Kerjaannya cuma serabutan, masa iya ada temen yang lihat suamiku sedang ada di ruang nasabah prioritas. Terus ngapain kira-kira dia di sana?
Lihat lebih banyakSuami Miskinku di Ruang Nasabah Prioritas
Part 1Tring!Sebuah pesan masuk dari Anita. Teman baikku.[Ciee yang sekarang jadi nasabah prioritas.]Keningku mengerut bingung.[Apa sih gak ngerti?] balasku.Tring!Kemudian dia mengirim sebuah gambar.[Itu suami kamu 'kan?]Kuteliti foto itu, foto punggung seorang lelaki berkaos hitam memakai sendal jepit dan celana kolor yang memang mirip dengan suamiku.Dia tengah duduk di depan teller sebuah bank.[Eh iya itu kayaknya suamiku Nit, ngapain ya dia di sana?][Ya nabunglah ngaco. Ngapain lagi? Suka merendah dan pura-pura gitu deh.]Hah? Suamiku nabung? Jadi nasabah prioritas pula? Idiiih gak mungkin.Yang aku tahu, bukannya nasabah prioritas itu gak asal ya? Ada syarat tertentu dan duit yang disimpennya juga tentu harus gede. Ratus-ratus minimanyalah ya pokoknya.Sedangkan suamiku? Kerjaannya aja cuma serabutan. Kadang ngojek, kadang jadi tukang kebun rumah orang, kadang jualan kaos, ah pokoknya apa aja deh, yang jelas duitnya gak akan sebanyak nasabah prioritas haha.Makanya aku gak percaya kalau suamiku di sana lagi nabung. Karena bisa aja 'kan dia lagi anter makanan pesenan orang? Suamiku itu 'kan tukang ojek. Jadi gampang aja buat dia masuk ke mana pun asal dia udah dapat izin Security.[Iya suamiku lagi nabung. Nabung sabar biar saldo kesabaran kami terus bertambah, jadi kalau ada yang rendahin dan ngehina lagi, kami makin kuat ngehadapinya, wkwk] balasku akhirnya.Anita membalas lagi dengan stiker tepok jidat. Aku terkikik.Tring!Ponselku bunyi lagi. Kali ini bukan dari Anita, melainkan Mbak Opi kakakku yang mengirim pesan ke grup WA keluarga.[Arisan besok yang belum pernah bawa makanan buat kudapan diwajibkan bawa, biar adil dan semua kebagian] tulisnya dalam pesan tersebut.Aku menarik napas panjang sambil memijit kening yang mendadak berat. Pasalnya aku tahu, pesan Mbak Opi itu pasti dikhususkan untukku.Beberapa bulan arisan keluarga berlangsung, memang cuma aku yang belum pernah bawa makanan apa pun. Bukannya gak mau, tapi mereka itu pasti gak bakal pada doyan kalau aku bawa makanan murah meriah seperti yang sering kami konsumsi.Selera mereka selalu aja beda, dan harus makanan yang mahal-mahal baru mereka mau santap.Sedangkan aku? Bisa beli dua loyang bolu kukus aja rasanya udah bersyukur banget dan itu termasuk mewah bagiku, tapi nggak bagi kakak-kakakku. Makanya aku bingung tiap kali mau arisan aku harus bawa apa dong?Entahlah, padahal dari kecil kami tumbuh di rumah yang sama. Makanan apapun kami makan tanpa kecuali. Tapi sejak mereka menikah selera mereka jadi beda gitu. Hmm apa mungkin karena mereka nikah sama orang kaya makanya selera kami jadi beda?"Dahlah bodo amat." Aku baru akan mematikan jaringan data saat Mbak Opi malah melakukan panggilan telepon ke nomorku.Mau tak mau akhirnya kuangkat juga."Hallo, Mbak. Kenapa?""Kamu udah baca pesan di grup 'kan?""Udah, Mbak.""Bagus. Berarti udah ngerti 'kan kalau besok giliran kamu yang bawa makanan buat kudapan kita besok arisan?"Aku diam sebentar. Jujur, kepalaku sakit banget rasanya, karena pas banget sekarang-sekarang itu aku lagi kehabisan duit akibat aku hamil anak ke dua tanpa diduga-duga.Duit belanja dari suami sebenernya gak pernah kurang. Tapi kemarin aku terpaksa pakai buat beli vitamin dan USG pertama. Alhasil bisa bayar arisan aja rasanya udah bersyukur banget."Inget ya, makanannya harus yang enak dan gak murahan. Ada Mbak Juwita mau dateng juga soalnya, malu kalau sampai kita suguhin makanan yang murahan dan gak enak buat ipar kita itu," kata Mbak Opi lagi.Napasku makin berat. Gak aneh banget deh, selalu Mbak Juwita yang mereka agungkan, mentang-mentang istri Mas Lukman itu anak juragan jengkol."Arini, kamu denger nggak sih." Suara Mbak Opi membuatku mengerjap."Iya Mbak, insya Allah Arin usahakan bawa. Tapi maaf Mbak, kalau untuk urusan mahal atau murah, kayaknya bakal menyesuaikan budget Arin aja deh, soalnya gak tahu nanti Bang Jayanta punya duit berapa.""Halah alibi terus deh kamu nih, tiap suruh bawa apa-apa pasti ngomongnya gitu. Pokoknya Mbak gak mau tahu ya, kamu harus bawa pizza minimalnya 3 box, paham?""Hah? Pizza 3 box? Apa gak kebanyakan, Mbak? Lagian 'kan pasti harganya gak murah, Mbak.""Gak banyaklah. Segitu sih dikit. Kemarin Mbak bawa 5 box tuh. Terus jangan lupa juga, kamu pake baju agak bagusan nanti besok, biar gak kelihatan dekil, malu.""Apa sih, Mbak? Kok baju pake diatur segala? Kan biasanya juga apa adanya aja." Aku protes."Ya udah sih nurut aja. Apa susahnya? Gak punya baju bagus kamu? Si Jayanta gak mampu beliin apa gimana?" tukasnya."Loh kok Mbak jadi bawa-bawa suamiku sih.""Ya habisan kesel, kamu tuh banyak banget bantah kalau dikasih tahunya. Malesin. Makanya kamu tuh nyari laki yang beneran dikit dong, minimalnya kaya meksi pun gak ganteng."Aku mulai meradang."Maksud Mbak apa? Mbak lupa kalau dulu Arin hampir kawin sama orang kaya tapi calonnya malah Mbak rebut? Gak punya malu," tandasku.Tut tut tut.Sambungan telepon kuputus sepihak.Kesel banget aku tuh sama kakakku yang satu itu. Dapat suami hasil rampasan aja bangga. Sombong banget pula, tukang ngatur lagi. Hiih paket lengkap emang."Lagian apaan sih, itu mau arisan apa mau bikin orang susah? Banyak banget aturannya," dengusku kesal, sambil kubanting ponsel ke atas sofa."Ada apa marah-marah gitu Rin?" tanya Ibu mertua yang baru saja keluar dari kamarnya."Biasalah Bu, soal arisan keluarga, bikin pusing aja. Tahu gitu dulu Arin gak usah ikutan aja, apaan arisan model begitu. Sebel."Mertua lalu duduk di sampingku."Sabaar. Kalau dulu kamu gak ikutan, apa kata keluargamu nanti?""Ya tapi sekarang Arin malah pusing Bu, masa biaya kudapan lebih besar dari pada nominal bayar arisannya. Udah gitu Arin katanya harus pake baju bagus, emang selama ini baju Arin gak bagus apa?"Mertua bergeming sebentar sebelum akhirnya kembali bertanya."Emang kamu disuruh bawa apa buat arisannya?""Pizza 3 box. Gile aja 'kan, Bu? Berapa itu harga pizza segitu? Pasti mahal 'kan?"Mertua menarik napas berat."Kenapa? Emang kamu gak ada duit buat belinya? Cuma 3 box pizza Rin."Aku menoleh sambil mengecap bibir."Ya gak ada dong, Bu. Kemarin 'kan duitnya udah Arin pakai buat USG utun." Aku mengusap perut."Ya udah ya udah kamu tenang ya. Jangan marah-marah gitu, kasihan cucu Ibu di dalam kalau kamu marah-marah begitu."Aku mengusap wajah, "iya, Bu. Astagfirullah kenapa sih adaa aja yang bikin kesel siang-siang gini."Mertua menggeleng-geleng kepala. Lalu bangkit ke kamarnya setelah itu beliau kembali lagi."Udah gak usah marah-marah lagi Rin, nih, beli pizza dan makanan enak lainnya buat besok," katanya sambil memberiku beberapa lembar duit berwarna merah.Aku diam beberapa saat sambil melototi duit yang ada di tangan mertuaku itu."Duit? Ibu punya duit dari mana?""Ada rejeki dari Allah. Udah kamu gak usah banyak tanya. Simpan duit ini dan besok beli apa yang perlu dibeli. Beli baju baru bila perlu buat kamu," jawabnya sambil melipatkan duit itu pada telapak tanganku.Beliau lalu bangkit lagi dan masuk ke kamarnya. Sementara aku membuka telapak tangan.Hah, duit sebanyak ini, ibu mertuaku dapat dari mana? Beliau 'kan hanya seorang janda?Suami Miskinku di Ruang Nasabah PrioritasPart 48 B"Iya, Mbak."Mulutku menganga, kusingkap selimut yang menutup kakiku. Dan jantungku langsung terasa ditarik ke dasar perut."K-kakiku? Nggaaak!" Aku teriak dan mengamuk.Cepat mereka mendorongku keluar. Ibuku langsung menyambut di depan pintu."Wita, tenang Wit, tenang.""Bu, kaki Wita Bu, kaki Wita. Kenapa dipotong?""Karena kamu terluka parah Juwita. Gak apa-apa kamu bisa pakai kaki palsu. Gak usah khawatir."Aku melotot, kaki palsu?"Nggak! Nggak! Nggaaak!" Aku kembali histeris dan berontak.Dalam sekejap, duniaku seperti hancur berkeping-keping. Amblas dan tak tersisa. Bagaimana nggak? Kakiku dipotong sebelah? Astaga itu artinya aku gak akan bisa hidup normal lagi.***"Semua ini gara-gara kamu Opi! Tanggung jawab kamu! Kamu yang sudah membuat aku kehilangan kakiku sebelah!" Aku menjambak rambutnya ketika dia kutemui di kantor polisi."Mbak Juwita! Apaan sih. Mbak sendiri yang salah, kenapa jadi Opi yang disalahin? Coba aja dulu
Suami Miskinku di Ruang Nasabah PrioritasPart 48 ALagi pula, ide ini 'kan bukan ideku, melainkan ide si Opi. Jadi kalau andai ada apa-apa, maka si Opi yang akan ditambah hukumannya, bukan aku yang akan diseret ke dalam penjara. Hmm bener. Anggap aja, ini adalah harga yang harus dia bayar untuk mengganti uang yang dikeluarkan untuk membayar pengacaranya nanti."Oke. Kalau gitu Mbak coba pakai cara kamu Pi, tapi sekali lagi Mbak ingatkan, pengacara yang akan Mbak sewa nanti bukan untuk membebaskanmu dari tuduhan, dia hanya membantu kamu membela diri, paham?"Dia mengangguk setuju. Aku lalu pergi dari sana.Setelah dari kantor polisi itu, aku mulai membuat strategi penculikan si Arin. Beberapa Minggu kemudian, setelah sidang putusan si Opi dilakukan, aku baru menjalankan idenya."Mbak harus berhasil membuatnya mati, aku bener-bener benci sama," desis si Opi sambil mencengkram kuat-kuat besi sel.Hmh, dasar bodoh. Tanpa dia suruh pun aku akan melakukannya, tapi tentu aku tak akan gegab
Suami Miskinku di Ruang Nasabah PrioritasPart 47POV Juwita."Suamimu kemana Rin?" tanyaku pada Arini, yang tak lain adalah adik iparku.Hari itu Mas Lukman disuruh ke rumah ibunya untuk mengantarkan beras atau uang katanya. Hah, aku malas sebetulnya. Baru juga pulang dari luar kota udah disuruh-suruh aja ke rumah mertua.Aku tuh udah jengah juga sebetulnya. Makin hari mereka itu makin gak berguna aja. Ibu mertua bisanya cuma minta-minta, anaknya juga bisanya cuma numpang hidup. Mentang-mentang aku kaya, enak banget mereka hidup gratisan.Makanya udah beberapa minggu ini tak kuberikan Mas Lukman uang seperti biasanya, karena aku tahu dia selalu pakai uang itu untuk memuaskan keinginan ibunya yang tak habis-habis itu."Ibu butuh uang katanya buat belanja sehari-hari Wit.""Ya terus? Ibumu yang butuh kok ngomong sama aku?""Ya bukannya gitu, tapi 'kan biasanya emang kita yang ngasih.""Sekarang gak lagi."Kesel banget. Serasa diperas dan dimanfaatkan terus rasanya, apalagi si nenek tua
Suami Miskinku di Ruang Nasabah PrioritasPart 46 BIbunya Mbak Juwita yang juga tengah bersama mereka sempat menatap kami tajam sebelum akhirnya masuk ke dalam ruangan rawat inap."Kenapa dia, Bang? Kenapa Mbak Juwita teriak-teriak gitu?""Kakinya diamputasi.""Apa? Emangnya separah itu?""Iya. Kemarin Ibu juga sempet jenguk dia sebelum operasi. Memang kepadanya parah," kata Ibu.Astagfirullah. Aku bergidig ngeri. Padahal selama ini aku tahu Mbak Juwita orang baik, tapi entah kenapa dia jadi terjerumus dalam tindakan yang gegabah seperti itu. Hanya karena perasaannya pada Bang Jaya dia sampai tega mengurungku selama tiga bulan lamanya. Dan bahkan kemarin dia tega akan menyakiti anak sekecil Nuna.Naudzubillah. Semoga dengan balasan yang Allah kasih ini dia bisa bertaubat dan menyesali semua perbuatannya.__Sampai di rumah aku disambut begitu baik oleh ibu mertua dan Nuna yang terlihat sangat ceria."Yeey Mamam dan adik utun udah pulaaang," sorak Ibu mertua memeragakan Nuna.Aku ce
Suami Miskinku di Ruang Nasabah PrioritasPart 46 AAku mengerjap, "oh iya, boleh kok, Mbak. Silakan aja datang, gak usah sungkan."Aku dan Mbak Juwita emang gak pernah ada masalah. Selama dia menjadi kakak iparku, dia juga baik dan hubungan kami selalu akur."Makasih ya Rin." Mbak Juwita menepuk pundakku.Dia lalu izin membawa Nuna main ke luar. Sementara itu aku dan Bang Jaya, juga ibu mertua aktivitas seperti biasa._Syukurlah Nuna benar-benar anteng di tangan Mbak Juwita. Seharian ini aku dan ibu mertua jadi bisa istirahat dengan tenang."Rin, Nuna ngantuk kayaknya. Dia rewel tapi kayaknya minta minum susu. Bisa kamu ke bawah buatin dia susu?" pinta Mbak Juwita. Dia berdiri di bibir pintu kamarku yang memang sengaja kubuka lebar. Habis diajak main Nuna rupanya rewel, mungkin ngantuk dan dia emang biasa minum susu sebelum tidur."Oh iya Arin bikinin dulu, Mbak." Aku bangkit dari kasur karena Bang Jaya kebetulan sedang gak ada di rumah. Mumun juga tadi katanya lagi pergi belanja
Suami Miskinku di Ruang Nasabah PrioritasPart 45Kutengok sekeliling. Benar ternyata, aku sudah mengenali tempat itu sekarang. Walau gelap tapi aku tahu, kami ada di dekat stasiun kereta sekarang."Ini di dekat stasiun 'kan, Mas?" tanyaku memastikan."Iya Mbak. Turunlah di sini, karena di depan ada cctv. Saya gak mungkin antar Mbak sampai ke sana. Oh ya, dari sini, Mbak bisa naik taksi atau ojek saja. Oke?"Aku mengangguk dan buru-buru turun sebelum orang itu berubah pikiran. Walau bagaimana pun dia orang suruhan pria yang sudah mengurungku selama tiga bulan ini, bagaimana kalau tiba-tiba dia berubah pikiran atau kembali punya pikiran jahat? Nauzubillah.Dengan langkah lebar-lebar aku menyebrang ke pangkalan ojek yang tak jauh dari sana."Bang, ke komplek perumahan Buana Permai ya, jalan Nurul Huda 12."Kang ojek mengangguk dan segera melajukan motornya setelah aku duduk di belakang dengan aman.Sampai di depan pos, ojek tak diizinkan masuk karena memang portal perumahan sudah ditut
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen