Share

Status W******p

Tetanggaku Luar Biasa

Bab 6

Seperti biasa, suara tangisan Fia dan Oliv mengiringi pagi kami. Aku memilih cuek dan meneruskan semua pekerjaan. Gara-gara pindah ke depan televisi, aku tidur larut malam,  dan bangun kesiangan. Jadi, kusiapkan dulu sarapan untuk suami dan anak-anak. Pekerjaan lain bisa nanti lagi. Walaupun masih dongkol pada Mas Reyhan, tapi tetap tidak tega membiarkan dia pergi bekerja tanpa sarapan terlebih dahulu. 

Kalau di dalam film-film, atau sinetron, atau novel romantis, biasanya saat istri marah, suami akan membujuknya. Apalagi, sampai pindah tempat tidur, pasti si suami akan menyusul dan meminta maaf, lalu selesai. Hm, jangan harap itu terjadi pada Mas Reyhan. Seperti biasa, saat aku marah, dia malah cuek saja. Boro-boro ada adegan bujuk membujuk, meminta maaf atau apalah.

Jadi, sebenarnya, aku marah pun percuma. Karena, Mas Reyhan bersikap biasa saja seolah tidak ada pertengkaran. Hanya aku yang diam seribu bahasa. Walaupun tetap mengerjakan segala sesuatu seperti biasanya. 

"Bu, nggak sarapan?" tanya Alisha. Mungkin anak sulungku itu heran, kenapa aku tidak bergabung bersama mereka seperti biasanya. 

"Ibu, masih kenyang, Kak. Tadi subuh-subuh minum susu. Kalian aja yang sarapan. Ibu mau nyuci dulu," jawabku sambil memasukkan baju-baju kotor ke dalam mesin cuci.

"Oh." Alisha tidak bertanya lagi, dan melanjutkan sarapannya. 

Sementara aku, melanjutkan aktivitas dengan membawa baju-baju berwarna putih ke kamar mandi untuk dicuci secara manual alias pakai tangan. Suara tangisan Fia dan Oliv masih terdengar, ditimpali teriakan Siska menyuruh keduanya diam. Ah, bodo amat. Pekerjaanku juga masih banyak. Toh, suaminya masih ada di rumah, masa iya tidak mau membantu menenangkan anak-anaknya.

***

Mas Reyhan sudah berangkat kerja, sekaligus mengantar Alisha ke sekolah. Tinggal aku menyelesaikan pekerjaan dan bersiap mengantarkan Andra. Suara tangisan Fia dan Oliv juga sudah berhenti. Kedua bocah itu tampak sedang bermain di teras bersama Arif ayahnya yang sudah memakai seragam kerja. Ah, lega rasanya melihat kakak beradik itu tertawa ceria.

Sebenarnya aku tidak keberatan membantu menjaga kedua bocah itu saat ibunya sedang kerepotan. Toh, tidak sekali dua kali aku dititipi anak tetangga, saat mereka akan pergi ke tempat yang tidak mungkin membawa anak-anak. Atau anak mereka tidak mau ikut. Aku juga tidak segan membantu menjaga anak tetangga saat ibu mereka repot dengan pekerjaan rumah. Karena, saat Alisha dan Andra kecil dulu, aku pun sering dibantu tetangga. Terutama Wak Ayi.

Membantu tetangga yang kesusahan adalah hal lumrah di sini. Apalagi sebagian besar warga kompleks ini pendatang, sama seperti aku dan Mas Reyhan. Jadi, karena merasa sama-sama jauh dari keluarga, membuat kami saling melengkapi, saling menolong, dan bekerja sama. Mungkin Siska belum tahu, karena tergolong warga baru. 

"Bu, ayo, berangkat!" teriak Andra dari muka pintu. 

Mendengar teriakan Andra, aku segera membereskan ember kosong, sisa gantungan, dan penjepit  baju. 

"Siap, Bos! Tunggu bentar, ya. Ibu ganti baju dulu."

Tak lama kemudian, kami berdua meluncur menuju ke sekolah Andra. Aku berencana untuk menunggu sampai bocah yang wajahnya mirip Mas Reyhan itu pulang. Sekalian mempromosikan beberapa baju model baru pada sesama wali murid. Nanti, pulangnya sekalian mengirim pesanan beberapa pelanggan. 

***

"Mbak Ajeng, baca SW-nya Mbak Siska nggak?" tanya Leni, tetanggaku yang rumahnya paling ujung. Dia ke sini untuk melihat-lihat beberapa daster dan baju batik yang baru datang. 

"Nggak,  Len. Kenapa?" 

Leni menunjukkan ponselnya padaku. 

'Duh, gini amat yak, jauh dari ortu dengan duo bocil. Apalah daya, sodara yang dekat pura-pura nggak tau kesusahan kita. Bocil nangis kenceng pun pura-pura nggak denger. Nasib!'

Mataku membulat membaca tulisan Siska pagi tadi. Aku memang jarang sekali mengintip status w******p orang lain. Jaid, kalau disindir tidak akan tahu. Penasaran kubaca status selanjutnya.

'Duh, kerjaan belum kelar, suami udah berangkat kerja, duo bocil nggak mau ditinggalin. Gimana ini?' 

Kali ini, tulisan disertai foto Fia dan Oliv yang sedang menangis. Sungguh aku ingin tertawa membaca dua tulisan itu. Kuserahkan ponsel pada Leni. 

"Bukannya kamu komentarin atuh Len, bilang, kalo banyak kerjaan buru kerjain, bukan dibikin status. Orang kerjaan rumah belum kelar kok, sempet-sempetnya nyetatus. Anak nangis itu ditenangin, bukan difoto terus dibikin SW."

"Iya, ya, Mbak. Aneh. Tau, nggak? Ibu-ibu di warung langsung pada ngomong, kalo status itu nyindir Mbak Ajeng."

"Biarin aja, Len. Toh, ibu-ibu di sini udah pada kenal saya. Udah pada tahu sifat saya seperti apa, kan?"

"Iya, juga sih. Mm, Mbak, aku ambil dasternya dua, buat mamaku satu, buat mama mertua satu. Sama, baju tidur satu, ya. Tapi, biasa, aku bayar tiap akhir bulan."

Aku tersenyum melihat Leni menunjukkan pilihannya. Dia selalu begitu, selain membeli untuk dirinya, dia juga membeli dua buah daster batik. Untuk ibunya sendiri dan ibu mertuanya. Corak dan model disamakan, cuma warna saja yang beda. Biasanya dia membayar tiap akhir bulan. Aku setuju saja, toh, selama ini Leni belum pernah macet membayar baju-baju yang dia ambil.

Ibu-ibu yang lain juga sama. Alhamdulillah mereka amanah dan tidak banyak protes. Karena, harga yang aku tawarkan sama dengan yang di pasar atau toko. Tidak apa-apa, untung sedikit, asal banyak yang beli. Toh, tidak semua membayar dengan cara diangsur. Para pelanggan yang rumahnya jauh dan di luar kota, selalu membayar cash. Terkadang dilebihkan malah. Tuh, rezeki mah, dari mana saja. Tidak usah khawatir. 

"Mau ke bude, mau ke bude …."

Aku yang sedang mengantar Leni ke luar segera menoleh ke arah teras rumah Siska. Tampak Fia menangis kencang dan sedang dipaksa masuk oleh ibunya. 

"Ngga mau masuk, mau ke bude!" teriak Fia lagi diiringi tangisan. 

"Bude! Bude! Bude siapa? Nggak usah ke sana-sana lagi! Mereka itu bukan siapa-siapa! Masuk!" teriak Siska sambil menarik tangan Fia yang berusaha kabur. 

Mendengar omelan Siska pada Fia, seketika hatiku memanas. Hanya padaku Fia menyebut bude. Karena itulah aku tahu, Siska sedang menyindirku. 

"Nggak mau! Aku mau ke Bude!" teriak Fia lagi.

"Masuk! Kalo nggak masuk, mama pukul kamu!"

Aku dan Leni saling pandang. Tanpa pikir panjang, aku segera berlari ke arah mereka saat melihat Siska hendak memukul Fia. Kutahan tangan yang akan dipakai memukul tubuh Fia lagi. 

"Sabar Siska! Bukan begini caranya ngomong sama anak kecil!" bentakku dengan napas memburu menahan marah. 

"Lepas! Nggak usah ikut campur! Dia anakku! Terserah mau aku apakan! Minggir!" bentak Siska padaku.

Leni rupanya menyusulku ke teras rumah Siska. Ia menggendong Fia yang menangis dan terlihat ketakutan. 

"Akan jadi urusan kami, kalo kamu melakukan kekerasan terhadap anak!" Aku menghempaskan tangan Siska dengan kasar, sehingga membuatnya sedikit terhuyung. 

"Ayo, Len!" 

Leni mengangguk, lalu mengikuti langkahku meninggalkan teras rumah Siska. Ku ambil alih Fia dari gendongan Leni. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status