Ketika terpal sudah terpasang, Safawi naik ke atas truk. Dia naik ke bak belakang bersama kuda dan kereta. Sopir truck memeriksa semua bagian truk kemudian naik ke belakang kemudi. Truck melaju perlalan meninggalkan pasar Wadung menuju jalan utama-jalan protokol Bali - Surabaya- munuju Gunung Kumitir. Begitu masuk jalan protokol sopir melajukan truck dengan kecepatant inggi.
Di bak belakang, Safawi membuka karung yang tadi dipangggul dan mengeluarkan isinya. Dia memapah isi karung, dibaringkan diatas tikar yang sudah dia siapkan lalu dia melepas kemeja untuk menyangga kepala Zimat. Kemudian tangannya bergerak cepat di beberapa titik dari tubuh Zimat-membuka totokan- yang dibuatnya sebelum pergi. Ia melakukannya untuk mengecoh musuh-musuh Zimat, dengan cara menotok Zimat agar kehilangan kesadaran. Dengan demikian Safawi dengan leluasa membungkus tubuh Zimat dengan karung lalu dipanggulnya. Sedetik kemudian Zimat terbatuk. Cepat-cepat Ketek Putih menggenggam tangan Zimat penuh haru. Zimat berusaha mengumpulkan kesadaran, kemudian tersenyum kecut. Bola matanya menyimpan duka yang dalam. Ketek Putih segera membetulkan letak duduknya kemudian menunduk hormat.
"Mohon maaf beribu maaf, pertama saya menghaturkan hormat dan bakti saya, semoga Kang Mas berkenan menerima. Kedua saya mohon diampuni karena tidak bisa menyelematkan Kang Mas dengan cara yang lebih layak," ucap Safawi sedih, kepalanya semakin menunduk.
Namun Zimat justru tergugu sambil menggengam erat tangan Safawi, tangisnya pecah.
Setelah Zimat menghabiskan tangis, Safawi berujar, "Kang Mas, sekarang harus fokus pada kesehatan Kang mas, supaya cepat pulih, perkara yang lain-lain biar saya, Nimas Nay dan Nimas Najwa yang mengurusnya."
Zimat mengangguk lemah. Safawi memeriksa beberapa bagian tubuh Zimat yang cedera. Dia tersenyum, setelahnya dia meletakkan telapak tangan kiri di kening Zimat sambil berkata. "Maafkan aku Kang Mas," ucapnya.
Safawi memasang sirep. Tiba-tiba Zimat mengantuk, beberapa saat kemudian Zimat terlelap. Safawi tersenyum haru. Matanya menyimpan duka yang dalam. Dia membetulkan letak duduknya lalu menyilangkan tangan di atas dada sambil memjamkan mata. Luruh dalam semedi.
Truck yang mereka tumpangi masih terus melaju menembus pekadnya malam. Gunung Kumitir telah pun mereka lalui.
__________________
Sehari sesudahnya, pagi menjelang siang truck yang mereka tumpangi telah meninggalkan kota Malang menuju Biltar. Lewat waktu dhuhur saat matahari mulai condong ke barat-mereka sampai di hutan belantara yang membatasi Malang dan Blitar
Zaman dulu masih seram. Ha ha ha..., sekarang juga masih seram. Akhir thn 2018 kemaren aku juga masih melintas di sana malam hari, masih seram, bahkan purnama yang harusnya indah, keindahannya tersamarkan oleh suasana magis yang kental.
Di hutan belantara tersebut Safawi meminta Sopir menghentikan truk. Tergesa Safawi keluar dari truck lalu membuat garis melingkari truk dengan jari telunjuknya. Ia memasang pagar gaib dengan membuat garis yang iya lukis di tanah. Itulah orang jawa, saat jari telunjuknya iso nduding maka pagar gaib pun bisa dibuat hanya dengan jari telunjuk.
Sopir menatap aneh tapi tidak berani bertanya. Sungguh suasana hutan, tempat mereka berhenti telah menjadikan hatinya ciut, ada penyesalan karena telah menerima kresek hitam dari Safawi. Kresek hitam itu penuh lembaran berwarna merah, seratus ribuan yang dibendel sepuluh jutaan. Namun kini berbagai pikiran buruk memenuhi otaknya.
Tergesa sopir menggulung terpal sesuai permintaan Safawi. Safawi menurunkan kuda lalu kereta. Kemudian memasang semua baut dan pengaitnya begitu terpal telah tergulung sempurna. Semua itu dilakukannya dengan waktu yang sangat singkat. Safawi risau, tergambar jelas kekhawatiran di raut muka. Setelahnya dia memeriksa seluruh bagian kereta dengan seksama. Saat dirasa semua sudah benar dia memapah Zimat turun dari truk lalu dibaringkan di bagian belakang kereta. Sopir melongo menyaksikan hal ini. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa karung yang di panggul Safawi sebelum memasuki truknya di pasar Wadung adalah manusia. Hati sopir truck makin dicekam rasa takut.
Safawi menyadari bahwa sopir truk dicekam ketakutan, dia mendekatinya lalu mengusap wajah sopir tersebut dan berbisik di telinganya, "kau tidak pernah menyaksikan apa pun dan tidak pernah mengantarku ke sini, sekarang pergilah!"
Sepatah kata pun sopir tidak menjawab, liglung dia berbalik masuk ke dalam truk dan duduk di belakang kemudi. Dia memutar truknya berbalik arah, melajukan truk seperti orang gila. Ketek Putih tersenyum datar menyaksikan ulahnya, Ia memandang truk berlari menjauh hingga hilang dari pandangan.
Safawi menyelimuti Zimat dengan karung. Sengaja disamarkan agar tidak dikenali, siapa pun yang melihat mengira hanya benda, bukan manusia. Dia juga memasang penutup wajah bermodel seperti ninja lalu menutupi kepala dengan pakaian lusuh.
Saat segala persiapan dirasa cukup, Ia meloncat ke atas kuda dan menghentak tali kekangnya. Kereta bergerak perlahan meninggalkan belantara.
Memasuki waktu ashar dia memasuki Kabupaten Blitar. Jalan protokol yang indah, persawahan luas membentang, udara sore yang sejuk. Kereta berbelok ke arah kanan memasuki jalan beraspal yang lebih sempit. Jauh ke dalam, jalan mulai berbelok-belok. Setelahnya nyempal lagi jalan yang lebih kecil, terus masuk ke dalam, jalanan mulai rusak dan berbatu. Menanjak terjal. Berbelok lagi ke jalan setapak hingga sampailah mereka di sebuah kebun yang sangat luas dengan sebuah rumah kosong di tengahnya. Agak seram. Rumput di sekitar rumah setinggi tubuh orang dewasa. Banyak pohon besar di sekitar rumah.
Kereta tidak dapat masuk halaman karena rumput yang tinggi dan tebal. Banyak juga tanaman liar yang membuat jalan benar-benar tidak bisa dilewati. Safawi kebingungan beberapa saat, karena tidak membawa peralatan apa pun. Namun kemudian dia dikejutkan oleh suara seseorang menyapanya. "Lho wis nyampek to le?" (Lho sudah nyampek Nak? Red-)
Safawi membalikkan tubuh dan mundur beberapa langkah, wajahnya bergidik ngeri. Seorang laki-laki seusia Zimat telah berdiri di hadapan dengan parang berkilat oleh sinar mentari senja. Melukiskan betapa tajam parang dalam genggamannya. Ia terpaku, matanya tidak berkedip menatap parang dengan raut muka penuh tanya. Ragu-ragu Safawi mengangguk hormat. Laki-laki itu tersenyum ramah. "Tidak salah Kasumi mempercayaimu, kau memang bisa diandalkan," ucapnya.
Lagi-lagi ia tersenyum ramah. Safawi mulai berusaha mengingat-ingat siapa laki-laki di hadapan. Namun sekuat apa pun ia berusaha tetap tidak menemukan jawaban. Otaknya makin kalut, dia memandang dengan tatapan bingung. Senyumnya tulus tapi kilatan-kilatan dari parang yang ia genggam membuat Safawi curiga. Meski ia telah begitu yakin bahwa ia tidak diikuti, bisa saja keyakinannya meleset.
_______________
Nasura2101.
Sementara mishal dan asistennya---gadis cantik yang memapah Nay setelah interview--- hanya mampu terpaku menatapnya dari depan pintu kamar yang terbuka. Keduanya menatap dengan tatapan aneh sekaligus bingung. "Cari tau, apa yang sudah dilaluinya, aku merasa dia telah melewati hal yang sangat berat sebelum dia sampai ke sini!" perintah Mishal. "Baik, Tuan," jawab asistennya. Asistennya langsung berlalu. Karena tidak tahan, akhirnya Mishal mendekat, dia berjongkok dan menggenggam tangan Nay. Lalu berbisik di telinganya, "be cool sweet heart, you are save now, nobody will hurt you. Just take a deep breathe slowly."
Nay mengerutkan kening, dia tidak percaya dengan apa yang didengar, "terdengar seperti lelucon bagiku," ucapnya datar, lirih. Namun cukup jelas di telinga Mishal, "ha ha ha..., I didn't blame you if yu think that is just a joke." Tawa Mishal melebar, sementara Nay, semakin terkejut menyadari Mishal memahami apa yang diucapkannya. Tersipu, ia menyembunyikan senyumnya dengan menunduk dalam. Suasana yang tadinya cannggung, sedikit mencair. Lalu tanpa mereka sadari, keduanya terlibat dalam perbincangan hangat. "Mishal, why me?" tanya Nay datar, ada kesedihan dan duka di nada suaranya. Mendung menggelayut di bola mata indahnya.
Pertama saat masuk akomodasi milik Abu Ahmad, Nay bertemu dengan seorang perempuan bernama Basagita. Dia cantik dan menawan, apalagi bajunya yang sexi mebuatnya terlihat panas. Namun Nay mencium hawa pelacur. Selain itu, nada bicaranya arogan dan mengintimidasi. Setelah Bagasita memperkenalkan dirinya dan apa posisinya, Nay paham bahwa, Basagita adalah in charge nya akomodasi milik Abu Ahmad. Bagasita mengelandang Nay, masuk salah ke sebuah kamar, "Buka tasmu!'' perintahnya kemudian. Nay m
Banuwati datang menemui Nay, keesokan harinya, "aku berjanji akan mencarikan pekerjaan di luar dengan visa nomer delapan belas." ucap Banuwati lembut. Nay hanya membeku mendengar ucapan Banuwati, dia menatap datar perempuan cantik di hadapannya. "Visa delapan belas itu artinya kau akan punya hak terhadap dirimu sendiri?" ucap Banuwati selanjutnya. "Really? So, I have to trust someone the one already sole me?" Nay memberondong Banuwati dengan pertanyaan dengan nada sinis. Banuwati masih menatap lembut wajah Nay, tatapannya berusaha meyakinkan. Nay justru menyeringai sinis. "Nay, kau sudah pindah lima belas majikan dalam jangka dua bulan? Menurutmu apa yang bisa kulakukan lebih dari ini?"
Banuwati sudah berada di kantor polisi, dia mendapati Nay tepekur duduk di kursi tunggu dengan wajah ketakutan. Ia tidak pernah melihat Nay setakut ini, meski pernah bermasalah dengan majikan yang pertamanya, bahkan dipukuli hingga babak belur dan hampir mengakhiri hidupnya. Namun Banuwati tidak melihat ketakutan di bola maat Nay seperti saat ini. Banuwati mendekat, "apa kau baik-baik saja?" tanya Banuwati lembut. Alih-alih menjawab pertanyaan Banuwati, Nay malah menatap Banuwati dengan tatapan yang susah diartikan. Bola matanya mulai berair. Tidak sepatah kata pun keluar suara dari bibirnya. Banuwati meraih bahu Nay, bermaksud memeluknya, tapi di tepis leh Nay. Kini, Nay menatap Banuwati dengan tatapan takut bercampur benci dan amarah. Banuwati mengerutkan kening tanda tidak mengerti. Setelah menandatangi beberapa berkas, akhirnya Banuwati membawa Nay pulang. Rupanya Nay lari dari rumah majikan dan langsung ke kantor polisi. Ada yang baru dipahami oleh Banuw
Nay menolak untuk dipulangkan, meski dia telah menghadapi situasi yang hampir merenggut nyawanya. Banuwati dan Najwa tertegun, tidak habis pikir dengan keputusannya. Keduanya bersitatap tanpa kata. Bisu dan membeku, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja keluar dari bibir Nay. Nay tib-tiba berdiri lalu menggenggam tangan Najwa. Ia memejamkan mata sambil merapal mantra. Mantra yang dirapalkan terdengar menggema di telinga Banuwati tapi Banuwati tidak tau bahasa apa yang digunakan Nay. Ada dua garis lurus muncul yang tiba-tiba muncul di kedua lengan Nay dan Najwa, tepat di sebelah urat nadi. Garis itu berwarna kuning keemasan, mirip seperti teriris beati tajam. Darah tiba-tiba mengucur dari kedua garis itu. "Mbak, sedang kembali menyambung kabel getih?! akhir