Tetanggaku Luar Biasa
Bab 14
"Aku, kan, udah bilang! Kalo bisnis kamu itu bikin kamu keteteran ngurus dan lalai mengawasi anak-anak, hentikan!"
Aku sedikit terkejut mendengar bentakan Mas Reyhan. Selama aku mengenalnya, baru kali ini, aku melihatnya semarah itu.
"Mas, ini cuma masalah sepele, anak-anak berantem itu wajar. Kenapa jadi bawa-bawa bisnisku?"
Wajah Mas Reyhan memerah, dia menatap tajam ke arahku. "Bikin anak orang babak belur, kamu bilang sepele, hah?"
Lagi-lagi aku beristighfar. Alisha dan Andra mempererat pegangan mereka pada lenganku.
"Mas, istighfar! Minum dulu, biar tenang. Kita ngomong baik-baik, bisa?"
Mas Reyhan memejamkan mata, ia terlihat me
Tetanggaku Luar BiasaBab 15"Selama ini, aku selalu berusaha menutupi semua kelakuan saudaramu yang luar biasa menyebalkan itu! Apa perlu aku beberkan satu persatu tingkah saudaramu itu? Hm? Nggak, kan? Tapi, dengan kejadian tadi, saudaramu itu membuka sendiri aibnya. Membuka sendiri kedoknya! Sekarang, semua orang di sini tahu, sifat dia yang sebenarnya! Aku tidak perlu repot-repot menambah dosa dengan menceritakan keburukan saudaramu itu! Semua udah terbongkar! Semua tahu bahwa selama ini, kita bertetangga dengan saudaramu yang super duper menyebalkan! Dan, kamu? Masih mau menyalahkan anak dan istrimu demi membela saudaramu itu? Oh, ya jelas! Saudara, kan, harus dibela? Ya, kan?" Mas Reyhan diam saja mendengar ocehanku. Suruh siapa menyulut api di bara yang belum sepenuhnya padam.Aku yang merasa pembicaraan kami sia-sia, segera meninggalkan ruangan ini. Pintu kamar kubanting keras, lalu dikunci dari dalam. Biar saja Mas Reyhan tidur di sofa atau kamar tamu. Aku tidak peduli.***
Tetanggaku Luar BiasaBab 16Sejak kejadian itu, Siska menjaga jarak denganku. Dia tidak meminta maaf atas sikapnya. Aku juga tidak. Akan tetapi, walaupun menjaga jarak, anak-anaknya, masih bermain di rumahku. Tak masalah, mereka hanya anak-anak. Tak adil kalau aku menolak kedatangan mereka hanya karena sakit hati pada ibunya. "Kalo saya mah, ogah, Mbak. Ibunya begitu ke Mbak Ajeng, tapi Mbak Ajeng masih mau ngawasin anak-anaknya. Mana berjam-jam lagi," gerutu Leni saat dia ke rumah untuk mengambil beberapa baju untuk dijual lagi."Ah, saya mana tega, Len.""Ish, Mbak Ajeng, mah. Terus soal dia mau jualin baju, jadi?" Aku mengangguk. Ya, Siska memang mengambil beberapa baju untuk dipakai sendiri dan dijual lagi. Sampai hari ini, dia belum menyetor uangnya. Juga saat berbelanja di swalayan beberapa waktu lalu, dia juga belum mengganti uang itu. "Mbak, kok, ngelamun?" tegur Leni."Oh, iya, Len, maaf. Gimana?" "Ini, hitung dulu totalnya. Yang kemarin kurang berapa, yang sekarang tot
Tetanggaku Luar Biasa Bab 17 Bu Dibyo sudah berpamitan dari dua jam yang lalu, tapi Siska belum juga pulang. Sementara Oliv sudah mulai merengek, mencari ibunya. Entah ke mana perginya Siska. Panggilan telepon tidak diangkat, pesanku juga tidak dibaca. Sedangkan hari sudah mulai sore. Ting!Sebuah pesan masuk, aku berharap itu pesan dari Siska. Ternyata bukan. Ternyata pesan dari Leni. Dia mengirim sebuah foto.[Maaf, Mbak. Itu Siska, bukan?]Aku mengamati foto yang dikirim Leni. Di dalam foto itu, tampak Siska tengah tertawa bahagia. Sementara di depannya tampak seorang pria. Posisinya yang duduk membelakangi kamera membuatku tak mengenali siapa pria itu.[Iya, Len. Ini di mana?][Di rumah makan samping swalayan, Mbak] Aku mengerutkan kening. Itu kan, cukup jauh dari sini. [Aku lagi janjian COD barang ama temen sekalian ngajak anak-anak makan, Mbak. Malah nggak sengaja lihat Siska. Tapi, Siska nggak lihat aku.][Len, kamu kenal siapa cowoknya?] Sebuah foto dikirim lagi oleh Le
Tetanggaku Luar BiasaBab 18Hari ini, Andra libur sekolah, karena guru-gurunya mengadakan rapat. Jadi, aku memanfaatkan waktu untuk menata halaman agar terlihat lebih sedap dipandang. Siska yang sedang mengasuh kedua anaknya menghampiriku."Maksud Mbak Ajeng apa? Memata-matai aku?" tanyanya dengan wajah ditekuk.Aku melirik sekilas, lalu tersenyum palsu. "Saya? Mata-matain kamu? Ogah!""Itu, buktinya Mbak Ajeng punya foto-foto aku!"Aku tertawa. "Siska, Siska! Orang teraniaya seperti saya mah, ada aja yang nolong. Gimana rasanya? Enak? Seneng banget kayaknya, ketawa-ketawa sama cowok, makan enak. Sementara anak-anakmu, di rumah nangis nyari ibunya, lapar, nggak ada makanan."Wajah Siska bersemu merah, mungkin dia tersinggung dengan ucapanku. Oke, Siska! Kamu yang memulai, ayo! Elu jual, gue beli!"Uh, enak, ya? Makan-makan di restoran, menu mahal. Sementara di rumah, Bu Dibyo nungguin setoran yang belum kamu bayar!""Nggak usah ke mana-mana, deh, ngomongnya! Aku, kan, lagi bahas masa
Tetanggaku Luar BiasaBab 19"Mbak Ajeng, kita bareng yuk, ke acara syukurannya Bu RT," ajak Siska sambil berdiri di ambang pintu.Aku yang sedang membereskan barang dagangan mengiyakan ajakan Siska. "Tapi, saya mandi dulu.""Oke. Tungguin, ya, Mbak. Jangan ditinggal, loh.""Iya, ntar, saya tungguin di teras."Siska pun berlalu sambil membawa kedua anaknya. Aku juga segera bersiap. Sore ini, Bu RT mengundang para tetangga untuk menghadiri syukuran wisuda anak keduanya. Katanya ada pengajian juga. ***Siska muncul sambil menuntun Oliv. Sementara Fia dan Alif, mengikuti di belakangnya."Mbak, maaf, kalo nggak keberatan, Oliv sama Mbak Ajeng, ya. Biar Fia sama aku. Dia maksa minta ikut.""Ya udah, ayo." Tanpa menunggu lama, aku menggendong Oliv. Bocah itu tampak kegirangan. Dia mengusap-usap pipiku dengan tangannya yang montok.Kami pun segera berangkat, karena tadi kulihat beberapa tetangga sudah berangkat. Kulirik Siska yang memakai gamis berwarna hitam dengan hiasan bordir di beberap
Tetanggaku Luar BiasaBab 20Leni tertawa, "terserah kamu aja, Sis!" Aku tersenyum tipis. Aku pikir Leni akan terus mendebat Siska soal perhiasan, ternyata tidak. Dia berpamitan karena sudah sampai di rumahnya."Mbak, suami Mbak Leni itu, kerja di mana sih?" "Di bank milik pemerintah. Kenapa?""Nggak apa-apa. Mm, suaminya kerja di bank, kok, mau-maunya bantuin jualan baju punya Mbak Ajeng."Aku menghela napas kasar. "Leni itu, anak sulung. Ayahnya udah meninggal sejak Leni SMP. Jadi, sebelum menikah, dia tulang punggung keluarga. Suaminya juga sama. Jadi, mereka sama-sama membiayai adik yang masih kuliah. Aku malah salut sama Leni. Walaupun punya suami berpenghasilan lumayan, tapi nggak gengsi jualan baju. Jarang loh, ada orang kayak dia."Siska tidak menjawab perkataanku. Lagipula kami sudah sampai rumah. Siska langsung pamit pulang. Dan aku langsung masuk ke rumah.***Sudah beberapa hari, tukang sayur tidak berjualan. Istrinya melahirkan, dan keluarganya dari kampung datang. Jadi
Tetanggaku Luar BiasaBab 21"Saya nggak nelpon, Mbak."Aku menatap Mas Reyhan dan Arif bergantian. Kalau bukan Arif yang menghubungi Siska, terus siapa? Kenapa Siska buru-buru pergi setelah menerima telepon? Aku jadi bertanya-tanya sendiri."Mungkin, Siska mampir ke mana dulu, Rif. Nggak usah khawatir," ujar Mas Reyhan.Aku mengangguk, setuju dengan pendapat Mas Reyhan. Semoga, Siska hanya mampir ke suatu tempat untuk membeli sesuatu. "Ya udah, kita tunggu aja. Paling Siska mampir beli diapers atau apalah.""Iya, Mbak. Kalo gitu, kami permisi pulang. Mau nunggu Siska di rumah aja." Arif membawa anak-anaknya pulang. Suami dan anak-anak kuajak masuk, untuk menikmati mie kocok yang dibeli tadi.***Hari ini, ibu mertuaku datang. Katanya rindu dengan cucu-cucunya. Tentu saja aku merasa senang dengan kehadirannya. Karena, memang sudah lumayan lama, kami tidak pulang ke kampung Mas Reyhan. Terakhir kami pulang, saat Idul Adha. Sewaktu anak-anak libur sekolah, sebenarnya kami juga berencan
Tetanggaku Luar BiasaBab 22Saat kami sampai di rumah, tampak Arif sedang mengasuh kedua anaknya di teras. Hampir saja Alisha keceplosan mengatakan pada Arif, bahwa kami melihat Siska."Kenapa nggak boleh bilang sama Arif kalo kalian ketemu Siska?" tanya Mas Reyhan."Mas mau, mereka berantem?" "Kok, berantem sih?""Nih, kalo Mas, ada di posisi Arif, marah nggak?""Kenapa harus marah? Toh, selama ini, juga kamu sering gitu, kan? Pergi belanja ama Leni, dan aku di rumah sama anak-anak.""Ini beda, Mas. Gini, gimana, kalo Mas tahu, ternyata aku perginya ama cowok? Ha-ha-hi-hi, sementara, kamu di rumah kerepotan ngurus anak-anak. Terus, yang datang nagih utang, hilir mudik?""Kamu sebenernya mau ngomong apa, sih? Muter-muter nggak jelas."Kuambil ponsel dari dalam tas, lalu membuka galeri, dan menyerahkannya pada Mas Reyhan. Kening suamiku berkerut saat mengamati foto dan video yang kuambil."Kamu nggak ada kerjaan amat ngambil foto orang."Reaksi Mas Reyhan membuatku sedikit dongkol. D