kamera lalu memotret amih dan abang Jaja kesayangannya."Amih kok digendong?" tanya Reza begitu amih dan Jaja sampai di depan pintu."Kaki Amih keseleo, Bang. Jadi susah jalannya," terang Yasmin sambil meringis."Narsih, kok bengong? Permisi saya mau lewat, ini Jaja berat gendong saya." Yasmin menegur Bik Narsih yang melongo menatap Jaja dan majikannya bergantian tanpa memberi jalan masuk bagi mereka."Eh...iya,Bu." Narsih tersadar lalu menggeser tubuhnya. Jaja masuk sambil menggendong Yasmin diikuti Reza yang kini sudah merekam adegan romantis amihnya."Kuat gak gendong saya ke lantai dua?" tanya Yasmin pelan sambil menatap Jaja."Kuat, Bu. Tena
Melihat Yasmin yang lemas di atas balkon kamarnya, Jaja panik begitu juga Reza. Masih dalam keadaan tubuh basah, Jaja berlari masuk ke dalam rumah menuju kamar Yasmin. Diikuti oleh Reza yang juga setengah berlari mengekori Jaja."Pelan, Za. Licin!" Jaja mengingatkan Reza agar hati-hati.Jangan dibayangkan betapa anehnya dua lelaki yang satu memakai sempak berenang dan yang satu lagi memakai sempak merah, berlari ke lantai dua.Kreekk...."Bu...ya Allah!" pekik Jaja kaget, melihat Yasmin dalam keadaaan lemas bersandar di tiang balkon."Amiih... hiks..hiks.." Reza malah menangis, menyaksikan amihnya lemas dan wajah yang pucat. Sigap Jaja menggendong Yasmin lalu menaruhnya kembali di atas kasur."Eza, punya minyak kayu putih ga?""Ada, Bang. Tunggu ya!" Reza berlari keluar kamar amihnya. Ia ingin mengambil minyak kayu putih yang memang selalu disimpan di kamarnya."Ini, Bang." Reza mengulurkan minyak kayu putih pada Jaja. Jaja membalur tangan dan juga kaki Yasmin dengan dada berdebar. Me
"Bu, permisi," tegur Jaja saat berdiri tepat di depan kamar Yasmin yang masih terbuka pintunya. Yasmin yang sedang duduk fokus pada ponselnya ikut menoleh."Ada apa?" tanya Yasmin datar. Melihat Jaja sekilas, lalu matanya kembali pada layar ponsel."Reza sudah tidur, saya permisi pulang ya, Bu. Besok saya balik lagi dengan membawa tukang urut.""Oh, oke. Hati-hati," sahut Yasmin sambil tersenyum tipis."Mas Jaja!!" suara Bik Narsih menggema dari dalam kamar mandi Yasmin. Kepalanya menyembul keluar. Hingga Jaja dan Yasmin menoleh pada Narsih."Mau pulang ya? Saya antar ya?" ujar Bik Narsih sambil menyeringai."Emang kamar mandinya sudah bersih?""Sedikit lagi, Bu. Saya antar Mas Jaja dulu ke bawah. Nanti saya lanjutkan lagi sikat kamar mandinya." Bik Narsih sudah berdiri di dekat Yasmin. Matanya tidak lepas menatap Jaja."Tidak bisa! lanjutkan lagi pekerjaanmu!" tolak Yasmin tegas."Sekalian saya kunci pagar, Bu," sela Narsih beralasan. Tetapi ada benarnya juga, pintu pagar memang haru
Jaja sudah sampai di depan gang rumahnya diantar oleh Dokter Vera."Terima kasih sudah mengantar saya, Dok.""Panggil Mbak Vera saja.""Eh iya, Mbak, terima kasih." Jaja menganggukkan kepalanya sambil tersenyum."Besok biar saya bicara pada Yasmin. Kalau Yasmin setuju, mulai lusa, kamu sudah bisa bekerja di rumah sakit.""Alhamdulillah, terimakasih banyak, Mbak Vera." Jaja tersenyum senang. Turun dari mobil sedan mewah Vera dengan hati riang. Vera melambaikan tangan pada Jaja sambil membunyikan klakson.Semoga Bu Yasmin mengizinkanku bekerja pada Dokter Vera, besok. Jaja bermonolog. Senandung riang ia nyanyikan mengisi ruang hati yang tadi sempat gundah karena perkataan pedas Yasmin sekaligus bertemu dengan lelaki yang mengaku calon suami Yasmin. Tawaran pekerjaan teknisi listrik yang dilayangkan Vera membuat ia kembali bersemangat."Assalamua'laykum," seru Jaja sambil membuka pintu rumahnya yang tidak terkunci. Tumben sepi, pikirnya. Bu Ambar tidak menyahut, lampu ruang tengah yang d