Share

BAB 05

Tetangga Meresahkan

BAB 05

Aku hanya tersenyum melihat kepergian Bu Darmi.

Sore harinya seperti biasa. Dimas sedang bermain bersama temannya.

Aku selalu mendampingi kemana Dimas berjalan, karena takut jika Dimas jatuh atau ada kendaraan yang lewat, karena mereka main dipinggir jalan gang, jadi tidak seramai jalan utama. Dan kendaraan yang lewat pun hanya motor. Tapi yang namanya anak kecil. Takutnya ketika ada motor lewat malah didatangi bukannya minggir.

Bu Sulis datang menghampiriku.

"Bu Sara! Tolong ya! anaknya jangan boleh lari depan rumah Saya. Jadi kotor lantainya habis Saya pel!"ucapnya ketus.

"Maaf iya Bu Sulis! Anak Saya dari tadi main disini dan gak ada tuch lari sampai kerumahnya Bu Sulis."jawabku tak kalah ketus.

"Yang suka lari-lari kan anak Ibu."ucapnya lagi.

"Aduh Bu. coba tanyakan sama anak Ibu itu, yang lari kerumah Ibu siapa? Jangan seenak jidat Ibu nuduh anak Saya."ucapku dengan nada sedikit tinggi.

Bu Sulis langsung berlalu pergi.

Ada apa sich dengan Ibu-Ibu digang sini?"bathinku.

Aku tetap menemani Dimas bermain. Sedang asyik bermain tiba-tiba Shinta anak Bu Sulis jatuh dan nangisnya kencang sekali, Hingga aku kewalahan untuk menenangkannya.

Bu Sulis berlari kearah Kami dengan raut wajah emosi.

"He! Bu Sara kenapa anak Saya sampai nangis begini???"ucapnya dengan nada tinggi.

"Shinta jatuh Bu... waktu main kejar-kejaran sama teman-temannya."Jawabku dengan nada sedikit tinggi.

"Lho! Bu Sara ini kok bentak Saya."ucapnya sambil melotot.

"Lha, kan Ibu duluan yang mulai dengan nada tinggi. Tanpa tahu duduk masalahnya apa? "jawabku tak mau kalah.

Lalu Bu Sulis beranjak pergi sambil menggendong anaknya.

Karena sudah mau magrib Ku ajak Dimas untuk pulang.

Lalu memandikannya dan setelah itu menyuapinya makan.

Ketika sedang menyuapi Dimas, Mas Andi datang kearah Kami.

"Dek,Tadi Mas dengar ada ribut diluar itu kenapa?"selidik Mas Andi.

"Oh Itu. Bu Sulis tadi marah anaknya jatuh dikira Dimas yang jatuhin."Jawabku.

"Adek. Jangan juga bales dengan nada tinggi, Gak suka Mas dengarnya."ucap Mas Andi.

"Mas! Apa Kita harus selalu mengalah dengan perilaku mereka yang selalu menyalahkan orang, tanpa tahu kebenarannya."ucapku sedikit menekan omongan. Aku sedikit kesal dengan ucapan mas Andi.

"Sebenarnya salah Kita apa sich Mas? Mengapa Kita selalu diperlalukan seperti ini."imbuhku

"Dek, Mereka itu hanya bingung dengan Kita, walaupun Mas hanya bekerja sebagai buruh bangunan, akan tetapi hidup Kita bisa menyamai mereka yang Suaminya bekerja disebuah perusahaan batu bara."ucap Mas Andi sambil mengelus bahuku.

"Tapikan Mas. Apa mungkin mereka iri? Lalu apa yang harus diiriin dari Kita? Sedangkan rumah aja Kita ngontrak.Tidak seperti Mereka yang memiliki rumah sendiri."ucapku sedih bercampur bingung.

"Iya Dek, Tapi setiap ada kesusahan mereka. Adek selalu ada membantu mereka, entah dari segi materi maupun tenaga, Itu yang membuat mereka merasa iri."ucap Mas Andi.

Memang benar, jika ada sesuatu musibah atau iuran. Kami tidak pernah absen, selalu memberi tanpa mau disebutkan nominal dan tanpa mau dicatat namanya. Bagi Kami tidak perlu orang tahu seberapapun jumlah yang Kami sumbangkan yang penting keikhlasan hati dalam memberi.

Kebanyakan warga disini, Sengaja mencatat nama-nama mereka dan jumlah yang mereka sumbangkan. Agar para warga yang lain berapa jumlah mereka menyumbang atau iuran.

"Ayo Kita pindah aja Mas. Aku gak sanggup dengan sikap warga disini, Ya walaupun tidak semua warga begitu tapi.."ucapku menjeda omongan.

"Dek, tidak enak sama Pak Budi jika Kita pindah hanya karena hal sepele, Mas ingin ketika Kita harus pindah, Kita akan pindah kerumah Kita sendiri."ucap Mas Andi lembut.

Lalu Mas Andi beranjak kekamar ingin beristirahat.

👌👌👌👌👌👌👌👌👌👌👌👌👌👌👌

Selepas Isya.

Pintu terdengar ketokkan pintu.

Tok..tok..tok...

Assalamualaikum..

Aku langsung beranjak menuju pintu dan segera membukanya.

"Waalaikum salam, eh Pak Dodi mari Pak silahkan masuk."ucapku sambil mempersilahkan Pak Dodi masuk dan duduk.

Pak Dodi adalah suami dari Bu Darmi.

Lalu aku memanggil Mas Andi.

Setelah Mas Andi datang dan duduk bersama Pak Dodi, Aku permisi kedapur untuk membuatkan minum untuk mereka.

Setelah membuat minum, Aku bergabung bersama mereka.

"Maaf nich Pak! Saya menganggu waktu istirahat bapak."ucap Pak Dodi.

"Oh. iya Pak gak apa-apa."jawab Mas Andi.

"Gini Pak. Saya kesini mau meluruskan tentang perihal air."Aku dan Mas Andi saling pandang.

"Masalah apa ya Pak?"jawabku.

"Gini Bu, Bukankah Kami setiap bulan selalu rutin bayar? Mengapa air tetap Bu Sara putus."tanyanya masih dengan nada sopan.

"Gini ya Pak, Bu Darmi hanya bayar empat bulan pertama sebesar dua ratus ribu."jawabku sopan.

"Ah! Bu Sara jangan mengada-ada, Tidak mungkin istri Saya hanya bayar empat bulan saja, wong setiap bulan selalu Saya kasih untuk bayar air kok."ucapnya tidak percaya.

"Lha... memang kenyataannya begitu Pak, Itupun uangnya diambil kembali didepan Pak Rt."jawabku, Lalu menceritakan kejadiannya.

"Bu Sara ini pinter bolak-balik omongan ya Pak Andi."ucapnya dengan menekan omongan.

"Maksud Bapak!"ucap Mas Andi tegas.

"Lha itu. Buktinya uang air sudah dimakan habis lalu ngomong kalau Istri Saya yang tidak bayar."ucapnya sambil mencibir, Mas Andi terlihat sangat emosi, Namun tidak dinampakkan.

"Apa Bapak sudah menyelidiki dulu omongan Istri Bapak?"tanya Mas Andi sopan.

"Saya itu menikah dengan Darmi sudah tiga puluh tahun, jadi Saya faham bagaimana sifat Istri Saya."ucap Pak Dodi tinggi.

"Gini saja Pak, Dari pada Kita selalu ribut masalah air yang tidak pernah ada titik terangnya, bagaimana jika Bapak bikin sumur."jawab Mas Andi

"Bapak pikir sumur bor itu murah!"bentaknya.

"Lho... Bapakkan masih sehat dan kuat, mengapa Bapak tidak mencoba untuk menggali?"jawab Mas Andi dengan menajamkan mata kearah Pak Dodi.

"Kamu pikir gali sumur itu mudah!"lagi-lagi Pak Dodi menjawab dengan nada tinggi.

"Jika Bapak anggap sulit ya pasti sulit, namun jika Bapak anggap itu mudah pasti mudah, semua itu tergantung dari kitanya Pak."ucap Mas Andi tegas.

"Halah, percuma ngomong sama orang rendahan dan miskin seperti kalian. Pasti gak akan nyambung."ucapnya lalu berdiri dan berlalu pergi.

"Ngomongin Kami miskin tapi masih minta bantu sama Kami. sadar yang miskin ini Kami atau Kalian."teriakku jengkel. Pak Dodi tetap melangkah pergi tanpa menoleh kearah Kami.

"Sudah Dek, jangan diladeni, Sabar, berdoa kepada Allah agar memberikan hidayah untuk orang seperti mereka."ucap Mas Andi sambil menarik tanganku diajak masuk kedalam rumah.

Aku lalu masuk dan menangis, jengkel rasanya selalu diperlakukan seperti ini.

Suara adzan subuh membangunkan Kami.

Aku sudah menerka jika air pasti habis dan benar saja, ketika Kami hendak mengambil air untuk berwudhu air tidak mengalir.

Lalu aku menyalakan sanyo untuk mengisi air. setelah air terisi. Kami-pun berwudhu dan melaksanakan sholat subuh berjamaah.

Selepas sholat subuh. Aku langsung menuju dapur untuk memasak sarapan, Karena hari ini hari Mas Andi akan bekerja kembali setelah penyembuhannya.

Ketika sedang sarapan aku ngomong kepada Mas Andi.

"Mas sepertinya air kita setiap malam dicuri dech."ucapku sambil mengunyah makanan.

"Ah. Kamu ini Dek aneh-aneh saja."ucap Mas Andi sambil melahap makanannya.

"Iyalah Mas, Buktinya tidak ada kebocoran pipa tapi hampir dua hari sekali air habis tiba-tiba,"ucapku.

"Gini aja Mas, Nanti pulang kerja. Mas tutup keran yang dibelakang iya, jadi gak ada keran air dibelakang, To setiap hari aku nyuci bajunya dikamar mandi, Jadi keran belakang tidak ada gunanya."ucapku sambil tersenyum kepada Mas Andi.

"Iya, Nanti Mas tutup sepulang dari kerja sekalian Mas beli penutupnya."Sambil beranjak dari kursinya dan berangkat bekerja.

Aku tertawa membanyangkan akan ada orang yang kebakaran jenggot jika keran dibelakang aku tutup.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status