Semua yang ada di ruangan ini mengangguk, kemudian bangun dari tempat duduk masing-masing. Aku memanggil anak-anak untuk segera berkemas. Mereka tampak kecewa, karena masih betah di sini. Sebenarnya, aku bisa saja meninggalkan mereka di sini untuk menghabiskan waktu liburan. Akan tetapi, aku juga tidak tega kalau Mas Reyhan harus bolak-balik ke sini. Setelah diberi sedikit pengertian, akhirnya, Alisha dan Andra mau ikut pulang. Dengan wajah ditekuk tentunya.***Sepanjang perjalanan, Mang Ali lebih banyak diam. Saat diajak beristirahat untuk menunaikan sholat Maghrib, beliau menghabiskan waktunya di Masjid. Saat diajak makan sambil menunggu waktu Isya, Mang Ali hanya memesan secangkir kopi.Kasihan Mang Ali. Di usia senja, dia masih direpotkan oleh anak semata wayangnya. Siska memang satu-satunya anak yang Mang Ali punya. Menurut cerita ibu mertua, setelah berpisah dengan ibunya Siska, Mang Ali sempat menikah lagi. Akan tetapi, istrinya meninggal saat melahirkan. Beberapa hari kemudi
Tetanggaku Luar Biasa"Mbak, gimana kalo Oliv kita bawa ke klinik yang deket aja dulu. Yang waktu itu Siska datangi, pas nebeng ke A Reyhan," usul Arif sesaat setelah mobil meninggalkan halaman rumahku.Aku yang duduk di kursi samping Mas Reyhan, menoleh pada Arif. "Kenapa?""Kan, Oliv pernah diperiksa di sana. Siapa tahu dokter di sana tahu apa penyebab demam Oliv," jawab Arif. Masuk akal juga."Emang waktu itu, kata Siska, Oliv sakit apa?" Mas Reyhan bertanya tanpa menoleh, dia tetap fokus pada kemudi."Nggak bilang, A."Aneh, anaknya sakit sampai dibawa ke dokter kok, nggak cerita sama suaminya soal penyakit anaknya. "Ya udah, kita ke sana dulu aja," sahutku akhirnya.***Di sinilah kami, di klinik yang buka dua puluh empat jam. Untung beberapa petugas di sini sudah ada yang kenal denganku dan Mas Reyhan. Karena, ini memang klinik langganan kami sejak pertama kami pindah ke kota ini.Dokter yang memeriksa Oliv, menatap kami dengan tatapan penuh tanya. Mungkin, dia heran kenapa aku
Saat kami tiba di rumah, Mang Ali tidak sendiri. Ada Wa Ayi dan anaknya, serta beberapa tetangga sekitar, termasuk Pak RT. Katanya, mereka ikut khawatir dengan keadaan Oliv. Mereka juga sekalian berkenalan dengan Mang Ali. Aku yang sudah sangat lelah, langsung pamit pulang setelah bersalaman dengan mereka. Alif dan Fia kuajak serta, agar mereka menginap di rumahku saja. "Kalian udah pada makan?" tanyaku pada keempat bocah yang sedang mengikuti langkahku ke rumah."Udah, Bu. Masih kenyang makan di jalan tadi," jawab Alisha."Oh, ya udah. Alif, Fia? Udah makan?"Fia menggeleng. "Makan mie rebus tadi siang."Sementara Alif diam saja. Mungkin dia malu."Ya udah, kalian tunggu bentar, ya. Bude siapin makanan dulu sebentar."Kubongkar kardus yang berisi makanan matang dari ibu mertua. Untung, tadi ibu sempat membuat nasi timbel (nasi yang dibungkus memakai daun pisang). Selain nasi timbel, aku juga membawa pepes ikan dan sambal serta lalapan. Kukeluarkan semua makanan itu, sebagian ditata
Keadaan Oliv sudah membaik. Arif juga sudah mulai bekerja seperti biasa. Meskipun masih ada Mang Ali, Wak Ayi tetap datang setiap hari, menjemput Oliv dan Fia untuk diasuh. Sama seperti saat mengasuh Alisha dulu."Mbak Ajeng, kalo Mas Arif butuh orang untuk beres-beres rumah, masak, dan nyuci, ada keponakan Wak Ayi yang bersedia, Mbak," ujar Wak Ayi saat menyuapi Oliv dan Fia di teras rumahku."Oh, iya. Besok, saya bilang ke Arif, Wak. Keponakan yang mana, Wak?" Seingatku, Wak Ayi tidak punya keponakan yang sudah besar. Entah, kalau aku tidak tahu."Santi, Mbak. Anaknya adik almarhum suami Wak. Ingat nggak? Yang dulu pas SMA pernah tinggal di rumah saya."Aku mencoba mengingat-ingat. Lalu tersenyum. "Yang hitam manis, pake kerudung, Wak?"Wak Ayi mengangguk. "Kasihan dia.""Kenapa emangnya, Wak?""Lulus SMA dipaksa nikah sama ibu tirinya, eh ternyata suaminya galak, dan tukang main perempuan. Terus, Santi nggak tahan, dia menggugat cerai suaminya. Pas pulang ke rumah orang tuanya, mal
Sudah hampir satu bulan Siska pergi. Rumah tanggaku sekarang kembali aman damai. Semua berjalan seperti seharusnya. Oliv dan Fia, terlihat semakin montok. Mereka jarang menangis, walaupun sesekali menanyakan soal ibunya. Hal itu wajar. Kami sepakat menjawab, bahwa Siska sedang bekerja di luar kota, saat kedua anaknya bertanya. Arif menerima tawaranku untuk mempekerjakan Santi. Untuk menghindari fitnah dan omongan yang tidak-tidak, Santi datang saat Arif sudah pergi bekerja, dan segera pulang setelah semua pekerjaan selesai. Tidak semua orang mengerti dan paham dengan posisi Arif dan Santi. Karena itulah kami memilih menghindari kemungkinan terjadi percikan konflik.Aku juga sudah kembali pada aktivitas semula. Mengurus keluarga dan nyambi jualan baju. Mang Ali menepati janjinya. Seminggu setelah pulang dari sini, beliau mentransfer sejumlah uang sesuai hutang Siska padaku. Sebenarnya aku merasa tidak enak hati. Akan tetapi, Mang Ali bersikeras membayarnya. ***Terdengar suara tangis
POV SiskaNamanya Meidina Rahajeng, atau biasa dipanggil Ajeng. Istri dari A Reyhan, kakak sepupuku. Kami memanggilnya Mbak Ajeng. Wajah dan penampilan Mbak Ajeng, biasa saja. Entah apa yang membuat A Reyhan begitu menggilai wanita berdarah jawa asli itu. Mbak Ajeng dan A Reyhan menikah, tak lama setelah aku menikah dengan ayahnya Alif. Aku tidak ikut mengantar A Reyhan seserahan, karena sedang hamil. Lagian, rumah Mbak Ajeng sangat jauh, sekitar tiga jam dari rumah A Reyhan. Itu yang kudengar dari beberapa tetangga yang ikut ke sana. Untung, aku tidak ikut. Kalau ikut, pasti merasa sangat bosan. "Heran sama Reyhan. Nikah kok, jauh-jauh amat sama orang Cilacap. Kayak di sini nggak ada perempuan aja," gerutu salah satu kerabat yang ikut mengantar ke sana. "Hus! Kamu ini, kalo ngomong sok seenaknya! Namanya juga jodoh. Udah ditentukan sama Allah," sahut Wa Tuti, ibunya A Reyhan. Ibunya A Reyhan adalah kakak sepupu Bapak. Nenek dari pihak Bapakku, merupakan adik dari neneknya ibu
"Bi, Mbak Ajeng nggak bisa masak, terus, mereka nanti makan gimana, ya?" tanyaku pada Bi Wati yang sedang membantu Wa Tuti di dapur. "Makannya? Ya, pakai tangan, Sis," jawab Bi Wati tanpa menoleh. Dia sedang fokus menata bungkusan Saroja ke dalam kardus. Saroja adalah makanan ringan yang bentuknya menyerupai roda pedati. Rasanya ada yang manis, ada yang asin. Ada juga yang menyebutnya Kembang Goyang atau Antari. "Ish, Bibi mah! Maksudnya, kalo nggak masak, mereka dapat makanan dari mana?""Ya, belilah. Mereka kan, tinggal di kota. Serba praktis! Makan tinggal beli! Beres-beres rumah tinggal nyuruh orang. Atau, mereka bisa cari pembantu yang bisa masak dan beberes sekaligus," sahut Bi Wati sambil menutup kardus menggunakan lakban. Masuk akal juga. Dipikir-pikir, enak banget Mbak Ajeng. Makan tinggal beli, baju tinggal pakai."Itu nyuruh orang buat beresin rumah, bayar dong, Bi? Bukannya, Mbak Ajeng itu katanya cuma karyawan pabrik kayak A Reyhan? Kalo gitu, sama aja buang-buang d
POV SiskaSemakin hari, kehidupan rumah tangga A Reyhan dan Mbak Ajeng semakin maju. Mereka membeli rumah secara kredit. Dari kabar yang kudengar, tempat kerja Mbak Ajeng menyediakan fasilitas bagi karyawan yang ingin kredit rumah. "Halah, rumah dapat kredit aja bangga," celetukku saat beberapa saudara membicarakan tentang rumah A Reyhan. Wa Tuti dan suaminya sedang ke rumah A Reyhan, untuk menghadiri syukuran. "Ya, kredit juga nggak apa-apa, yang penting punya rumah. Daripada ngontrak atau numpang di rumah orang tua," sahut Bi Wati sinis. Dari dulu, Bi Wati memang selalu sinis kalau bicara padaku. Berbeda dengan saat bicara dengan keponakan yang lain. "Ih, aku mah, rumah bapak juga luas. Buat apa bikin rumah lagi? Toh, Bapak juga sendirian. Kalo aku bikin rumah, kasihan Bapak, nggak ada yang ngurus ntar, Bi.""Halah, alesan aja kamu mah."Malas mendengar ceramah Bi Wati, aku memilih pulang. Pusing kepalaku mendengar cerita tentang A Reyhan dan Mbak Ajeng. Entahlah, semakin hari,