“Kimberly? Apa kabar, Sayang?”
Seorang wanita paruh baya yang masih sangat cantik menyapa hangat Kimberly yang masuk ke dalam rumah. Maisie Davies—ibu tiri Kimberly yang terkenal ramah itu selalu bersikap baik pada Kimberly. Sayangnya, Kimberly tak pernah ramah pada Maisie. Seperti saat ini, Kimberly memasang wajah dingin kala Maisie menyapanya.
“Aku baik. Di mana ayahku? Apa dia masih di kantor?” Kimberly menjawab pertanyaan Maisie dengan nada yang dingin tapi tetap sopan pada ibu tirinya.
Senyuman di wajah Maisie terlukis. “Iya, Kimberly. Ayahmu masih di kantor. Tadi ayahmu bilang dia akan pulang terlambat. Belakangan ini ayahmu sibuk dengan project di perusahaannya yang terbaru.”
Kimberly mendesah pelan mendengar ucapan Maisie. Sudah tak heran dia mendapatkan jawaban seperti itu, karena dia tahu ayahnya itu terlalu sibuk dengan pekerjaan. Akan tetapi kesibukan ayahnya berbeda dengan Fargo. Bisa dikatakan ayahnya itu mencintai ibu tirinya. Setiap kali sibuk, ayahnya pasti akan memberikan kabar pada ibu tirinya, berbeda dengan Fargo.
“Aku ke sini ingin bertemu dengan Gilda. Di mana putrimu itu?” tanya Kimberly to the point.
“Kau mencari Gilda?” Maisie sedikit terkejut karena Kimberly mengatakan mencari Gilda.
Kimberly mengangguk singkat merespon ucapan Maisie.
“Gilda ada—”
“Mom, aku berangkat sekarang. Hari ini aku ada pemotretan.” Gilda, saudara tiri Kimberly melangkah mendekat pada Maisie, hingga membuat ucapan Maisie terpotong. Pun raut wajah Gila menunjukkan jelas keterkejutannya melihat Kimberly.
“Kau di sini, Kim?” tanya Gilda terpaksa basa-basi, tak suka melihat keberadaan Kimberly.
“Aku yakin kau tidak lupa ingatan. Ini adalah rumah ayahku. Aku berhak ada di sini,” ucap Kimberly dingin dan tak ramah.
Gilda mendecakan lidahnya seraya memutar bola mata jengkel mendegar respon Kimberly.
“Gilda … Kimberly ke sini karena ingin bertemu denganmu, Sayang,” kata Maisie hangat dengan senyuman ramah di wajahnya.
“Menemuiku? Ada apa kau menemuiku?” Kening Gilda mengerut.
“Kita bicara di luar. Tidak di sini,” jawab Kimberly dingin.
Gilda mendengkus kesal. Padahal hari ini dia terburu-buru tapi semua tertunda karena kedatangan Kimberly. Ingin sekali menolak, tapi Gilda tahu itu tidaklah bisa. Gilda sedang malas jika harus berdebat dengan saudara tirinya itu.
“Gilda, pergilah. Mungkin ada yang Kimberly ingin katakan penting padamu, Nak,” ujar Maisie hangat dan ramah.
Gilda menganggukkan kepalanya dengan raut wajah yang tampak masih kesal.
***
“Kau ingin bicara apa, Kim? Cepat katakan. Aku tidak memiliki waktu berlama-lama denganmu.” Gilda berseru dengan nada yang tak suka kala Kimberly membawanya ke taman belakang. Tampak tatapan mata Gilda sejak tadi menatap dingin Kimberly.
“Kau memiliki project apa dengan suamiku?” tanya Kimberly dingin dan to the point.
Raut wajah Gilda berubah mendengar ucapan Kimberly. Wajah wanita itu sedikit memucat. Akan tetapi pancaran mata Gilda langsung menunjukkan sifat yang tenang dan anggun. “Project yang pastinya melibatkanku sebagai seorang model. Mungkin kau bisa bertanya detail pada suamimu sendiri. Wait! Jadi kau menemuiku hanya karena ingin menanyakan hal ini? Oh, Kimberly. Apa kau takut aku akan merebut suamimu, hm?” sindirnya meledek.
“Jaga bicaramu! Aku sama sekali tidak takut!” sembur Kimberly terpancing emosi.
Gilda mengangkat bahunya tak acuh. “Jika kau tidak takut harusnya kau tidak perlu menginterogasiku. Lagi pula aku yakin, suamimu juga pasti banyak bekerja sama bisnis dengan para wanita. Seperti kau yang juga pasti memiliki rekan bisnis pria. Jadi tolong bersikap professional. Jangan cemburu tidak jelas.”
“Jangan ajarkan aku menjadi professional! Yang aku tahu kau dan Fargo tidak pernah dekat. Profesimu juga model. Tidak ada sangkut pautnya dengan perusahaan suamiku. Itu yang membuatku memiliki tanda tanya besar kenapa kalian bisa berkomunikasi? Apalagi Fargo mengatakan padaku kalian terlibat project bersama,” seru Kimberly tegas dan tatapan tajam pada Gilda.
Senyumana anggun di wajah Gilda terlukis kala Kimberly mulai mencurigainya. “Relaks, Kimberly. Kau bisa bertanya dengan suamimu project apa yang sedang aku jalankan dengannya. Jangan terlalu cemburuan. Asal kau tahu, para pria tidak suka hidup seperti berada di penjara. Kau bisa ditinggal jika kau terus-terusan bersikap cemburu tidak jelas. Alright, I’ve to go. Hari ini jadwalku cukup padat. Aku tidak memiliki waktu berlama-lama di sini.”
Setelah mengatakan itu, Gilda melenggangkan kaki melangkah dengan anggun meninggalkan Kimberly yang menatap dirinya tajam. Terlihat Gilda sama sekali tak peduli dengan tatapan tajam Kimberly yang melayang ke arahnya.
‘Shit!’ umpat Kimberly dalam hati.
Napas Kimberly memburu. Emosinya tersulut kala mengingat apa yang Gilda katakan tadi. Dia hendak meninggalkan tempat di mana dia berada, tapi tiba-tiba terdengar suara dering ponsel. Tanpa pikir panjang, dia menjawab panggilan telepon itu.
“Hallo?” jawab Kimberly kala panggilan terhubung.
“Kimberly? Kau di mana? Malam ini kau ingatkan, kita harus menghadiri pesta ulang tahun Jennisa Mared?” ucap suara wanita yang begitu familiar.
Mendengar suara yang familiar itu, membuat Kimberly mengalihkan pandangannya pada layar ponselnya. Embusan napas panjang terdengar. Benar dugaannya, pasti yang menghubunginya adalah Carol—teman sekaligus partner kerjanya.
“Carol, kau pergi sendiri saja. Lagi pula, selama ini Jennisa Mared jauh lebih banyak mengenalmu daripada aku. Sampaikan saja salamku untuknya. Katakan aku tidak bisa datang karena banyak pekerjaan yang harus aku kerjakan.”
“Astaga, Kim. Tidak bisa seperti itu. Jennisa Marred akan menjadi brand ambassador di perusahaan yang baru saja kita dirikan. Kita wajib datang, Kim. Tidak enak kalau kau tidak datang. Terakhir aku sudah bilang padanya kalau aku akan datang bersama denganmu. Please, Kimberly, jangan konyol.”
“Carol, aku tidak bisa—”
“Kim, aku tidak mau tahu. Kau wajib datang. Awas saja kalau kau tidak datang. Ya sudah aku tutup dulu. Sampai bertemu nanti malam.”
Kimberly mengumpat kala Carol memutuskan panggilan secara sepihak. Padahal dirinya belum selesai bicara. Ya, Kimberly baru mengingat malam ini dia memiliki janji dengan temannya menghadiri pesta ulang tahun Jennisa Mared—sang model ternama yang sebentar lagi akan menjadi brand ambassador perusahaannya yang baru saja didirikannya bersma dengan Carol.
***
Kilat kamera terarah pada para tamu undangan yang hadir dalam pesta ulang tahun Jennisa Mared—sang model internasional terkenal. Para artis ternama dan pengusaha kelas atas menghadiri pests ulang tahun Jennisa Mared. Para undangan yang turut hadir bukan dari kalangan biasa. Tak heran jika banyaknya wartawan yang ada di acara tersebut.
Mobil Kimberly baru saja tiba di lobby hotel bersamaan dengan Carol yang juga datang bersama dengan sopir. Malam ini Carol tak membawa mobil sendiri, karena biasanya Kimberly akan selalu mengantarnya pulang.
Senyuman ramah di wajah Kimberly terlukis kala para wartawan mengambil gambarnya. Pun Carol turut tersenyum ke arah kamera. Kedua wanita itu berpenampilan sangat cantik dan menawan.
Malam ini Kimberly tak datang bersama dengan Fargo. Ada dua alasan Kimberly tidak mengajak Fargo. Pertama, dia yakin Fargo pasti sibuk. Kedua, dia malas mendapatkan penolakan dari Fargo. Hal itu yang membuat Kimberly memutuskan untuk mendatangi pesta ini hanya ditemani dengan Carol saja.
“Kimberly, aku suka sekali dekorasi pesta ini. Hiasan batu Swarovski dan mawar putih yang sangat cantik,” guman Carol setengah berbisik pada Kimberly.
“Ya, dekorasi ini sangat cantik.” Kimberly mengakui itu. Pesta ulang tahun Jennisa Mared terbilang mewah dan berkelas. Hiasan bunga mawar putih dan Swarovski membuat pesta ini benar-benar elegan.
Tak lama kemudian, perhatian semua orang teralih pada sosok pria dan wanita yang masuk ke dalam ballroom hotel. Kilat kamera langsung menyorot pada pasangan yang tampak sempurna itu. Kimberly dan Carol turut mengalihkan pandangan mereka pada pasangan yang baru datang. Namun tiba-tiba raut wajah Kimberly berubah melihat sosok pria tampan yang baru saja datang. Wajah wanita itu memucat. Tubuhnya mematung menunjukkan jelas pancaran mata keterkejutannya.
“Oh, My God. Kimberly, ternyata Jennisa Mared sedang dekat dengan Damian Darrel. Wait, Damian adalah Paman tiri suamimu, kan? Dia itu pria paling tampan dan berpengaruh di Amerika,” seru Carol antusias pada Kimberly
‘D-Damian?’ Kimberly mencetuskan nama itu dalam hatinya. Tenggorokannya tercekat. Lidahnya kelu. Bahkan Kimberly merasakan napasnya seperti ingin putus.
Sejenak, ingatan Kimberly tergali tadi siang dia tak sengaja melihat Damian bersama dengan wanita asing keluar dari toko perhiasan. Apa mungkin wanita asing yang dia lihat bersama dengan Damian adalah Jenisa Mared? Astaga! Kimberly merutuki otaknya yang malah memikirkan Damian. Harusnya dia tak usah peduli. Namun kenapa dia malah peduli seperti ini?
Saat Damian dan Jennisa semakin mendekat, buru-buru Kimberly memasang wajah yang seolah acuh dan tak peduli. Padahal sejak tadi jantung Kimberly berdetak tak karuan bahkan nyaris berhenti.
“Hi, Nona Carol, Hi Nyonya Kimberly. Terima kasih sudah datang di pesta ulang tahunku,” ucap wanita cantik—yang bernama Jennisa Mared.
“Just call my name please,” pinta Kimberly dengan senyuman canggung, tapi tetap anggun.
“Yes, Jennisa. Cukup panggil nama kami saja,” sambung Carol yang sependapat dengan Kimberly.
“Baiklah.” Jennisa tersenyum hangat dan ramah pada Kimberly dan Carol.
Damian terdiam menatap Kimberly yang tampak begitu gelisah. Perlahan senyuman di wajah tampannya terlukis. Tak pernah dia sangka akan kembali bertemu dengan Kimberly. Well, sepertinya ini bukan hanya sekedar kebetulan.
“Ah, ya, aku lupa mengenalkan. Kimberly, Carol, ini Damian Darrel,” ucap Jennisa memperkenalkan Damian pada Kimbery dan Carol.
“Damian, ini Kimberly dan Carol,” ucap Jennisa lagi memperkenalkan Kimberly dan Carol pada Damian.
“Aku sudah mengenalnya,” jawab Damian yang sontak membuat Jennisa terkejut.
“Kau sudah mengenal mereka?” ulang Jennisa memastikan.
“Kimberly adalah istri Fargo Jerald, keponakan Damian,” sambung Carol seraya menatap Jennisa.
“Oh, astaga aku sampai tidak tahu. Maaf.” Jennisa tersenyum ramah pada Kimberly.
Jennisa menunjukkan senyuman ramah, lain halnya dengan Kimberly yang memasang senyuman canggung pada Jennisa. Sungguh, ingin sekali Kimberly meninggalkan tempat ini.
“Kimberly, harusnya tadi kau mengajak suamimu ke sini,” ucap Jennisa hangat.
“Fargo sibuk. Jadi aku ke sini bersama dengan Carol saja,” jawab Kimberly berusaha untuk tenang.
“Ya sudah, lain waktu nanti kita makan siang bersama, ya? Aku dan Damian, lalu kau dan Fargo,” balas Jennisa yang membuat Kimberly sedikit salah tingkah.
“Hm, boleh,” jawab Kimberly dengan senyuman palsu.
Percakapan terjalin antara Jennisa dan Carol. Kedua wanita itu membahas tentang project pekerjaan yang akan diadakan bulan depan, sedangkan Kimberly satu-satunya yang tak bisa fokus kala membahas pekerjaan. Hal yang membuat Kimberly tak fokus adalah Damian sejak tadi menatapnya begitu dalam.
Iris mata cokelat Damian begitu terhunus dan lekat bahkan seolah tengah menembakan laser pada Kimberly. Beberapa kali Kimberly membuang pandangannya agar tak melihat Damian tapi tetap saja wanita itu akan canggung dan semakin salah tingkah jika ditatap seperti itu.
“Maaf, aku ingin ke toilet sebentar.” Kimberly tak menunggu jawaban dari semua orang. Wanita itu langsung meninggalkan ballroom hotel—menuju ke arah toilet.
Di toilet, Kimberly mondar-mandir tidak jelas. Wanita itu menatap cermin seraya mengatur napasnya untuk menenangkan dirinya. Benaknya selalu berpikir kenapa dirinya sekarang harus dipertemukan lagi dengan Damian? Ya Tuhan! Padahal dia sudah selalu mengupayakan banyak cara untuk menjauh dari Damian tapi kenapa harus kembali dipertemukan lagi? Konyol! Ini benar-benar konyol! Kebetulan macam apa ini?
“Shit! Kenapa pria itu belum juga kembali ke Seattle?” gerutu Kimberly seraya memutar keran wastafel dan langsung membasuh wajahnya dengan air bersih.
“Aku tidak tertarik kembali ke Seattle. Aku menyukai berada di sini, Kim.” Suara berat memasuki toilet sontak membuat Kimberly terperanjat terkejut. Refleks, Kimberly mengalihkan pandangannya pada sumber suara itu.
“D-Damian? K-kau di sini? I-ni kan—”
“Toilet khusus wanita. I know.” Damian memotong ucapan Kimberly. Lantas pria itu mendekat pada Kimberly. Tepat di kala dia mendekat, wanita itu langsung melangkah mundur hingga punggungnya terbentur di dinding kamar mandi. Wajah Kimberly memucat kala Damian menghimpit tubuhnya membuat dirinya tak bisa bergerak sedikit pun.
“Damian! Menjauhlah dariku!” seru Kimberly emosi.
Damian tak mengindahkan ucapan Kimberly. Lebih tepatnya Damian tak mengindahkan perkataan wanita itu. Dia memilih melihat penampilan Kimberly yang sangat seksi. Dress pendek berwarna gold yang menunjukkan belahan dada. Membuat Damian tak bisa mengalihkan pandangannya dari wanita di hadapannya itu.
“Kau kenapa melihatku seperti itu!” seru Kimberly kala Damian tak henti-hentinya menatap seluruh penampilannya. Persis seperti seekor singa yang kelaparan.
Senyuman di wajah Damian terlukis. Pria itu membelai sedikit kasar pipi Kimberly sambil berbisik serak, “You’re so damn beautiful, Kim.”
Wajah Kimberly nyaris merona mendengar pujian Damian. Buru-buru dia menepis pikirannya. Dia kembali mengingat Damian adalah paman tiri suaminya. Tak hanya itu saja, tapi Damian sekarang menjalin hubungan dengan wanita lain. Kimberly tak mau mendengar berita skandal murahan yang melibatkan dirinya.
“Tolong hentikan omong kosongmu!” ucap Kimberly dingin dan penuh ketegasan.
“Aku tidak suka berbicara omong kosong.” Damian menarik dagu Kimberly, mendekatkan bibirnya ke bibir wanita itu. “Kau sangat cantik malam ini, Kim. Apa kau sengaja menggodaku?”
“Kau sudah gila! Siapa yang menggodamu! Lepaskan aku, Berengsek! Aku ingin pulang! Suamiku sudah menungguku!” sembur Kimberly emosi.
Damian terkekeh rendah. “Suamimu menunggumu? Benarkah itu? Bukannya suamimu tak pernah memedulikanmu? Kemarin saat di kantor saja aku mendengar kalian berdebat. Kau bisa menipu seluruh keluarga tentang hubunganmu dan suamimu baik-baik saja, tapi kau tidak bisa menipuku, Kim.”
“Suami istri bertengkar itu hal biasa!” seru Kimberly menegaskan. “Sekarang minggirlah. Aku ingin pulang. Kau juga ditunggu oleh kekasihmu. Jangan meninggalkannya. Ini hari ulang tahunnya.”
‘Kekasih?’ Damian mengerutkan keningnya kala Kimberly mengatakan kekasih. Ah, tiba-tiba benak Damian langsung tanggap siapa yang dimaksud oleh Kimberly. Perlahan senyuman di wajah Damian kembali terlukis. Tatapannya tak lepas menatap manik mata hazel Kimberly.
“Apa kau cemburu pada Jennisa, Kim?” bisik Damian serak tepat di depan bibir Kimberly.
“Untuk apa aku cemburu? Memangnya kau siapa sampai aku harus cemburu?” Kimberly menatap dingin dan tajam Damian.
Damian tak henti tersenyum. Pria itu tak langsung menjawab ucapan Kimberly. Dia malah mengamati wajah Kimberly yang menunjukkan kemarahannya. Namun amarah Kimberly itu terlihat seksi di mata Damian. Sejak awal dia tahu Kimberly bukanlah sosok wanita lemah lembut. Kimberly bagaikan harimau liar seksi yang memiliki pesona mengagumkan.
“Aku tahu kau cemburu, tapi satu hal yang harus kau ingat, wanita yang menjadi favorite-ku di ranjang hanya kau, Kimberly.”
Usia Diego saat ini sudah enam bulan. Semakin hari Diego semakin aktif dan sangat pintar. Tubuh Diego semakin gemuk dan sehat. Tangan dan kaki Diego sudah penuh dengan rolls layaknya roti sobek yang menggemaskan. Pipi tembam memerah persis seperti bakpau yang ingin digigit. Rambut Diego cokelat gelap menurun seperti rambut Damian. Manik mata cokelat gelap berkilat memancarkan keindahan yang tak terkira.Diego seperti cerminan Damian. Semua benar-benar mirip layaknya buah apel yang telah terbagi menjadi dua. Memiliki paras yang sama tak berubah. Sesuai dengan keinginan Kimberly. Ya, sejak hamil memang Kimberly berharap anak pertamanya adalah laki-laki agar bisa melihat Damian kecil. Ternyata semesta mencatat apa yang menjadi keinginan Kimberly. Terbukti anak pertamanya adalah laki-laki yang sangat tampan.Di usia Diego yang sudah enam bulan ini, Damian akan menepati janjinya yang ingin mengajak Kimberly dan Diego berjalan-jalan ke luar negeri. Tentu Kimberly menyambut sangat antusias.
Ernest duduk di kursi kebesarannya yang ada di mansion-nya. Sekitar lima belas menit lalu, Maisie sudah berpamitan untuk pergi ke penthouse Kimberly. Tentu Ernest tak mungkin melarang. Malah dia senang karena sekarang Maisie dekat dengan Kimberly. Ini yang sejak dulu Ernest nantikan, di mana Maisie dekat dengan putrinya.Suara ketukan pintu terdengar membuyarkan lamunan Ernest. Refleks, Ernest mengalihkan pandangannya ke arah pintu, dan segera meminta orang yang mengetuk pintu itu untuk masuk ke dalam ruang kerjanya.“Tuan,” sapa sang pelayan melangkah mendekat pada Ernest.“Ada apa?” Ernest menatap dingin sang pelayan yang kini sudah di hadapannya.“Tuan, di depan ada Tuan Deston ingin bertemu dengan Anda,” ujar sang pelayan yang sedikit membuat Ernest terkejut.“Deston datang?” Sebelah alis Ernest terangkat, menatap sang pelayan.“Iya, Tuan,” jawab sang pelayan itu lagi.Ernest mengembuskan napas pelan. Seingat Ernest, Deston sama sekali tidak memberitahukan kalau hari ini akan data
“Ini kamar bisa kau pakai.” Fargo berucap dingin dan tak ramah pada Carol kala dirinya mengantarkan Carol ke kamar tamu yang ada di apartemen pribadi miliknya. Dia ingin sekali mengusir paksa Carol, tapi dirinya berada di ambang kebingungan. Pasalnya Carol adalah teman baik Kimberly. Dia tak mungkin mengusir paksa Carol.“Thanks. Aku tidak akan lama di sini,” jawab Carol datar. Dia tak pernah menyangka akan terjebak di apartemen milik Fargo. Sungguh, dia tak menginginkan hal ini terjadi, tapi dia tak memiliki pilihan lagi. Dia masih belum memiliki keberanian kembali ke hotel. Hal yang dia takutkan adalah Adrik tahu hotel di mana yang dirinya tempati selama di Amsterdam. Jika sampai itu terjadi, pasti masalah baru akan datang.“Kau memang tidak bisa lama di sini. Orang itu wajib tahu diri,” ucap Fargo sarkas dan tegas. Detik selanjutnya, dia melangkah pergi meninggalkan Carol begitu saja tanpa menunggu balasan ucapan dari Carol.Carol berdecak tak suka dan mengumpati Fargo dalam hati.
Amsterdam, Netherlands. Angin berembus sedikit kencang membuat rambut panjang dan indah Carol berantakan. Tampak Carol sedikit kelelahan. Setelah menempuh perjalanan berjam-jam akhirnya dia tiba di kota terbesar di Belanda. Demi menghibur diri dari kepenatan, Carol menganggap dirinya berlibur sejenak. Anggaplah menjauh dari Los Angeles demi membebaskan dirinya dari segala masalah yang menerpa dirinya.“Selamat pagi, Nona Carol,” sapa sang sopir penuh sopan pada Carol yang baru saja muncul di lobby bandara. Ya, kali ini sang sopir tak berani untuk datang terlambat. Jika saja sampai terlambat, maka saja saja sang sopir itu mencari malapetaka.“Pagi,” jawab Carol datar. “Aku pikir kau akan terlambat lagi.”“Tidak, Nona. Nona Fiona sudah meminta saya untuk datang tepat waktu jangan sampai terlambat.”“Good, aku memang paling tidak suka kalau ada yang datang terlambat. Apalagi dalam hal menjemputku. Itu sama saja menjadikanku seperti orang bodoh menunggu.”“Maafkan atas kejadian waktu it
Menjadi ibu rumah tangga tak pernah membuat Kimberly lelah sedikit pun. Kimberly seakan begitu menikmati perannya menjadi seorang istri dan ibu. Setiap hari, dia selalu membantu menyiapkan segala hal yang Damian butuhkan dan selalu mengurus Diego dengan sangat baik. Pun dia tak pernah merasa bosan. Memasak, menunggu sang suami pulang dari kantor, semua adalah moment-moment yang paling berharga untuk Kimberly.Pekerjaan Kimberly tak begitu saja Kimberly lepas. Dia tetap menyadari tanggung jawabnya. Dia juga tak tega pada Carol yang selalu menggantikanya. Dari kejauhan dia tetap memeriksa dan membantu walau belum bisa optimal. Hampir setiap minggu, Brisa sering datang ke rumahnya untuk memberikan laporan. Paling tidak, dia tetap bertanggung jawab akan perusahaannya di tengah-tengah perannya sebagai ibu rumah tangga.Seperti saat ini di kala pagi menyapa, Kimberly sudah sibuk menyiapkan sarapan untuk sang suami. Tadi malam Damian mengatakan pada Kimberly kalau hari ini tak akan pergi ke
Amsterdam, Netherlands. Fargo membubuhkan tanda tangan di dokumen yang baru saja diantarkan oleh sang asisten. Pria tampan itu kembali membaca dokumen itu lagi, memastikan bahwa dokumen yang ada di hadapannya tak ada yang salah sedikit pun. Saat semua isi dokumen tersebut benar, Fargo segera mengembalikan dokumen tersebut pada Gene yang ada di hadapannya.“Bagaimana perusahaan di Los Angeles, apa ada masalah?” Fargo bertanya pada Gene seraya mengambil gelas berkaki tinggi yang berisikan wine, dan menyesapnya secara perlahan. Tatapan mata tegas dan dingin Fargo, menatap Gene, meminta penjelasan dari sang asisten.“Semua baik-baik saja, Tuan. Kondisi perusahaan setiap bulannya mengalami kenaikan cukup signifikan,” jawab Gene memberi tahu dengan nada sopan. “Tadi malam saya baru saja mengirimkan laporan penjualanan bulan lalu, Anda bisa melihat di sana penjualanan pun mengalami peningkatan.”Fargo menganggukkan kepalanya, lalu tiba-tiba terdengar suara dering ponsel masuk dari Gene. Ref