Aku mencoba menahan sekuat tenaga agar air mataku tidak luruh. Aku harus tegar menghadapi semua ini meskipun sebenarnya hatiku kacau. “Kamu enggak apa-apa, Ta?”“Enggak! Tenang saja, Fai. Aku wanita yang kuat. Kamu tahu ‘kan bagaimana aku di sekolah?”Di sekolah aku tidak pernah menampakkan kesedihanku meski keluargaku berantakan. Aku menjadi Gita yang ceria, kuat, galak dan disegani. Apalagi semenjak berpacaran dengan Erick. Tidak ada yang berani mengusikku. Resiko menjadi pacar anak konglomerat.Beberapa saat kemudian terdengar sebuah alunan lagu ‘Bidadari Cinta' yang dinyanyikan oleh Adibal Sahrul dan Novi Ayla. Lagu yang aku minta sudah diplay di radio.“Sampai ajal menjemputkuKu selalu mencintamuMenyayangmuEngkau tulang rusukkuHingga di surga-Nya AllahKuingin bersamamuDan menjadi bidadari cintamu.”Penulis lagu: Adi Sahrul HartonoAku terenyuh mendengar lagu ini. Pesanku belum dibaca tetapi lagunya sudah diputar. Itulah salah satu alasanku mengagumi Mas Aril, dia ter
“Kamu cari apa, Ta?” Faiha datang dengan membawa sajadah dan mukena di tangan. Aku sangat gugup hingga menjatuhkan beberapa buku. Faiha cepat sekali perginya, hingga membuatku kelabakan. Aku segera merapikan buku-buku yang jatuh di lantai. Faiha sudah di depanku, bagaimana ini?“Emmm ... aku sudah terbiasa nulis diari. Aku mau cari buku yang kosong.” Aku menggaruk kepalaku. Duh, nih mulut asal jeplak. Bukunya kan kosong semua, bakal ketahuan kalau bohong. Aku tidak sepenuhnya berbohong, aku suka menulis diari semenjak kelas 1 SMP. Orang tuaku pergi merantau waktu itu, membuatku menuliskan segala keluh kesahku di buku. Aku berharap mereka akan membaca semua catatanku saat pulang. Namun, sampai saat ini mereka belum pernah kembali ke tanah air. Aku sudah menghabiskan banyak buku, mungkin bisa menjadi novel jika aku tuliskan semua kisah hidupku. Namun, mungkin tidak akan ada yang membacanya karena bukan ala ikan terbang.Faiha membantu merapikan buku-buku kakaknya kemudian memberikank
“Sorry!” Dia melotot dan langsung membanting pintunya. Aku kembali merapatkan piama. Semoga saja dia tidak melihatnya. Aku berjalan ke arah pintu dan bersandar dibaliknya memastikan dia sudah pergi. Kudengar langkah kakinya sudah menjauh. Aku bernapas lega. Astaga, jantungku kenapa ini? Ia seperti mau lompat dari tempatnya.“Buruan woy! Aku mau ambil baju,” teriak Ilham dari luar. Benar, kamar ini adalah milik Ilham. Faiha meletakkan bajunya di kamar kakaknya. Lagipula aku memang tidur di kamar ini. Ilham yang salah, dia ‘kan tidur di kamar Faiha? Seharusnya dia mengetuk pintu dahulu sebelum masuk karena ada gadis di kamarnya.Aku segera keluar setelah berganti pakaian. Duduk di kursi ruang tamu sembari menunggu Ilham mandi. Ternyata lelaki itu mandinya lama sekali. Menunggunya membuatku menguap hingga beberapa kali. Aku bisa ketiduran jika dia tidak segera keluar, apalagi semalam kurang tidur. “Lama nunggunya?” tanya Ilham
Kecanggunganku dengan Ilham berlangsung lama hingga akhirnya dia membuka obrolan. Dia menanyakan kenapa aku mengaku sebagai adiknya. Karena rasa penasaranku, kutanyakan juga mengenai Mas Aril. Bukankah lebih baik bertanya daripada menduga-duga?“Kamu kenal Mas Aril?”Ilham mengerem motor secara mendadak hingga membuat helmku terbentur helmnya dengan keras. “Tuh, kan? Kepalaku sudah dua kali terbentur. Lama-lama bisa gagar otak.” Sepertinya dia terkejut mendengar pertanyaanku. aku yakin dia pasti menyembunyikan sesuatu. “Dari mana kamu tahu tentang Mas Aril?”“Aku ngefans sama dia. Aku melihat trofinya di kamarmu. Helm dan jaketmu juga ada logo di tempat dia siaran. Aku jadi penasaran, kamu temennya, ya?”Dia tidak menjawab dan kembali melajukan motornya. Padahal aku sungguh penasaran. Aku tidak ingin mati penasaran hanya karena menunggu jawaban darinya. “Atau jangan-jangan kamu itu Mas Aril?” Aku masih mengomel sepanjang perjalanan hingga sampailah di rumah Bibi Lia, tetapi tidak
“Ada apa, Bi?”Bibi menutup mulut dengan tangan kiri dan memberikan telepon kepadaku. Aku segera berbicara dengan orang yang ada di ujung telepon. “Halo!”“Maaf, Sari sedang di rumah sakit, dia pendarahan.” Suara laki-laki ini sama dengan yang mengangkat teleponku.Astaghfirullah ... Kak Sari, mengapa sampai sejauh ini? Aku tidak menyangka mereka bisa melakukannya. “Di rumah sakit mana?”“RSU,” jawabnya singkat. Aku segera mengakhiri telepon dan menenangkan Bibi. Bibi menangis dan memelukku erat. “Maafkan Bibi, Gita! Bibi tidak bisa menjaga kalian.”Dulu ketika Ayah dan Ibuku pergi, mereka menitipkan kami kepada bibi supaya mau menjaga kami. Namun Kak Sari menolak. “Tenang aja, Buk! Sari sudah gede, sudah bisa menjaga Gita.”Padahal saat itu aku baru kelas satu SMP. Aku dipaksa menjadi anak yang lebih dewasa daripada seusiaku. Kak Sari awalnya Menjadi kakak yang penuh tanggung jawab, hingga akhirnya setelah semester dua dia berubah menjadi pendiam. Kak Sari jarang di rumah dan s
Bibi menatapku seolah meminta persetujuan dan aku mengangguk. Biar bagaimana pun aku melihat ada ketulusan di mata lelaki itu. Sepertinya dia benar-benar ingin bertanggung jawab. Namun, apakah orang tuanya akan menyetujui? Sebentar lagi Kak Sari akan lulus dan menjadi sarjana, sepertinya tidak masalah. Melihat orang tua Erick adalah seorang pengusaha ternama, apakah Kak Sari akan diterima di keluarganya? Kak Sari sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Semua biaya administrasi ditanggung oleh pacarnya, Aldo. Setelah menunggu selama setengah jam akhirnya Kak Sari sadar. Dia bingung melihat keadaan di sekelilingnya. “Aku di mana?” tanya Kak Sari. “Kamu di rumah sakit, Sayang.” Lelaki itu bersikap sangat lembut terhadap kakakku. Pantas saja Kak Sari terlena. “Apa yang terjadi?” Kak Sari memegang kepalanya. “Anak kita tidak bisa diselamatkan, maafkan aku.” Ucapan laki-laki itu membuat Kak Sari histeris. “Kamu jahat, Do! Kamu jahat! Aku benci sama kamu!” Kak Sari menangis histeris, d
Aku meminta izin kepada Kak Sari untuk mengangkat telepon. Namun, aku terkejut saat melihat Erick sudah duduk di kursi tunggu bersama kakaknya. Dia masih memakai pakaian osis dan sedikit berantakan. Sepertinya dia bolos sekolah. “Gita! Aku kangen sama kamu.” Tiba-tiba Erick berdiri dan memelukku. Hal yang tidak pernah dia lakukan selama ini. “Lepas, Rick! Aku akan membunuhmu jika kamu berani menyentuhku lagi.” Dengan sekuat tenaga aku melepaskan pelukannya. Aku merasa jijik melihatnya. Mendadak jantungku berdebar hebat, napasku terasa sesak. “Gita!” Bibi Lia berlari melihatku memegang dada. Tubuhku rasanya lemas, bersyukur bibi segera datang dan menolongku. Aldo dan Erick hendak menolong, tetapi kutolak. Aku tidak mau disentuh oleh mereka. Bibi memapahku sampai di kursi. Beliau membawakan sebotol air putih untukku. “Minum dulu, Gita.” Bibi membuka tutup botol kemudian menyodorkannya kepadaku. Aku mena
“Lama banget, Ta. Kamu berdoa apa saja? Jangan lupa doain aku biar lulus ujian, kuliah, kerja, sukses dan bisa melamarmu.” “Melamarku?” Aku berlalu meninggalkannya. Mimpi jika dia mau melamarku, aku tidak akan mau dilamar olehnya sekalipun menjadi perawan tua. Dia masih mengekoriku hingga di depan rumah sakit. “Tunggu, Gita! Kenapa kamu jadi begini, sih?” Erick mencengkeram tanganku. “Lepas, Rick. Sakit! Aku bisa teriak dan minta tolong Pak Satpam.” Akhirnya Erick melepas tanganku. Aku berlari ke arah parkiran. Di sana sudah ada Isma yang melambaikan tangan. Aku segera berlari menghampirinya. Aku pulang bersama Isma ke rumah Bibi Lia. Sore nanti Ilham akan datang. Aku tidak perlu pulang ke rumahnya lagi karena sudah berbaikan dengan Kak Sari. Aku tidak mau merepotkan keluarganya lagi. Sebelum benar-benar pergi, aku melihat ke belakang. Erick melambaikan tangannya kepadaku dan kiss bye. Aku menggelengkan kep