Share

BAB 04

Karena tidak menemukan pipa yang bocor, lalu mas Andi sarapan, karena takut jika nanti kesiangan. Setelah sarapan Mas Andi berangkat kerja.

Entah mengapa perasaanku tidak enak seperti akan terjadi sesuatu yang buruk.

Aku langsung beristighfar agar hatiku tenang.

Dua jam berlalu, tiba-tiba terdengar suara mobil berhenti didepan rumah, hatiku semakin tak menentu.

Setelah Ku buka pintu, Mataku dikejutkan dengan kedatangan Pak Budi-mandor Mas Andi.

"Assalamualaikum Bu."Sapa Pak Budi.

"Waalaikum salam Pak."Jawabku.

"Gini Bu kedatangan Saya kesini untuk menjemput Ibu, Dikarenakan Pak Andi jatuh dari tangga ketika sedang bekerja."ucapnya dengan raut wajah cemas. Aku yang mendengar itu sangat kaget. Aku langsung bergegas mengemas keperluan Dimas dan berganti baju.

Setelah semua selesai Kami pun berangkat.

Tiga puluh menit jarak yang harus kami tempuh untuk sampai rumah sakit.

Setelah sampai diruangan Mas Andi. Aku-pun langsung menghambur kepelukan Mas Andi yang sedang berbaring dengan kaki diperban.

Air mata tak dapat lagi ditahan.

"Bu. Saya pamit kembali keproyek, nanti jika ada apa-apa Ibu bisa hubungi Saya."ucap Pak Budi sambil berpamitan kepada Mas Andi.

"Iya, Pak terima kasih." jawabku. Dan setelah itu pak Budi keluar dari ruangan tempat mas Andi di rawat.

Setelah kepergian Pak Budi, aku baru bertanya kepada mas Andi tentang kejadian yang menimpanya.

"Mas kenapa kok bisa jatuh..?"tanya ku terisak.

"Musibah dek, Sudah jangan bersedih. Mas tidak apa-apa. kata Dokter, kaki Mas cuma terkilir."jawab Mas Andi menenangkanku.

Tiga hari Mas Andi dirawat dan hari ini sudah diperbolehkan pulang.

Pak Budi mandor yang sangat baik. selama dirumah sakit Kami tidak pernah kekurangan apapun.

Pak Budi mengantarkan Kami pulang dan memberikan uang sebesar dua juta untuk pegangan Kami selama Mas Andi belum bisa bekerja.

Awalnya Kami menolak. Tapi, Pak Budi tetap memaksa, karena Pak Budi ingin Mas Andi fokus untuk pemulihannya, agar bisa kembali bekerja, karena Mas Andi adalah orang yang Pak Budi percaya untuk menangani proyeknya ketika Pak Budi harus pergi mengecek pekerjaan lainnya.

Setelah Pak Budi sudah pergi. Para tetangga mulai berdatangan. Tanpa terkecuali Bu Darmi.

"Gimana keadaan suaminya Bu Sara?"Tanya Bu Sulis.

"Alhamdulillah sudah membaik Bu, Tinggal pemulihannya saja."Jawabku.

"Itu karma buat Bu Sara, karena sudah dzolim terhadap Saya!"ucap Bu Darmi dengan wajah tanpa dosa.

"Maksud Ibu apa!!!"jawabku sinis.

"Iyalah, Ibu putus sambungan air kerumah Saya, tanpa saya tahu salah Saya apa!"Jawabannya dengan wajah sedih.

"Eh. Bu! Selama ini Saya diam itu bukan karena Saya takut. Tapi karena Saya menghargai Ibu sebagai warga disini."ucapku dengan sedikit menekan omongan.

"Sudah.. Sudah... Bu Darmi, ini orang lagi kena musibah, bukannya prihatin malah ngomong gak jelas."ucap Bu Dina menengahi.

"Ibu-ibu tidak tahu betapa dzolimnya Bu Sara ini terhadap Saya."ucapnya dengan raut wajah sedih.

"Maaf iya Bu! Saya atau Ibu yang dzolim!"jawabku kesal.

Lalu Bu Sulis menyuruh Bu Darmi untuk pulang. Bu Darmi terlihat kesal. Karena merasa terusir.

"Bu Darmi lebih baik pulang saja dari pada disini bikin masalah!" celetuk bu Sulis dengan nada ketus

"He! Bu Sulis tidak usah mengusir saya seperti itu. Saya juga sudah mau pulang malas lama-lama di rumah kumuh seperti ini!" jawabnya sambil berlalu pergi dengan wajah kesal.

Setelah kepergian Bu Darmi lalu bu Sulis berkata kepadaku.

"Nah kan. Ibu merasakan sekarang gimana sifat Bu Darmi."ucap Bu Sulis mencibir.

"Iya Bu maaf."ujarku.

"Oh. Iya Bu, pasti mahal iya biaya rumah sakit?"tanya Bu Sulis dan Bu Dina.

"Iya lumayan Bu."jawabku.

"Ibu dapat uang darimana untuk bayar rumah sakit? secara suami Ibu kan cuma buruh bangunan."ucapnya dengan menekan kata buruh bangunan.

"Alhamdulillah mandor yang menanggung biayanya Bu."ucapku dengan hati yang tidak nyaman.

"OH... Jadi Mandornya yang biayai pantas saja bisa bayar rumah sakit ya Bu."jawabnya dengan nada cibiran.

"Iya, Bu. Mandor suami saya sangat baik orangnya." ucapku lagi

"Ya baiklah bu. Karena dia butuh tenaga suami ibu. Coba kalau dia sudah gak butuh pasti gak akan mau biayai rumah sakitnya." jawabnya dengan nada ketus.

Aku hanya tersenyum mendengar jawaban bu Sulis. Aku malas membalas ucapannya karena pasti Ujang-ujungnya juga merendahkan kami.

Setelah Itu mereka pamit pulang tanpa melihat keadaan Suamiku.

Setelah kepergian mereka. Aku bergegas memasak karena Mas Andi harus minum obat.

Sehabis shalat isya, Mas Andi menyuruhku untuk istirahat karena seharian ini aku sangat sibuk.

Keesokan paginya pintu belakang di gedor.

Dor..dor..dor..

Aku segera membuka pintu.

"Ada apa lagi Bu?"tanyaku ketus.

"Sama tetangga gak boleh gitu!"jawabnya tak kalah ketus.

"Ini ada Pisang satu sisir. Tapi Saya mau Kamu beli karena dirumah gak ada sayur."ucapnya dengan nada ketusnya.

"Lha! maksud Ibu, Saya disuruh beli pisang ini?"tanyaku heran.

"Iyalah Bu. Masak gratis!"ucapnya ketus.

"Gak ah Bu. Saya gak mau beli."jawabku.

"He Bu! Saya kalau tidak terpaksa juga tidak mungkin datang kesini, Palingan Bu Sara gak punya duit."ucapnya dengan mencibir.

Ketika hendak Ku jawab, Tiba-tiba Mas Andi berjalan dengan pincang kearah Kami.

"Ini Bu, silahkan diambil uangnya, pisangnya Ibu bawa saja"ucap Mas Andi dengan sopan. sambil mengulurkan uang berwarna biru.

Bu Darmi langsung menyambar uang itu dengan mata berbinar, Lalu, Dia pergi tanpa mengucapkan terimakasih ataupun pamit.

Kami yang melihat itu hanya bisa mengelus dada.

Setelah kepergian Bu Darmi, aku ngomel kepada Mas Andi.

"Kenapa Mas kasih sich? Wong orangnya aja begitu."gerutuku.

"Ikhlaskan Dek. Itu sudah rejekinya, Mas Ingat ketika Kita dulu kesulitan tidak ada yang perduli dengan Kita."Jawab Mas Andi menasehati ku.

"Iya sich Mas, tapi caranya itu aku gak suka."jawabku kesal.

Ucapan Mas Andi membuat ingatanku kembali mengingat masa-masa teramat sulit Kami, sewaktu tinggal dikontrakkan lama.

Disana kehidupan Kami begitu prihatin. Bisa makan sehari-hari saja sudah bersyukur, Karena Mas Andi jarang mendapatkan pekerjaan.

Tiga bulan Kami tidak mampu membayar air hingga meter air pun dicabut. Kami memberitahu pemilik kontrakan, tapi Dia malah acuh, Katanya rugi kalau memasangkan air kembali untuk Kami, karena bayar kontrakan saja selalu nunggak.

Ketika meter air dicabut, penderitaan Kami jadi semakin bertambah. Karena harus membeli air untuk keperluan sehari-hari yang harganya sangat mahal menurut Kami, yaitu delapan puluh ribu sekali antar karena jarak rumah kontrakan kami jauh.

Ketika Kami benar-benar dalam kesusahan, tak ada tetangga kanan kiri menawari Kami air untuk sekedar untuk berwudhu.

pernah aku mencoba untuk meminta seember air untuk memandikan anakku Dimas, karena orang yang biasa mengantar air sedang libur, Namun tak ada jawaban dari mereka.

Hingga puncaknya. Kami harus keluar dari kontrakan karena menunggak.

Mas Andi mencoba menghubungi Pak Budi untuk meminjam uang dan menceritakan kesusahan Kami dan Alhamdulillah Pak Budi mengajak Mas Andi untuk bertemu dengan pemilik kontrakan yang saat ini kami tempati, Orangnya baik dan mengerti kondisi ekonomi Kami.

Setelah pindah dikontrakkan ini, Alhamdulillah rejeki mengalir. Mas Andi selalu dapat tawaran pekerjaan kadang dari Pak Budi, kadang dari teman Mas Andi.

Dikontrakkan ini. Kami tidak lagi merasakan kesusahan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Itulah yang membuat Kami terennyuh ketika pertama kali melihat keluarga Bu Darmi.

Tanpa Kami cari tahu dulu bagaimana sifat dan karakternya.

👌👌👌👌👌👌👌👌👌👌👌👌👌👌👌👌

Siang itu Aku hendak membeli sabun cuci baju ke toko depan gang.

"Bu Sara tunggu."teriak Bu sulis

"Iya Bu."Jawabku sambil menghentikan langkahku.

"Mau kemana?"tanyanya.

"Mau ke toko depan. Mau beli sabun cuci baju."jawabku sambil menunjuk toko depan gang.

"Sini Bu. Saya mau titip."ucap Bu Sulis, Lalu Bu Sulis menyerahkan uang dua lembar warna biru dan sebuah catatan.

Setelah menerima titipan dari Bu Sulis, Aku beranjak pergi ketoko.

Setelah selesai membeli semua titipan Bu Sulis dan sabun cuci bajuku. Aku langsung membayar.

Aku terkejut dengan jumlah nominal belanjaan Bu Sulis, Karena jumlahnya kurang lima puluh dari uang yang dikasih bu Sulis.

Jadi aku kembalikan beberapa barang dan menyisakan yang jumlahnya sesuai dengan uang titipan Bu Sulis. Bukan aku gak mau nombokin duluan, tapi karena aku memang tidak bawa uang lebih.

Setelah selesai aku langsung menuju rumah Bu Sulis.

Tok.. tok..tok...

"Assalamualaikum Bu."sapaku.

"Waalaikum salam Bu."jawab Bu Sulis.

"Bu ini titipan belanjaannya dan maaf ada beberapa barang yang tidak Saya belikan karena uangnya kurang."ucapku sambil menyodorkan kantong plastik berisi barang titipan Bu Sulis.

"Aduh! Bu Sara ini ternyata pelit banget ya. Masak nombokin dulu aja gak mau."jawabnya ketus.

"Maaf Bu Sulis, Saya tidak bawa uang lebih tadi."jawab ku dengan sopan.

"Oh..iya lupa. Bu Sara mana ada duit! secara suami Ibu kan lagi sakit."ucapnya sambil mencibir dan berlalu masuk kedalam rumah.

Aku hanya bisa mengelus dada, dan berjalan pulang.

Ketika sampai rumah. Aku langsung menuju kamar mandi untuk mencuci baju, selagi Dimas masih tidur.

Ketika hendak menyalakan air, ternyata air habis.

Lalu Aku bangkit dan berjalan kearah depan untuk menyalakan sanyo air. sambil menunggu air terisi, Aku ke halaman belakang rumah untuk menyapu ranting dan daun-daun kering, karena kemarau jadi daun-daun kering berserakan dimana-mana.

Ketika sedang menyapu, mataku dikejutkan dengan sebuah selang air berwarna biru yang disembunyikan disemak semak.

Ini pasti ulah Bu Darmi. Bathinku. pasti akan ku tangkap basah mereka ketika sedang mengalirkan air.

Setelah beberapa manit air sudah bisa mengalir walaupun tandon belum penuh, Aku langsung mencuci dan mandi.

Selesai mencuci dan mandi, Aku pun segera menjemurnya, ketika sedang menjemur ku perhatikan Bu Darmi sedang celingukan kesana kemari entah apa yang dicarinya.

Melihat Ku yang sedang jemuran, Lalu Dia mendekat.

"Bu Sara! Minta sabun cucinya."ucapnya dengan enteng.

"Gak ada habis."jawabku ketus.

"Halah bohong!"ucapnya lagi masih dengan entengnya.

"Gak percaya ya sudah."jawabku singkat.

"Jadi tetangga jangan pelit."cibirnya.

"He! Bu Darmi katanya situ orang kaya! sawah berhektar-hektar. masak beli sabun cuci saja tidak sanggup."ucapku sambil sedikit menekan omongan.

"He! Bu Sara. Saya itu bukan tidak mampu beli! Tapi malas harus belanja ditoko kecil begitu."jawabnya sedikit tinggi.

"Sini uangnya, Saya belikan."ucapku ketus.

Bu Darmi tidak menjawab dan berlalu pergi dengan menahan emosi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status