Tetangga Luar Biasa
Bab 5
"Mbak Ajeng ini, gimana sih? Dititipin Fia, malah Fia dititipin lagi ke orang lain. Kalo, nggak mau, ngomong dong, Mbak. Jadi, Fia aku bawa sekalian. Bukan malah dititipin lagi ke orang!" oceh Siska saat aku tiba di rumah seusai menjemput Alisha.
Siska terlihat kesal. Sambil berdiri di teras rumahku, ia menggendong Oliv, sementara tangan satunya memegang tangan Fia. Mendengar omelan Siska, aku buru-buru memarkir sepeda motor, dan langsung menghampirinya.
"Kamu dari mana aja? Sebelum nyalahin orang lain, lihat dirimu sendiri dulu! Atau, kamu bakalan malu sendiri! Jangan menyalahkan orang lain hanya untuk menutupi kesalahanmu sendiri!" sahutku ketus.
Sebenarnya aku ingin balik mencaci maki Siska. Akan tetapi, aku tidak mau Alisha melihat ibunya marah-marah. Ya, sebagai manusia biasa, tentu saja aku marah. Sejak pagi kubantu dia menjaga salah satu anaknya, malah marah-marah. Boro-boro bilang terima kasih. Siska kulewati begitu saja, sambil menggandeng tangan Alisha.
"Kak, ibu mau jemput Andra di rumah Wak Ayi. Kamu makan dulu terus istirahat aja. Nggak usah keluar kalo Tante Siska ke sini. Biarin aja."
"Ya, Bu."
Setelah anak sulungku itu masuk ke kamarnya, aku bergegas keluar. Tampak Siska masih berdiri di teras rumahku.
"Aku nggak peduli kamu ada urusan apa, pergi ke mana, sama siapa, itu bukan urusanku! Tapi, tolong, lain kali, kalo nggak percaya sama orang, jangan titipin anakmu ke orang lain! Bawa, ke mana pun kamu pergi!"
Mendengar omelanku, wajah Siska memerah. Kemudian ia menyeret Fia, memaksanya meninggalkan teras rumahku. Tampak Siska memaksa Fia masuk ke rumah. Sebenarnya aku tidak tega melihat anak sekecil itu dipaksa oleh ibunya. Sempat kulihat Siska mencubit pipi dan memukul pantat bocah lugu itu. Tentu saja Fia langsung menangis dengan suara keras. Aku juga termasuk ibu yang tegas, tapi tidak pernah main tangan pada anak.
***
"Tadi itu, saya ke rumah Mbak Ajeng, mau ambil sepeda Andra, karena panas, jadi anak-anak saya tinggalin di rumah. Nah, ketemu Mbak Siska, dia lagi ngetuk-ngetuk pintu rumah Mbak Ajeng. Jadi saya bilang kalo Fia ada di rumah saya. Mbak Ajengnya lagi jemput Kak Alisha. Eh, Mbak Siska langsung ke rumah saya, terus nggak bilang apa-apa, langsung nyeret Fia pulang. Padahal Fia lagi anteng, Mbak," tutur Wak Ayi.
"Lah, dia yang pergi ninggalin anaknya sama saya, kok pulang-pulang ngomel. Bukannya bilang makasih, kek, apa kek. Coba kalo saya bawa Fia jemput Alisha, diajak panas-panasan naik motor, terus malamnya Fia sakit, gimana? Saya juga nanti yang di salahin. Heran saya, Wak. Bisa-bisanya Mas Reyhan punya sodara model begitu. Bertahun-tahun di sini, perasaan saya juga nggak pernah bermasalah sama siapa-siapa, ya, Wak?"
Wak Ayi hanya tersenyum. Perempuan berhati lembut itu mengusap sudut matanya yang basah. "Saya nggak tega, Mbak, lihat Fia diseret, dicubit, dipukul pantatnya. Padahal anak segitu, mana ngerti permasalahan orang tua ya, Mbak."
"Iya, Wak. Ya udah, saya permisi pulang dulu. Nggak apa-apa, Andra di sini? Nggak mau pulang dia."
"Nggak apa-apa, Mbak. Biarin aja, ntar juga kalo bosen, minta pulang."
"Ya, sudah, kalo gitu saya pulang. Assalamualaikum."
Aku pun meninggalkan rumah Wak Ayi. Walaupun Andra tidak diasuh oleh Wak Ayi, tapi, dia seperti kakaknya, betah di rumah perempuan penyayang itu. Mungkin, karena Wak Ayi sangat lembut dan hampir tidak pernah marah, makanya kedua anakku betah kalau aku titipkan bersamanya.
Sesampainya di rumah, aku masih mendengar suara tangisan Fia. Kali ini ditambah suara tangisan Oliv juga. Entah apa yang sedang Siska lakukan, sampai-sampai membiarkan kedua anaknya menangis.
"Kasihan Fia sama Oliv, ya, Bu," ujar Alisha yang sedang menonton televisi.
"Iya. Tapi, kita bisa apa?"
"Iya, sih."
Sambil mengepak beberapa baju pesanan, dalam hati aku berdo'a, semoga Siska tidak gelap mata dan menyiksa kedua anaknya.
***
"Bu, tadi kamu marahin Siska?" tanya suamiku saat kami berdua hendak tidur.
Aku yang sedang menata bantal, menoleh. "Siska ngadu sama kamu?"
"Enggak, sih. Cuma, tadi, Arif bilang. Katanya Siska diomelin sama kamu gara-gara sering nitip anak-anak."
Oh, jadi Siska mengadu pada suaminya. Atau mungkin dia mempengaruhi suamiku melalui suaminya?
"Kalo nggak mau dititipin, tinggal ngomong baik-baik, Bu. Nggak perlu ngomel-ngomel. Kalo ayah sama anak-anak, mungkin udah biasa denger omelan Ibu. Tapi, Siska kan, beda. Selain dia baru kenal kamu, dia itu nggak biasa diomelin."
Mendengar kalimat Mas Reyhan, rasa kantuk mendadak lenyap. Berganti rasa dongkol yang luar biasa. Akan tetapi, sebisa mungkin aku menahan emosi.
"Yah! Dari pertama kenal sampai nikah, udah berapa lama? Coba, ingat-ingat! Apa, istrimu yang tukang ngomel ini, pernah ngomel gara-gara hal sepele?"
Mas Reyhan diam saja tak menjawab pertanyaanku.
"Apa Ayah tahu? Betapa paniknya aku saat Fia nangis minta pulang, sementara ibunya nggak bisa dihubungi? Apa Ayah tahu? Aku bahkan sampai datang ke klinik tempat Siska memeriksakan anaknya, cuma buat memastikan mereka baik-baik saja! Aku itu nggak enak makan, gelisah, takut terjadi hal buruk pada Siska dan Oliv. Dan, saat Siska pulang, dia bukannya minta maaf karena kelamaan nitip Fia, tanpa kabar. Tahu nggak? Siska itu marah sama aku, gara-gara Fia aku titipkan di rumah Wak Ayi, sementara aku jemput Alisha! Nggak mungkin aku bawa Fia panas-panasan ke sekolah Alisha! Dan, aku masih salah?"
Mas Reyhan diam tepekur mendengar omelanku.
"Nggak apa-apa, Siska nggak bisa bilang makasih. Tapi bisa nggak, dia nggak marah-marah nyalahin orang seenaknya?"
Melihat suamiku diam tak menjawab apa-apa, membuat emosiku naik. Kuambil bantal dan selimut, lalu turun dari tempat tidur.
"Mau ke mana, kamu?" tanpa Mas Reyhan, mungkin kaget dengan reaksiku.
"Mau tidur di depan tivi! Ogah tidur ama orang yang lebih percaya sama orang lain ketimbang istrinya! Ternyata, selama ini, kamu nggak kenal istrimu sendiri!"
Tanpa menunggu jawaban Mas Reyhan, aku ke luar kamar sambil mendekap bantal dan selimut. Mas Reyhan tidak mencegah atau pun mengejarku.
Ku rebahkan badan di sofa ruang keluarga. Tak lupa televisi kunyalakan, buat menemaniku menunggu datangnya kantuk. Daripada berantem sama suami gara-gara tetanggaku yang luar biasa ngeselin, mending berselancar di dunia maya. Baca novel di aplikasi atau di grup f******k. Baca komentar para netizen yang terkadang bikin ngakak.
Tetanggaku Luar BiasaBab 6Seperti biasa, suara tangisan Fia dan Oliv mengiringi pagi kami. Aku memilih cuek dan meneruskan semua pekerjaan. Gara-gara pindah ke depan televisi, aku tidur larut malam, dan bangun kesiangan. Jadi, kusiapkan dulu sarapan untuk suami dan anak-anak. Pekerjaan lain bisa nanti lagi. Walaupun masih dongkol pada Mas Reyhan, tapi tetap tidak tega membiarkan dia pergi bekerja tanpa sarapan terlebih dahulu.Kalau di dalam film-film, atau sinetron, atau novel romantis, biasanya saat istri marah, suami akan membujuknya. Apalagi, sampai pindah tempat tidur, pasti si suami akan menyusul dan meminta maaf, lalu selesai. Hm, jangan harap itu terjadi pada Mas Reyhan. Seperti biasa, saat aku marah, dia malah cuek saja. Boro-boro ada adegan bujuk membujuk, meminta maaf atau apalah.Jadi, sebena
Tetanggaku Luar BiasaBab 7Terdengar Siska menutup pintu dengan kasar. Lalu terdengar suara tangisan Oliv. Mungkin bayi itu kaget mendengar suara pintu dibanting. Sebenarnya tak tega mendengar tangisan Oliv, tapi aku tetap masuk ke rumah sambil memeluk Fia dalam gendongan. Leni mengurungkan niatnya pulang."Mbak, sabar, ya. Aku baru tahu, loh kalo Mbak Siska kasar gitu ke anak," ujar Leni sambil menyerahkan segelas air putih padaku."Makasih, Len." Aku meminum air mineral itu hingga tandas. Kemudian mengambil satu gelas lagi dengan gelas yang berbeda, dan memberikan pada Fia, agar lebih tenang."Iya, Len. Hampir setiap saat kami mendengar teriakan Siska ke anak-anak. Sebenernya kasihan. Cuma, ya, gitu, deh. Dia suka keenakan kalo aku bantu ngasuh anaknya."
Tetanggaku Luar BiasaBab 8Selama tiga hari Mama menginap, selama itu pula Siska dan anak-anaknya hilir mudik di rumahku. Tanpa merasa bersalah atau malu padaku karena insiden pemukulan pada Fia. Karena Siska bersikap biasa saja, aku pun memilih tidak membahas atau mengungkit kejadian itu."Yah, Mama, kok, pulang sih." Siska bahkan ikut memanggil dengan sebutan 'mama' pada ibuku. Dan, sekarang dia sedang menggerutu, merengek, atau apalah saat tahu ibuku pulang malam ini."Iya, kasihan Mbah Kakung, sendirian di rumah." Mama menjawab sambil menata beberapa oleh-oleh yang tadi kami beli. Sebenarnya Bapakku tidak sendirian di rumah. Ada Bi Tanti dan suami serta anak-anaknya yang menemani. Karena letak rumah kami dan Bi Tanti yang bersebelahan. Mungkin jawaban Mama tadi, hanya basa-basi saja.&nbs
Tetanggaku Luar BiasaBab 9Semua mata menatap penuh tanya padaku. Aku menghela napas, untuk sedikit mengurangi rasa kesal pada Siska. Lalu, tersenyum semanis mungkin pada empat ibu-ibu di depanku termasuk Siska."Oh, soal tambahan modal. Gini, ya, Bu-Ibu. Saya itu, sewaktu keluar kerja, kan, punya sedikit uang, dari tabungan sama tunjangan dari pabrik. Nah, karena takut habis nggak jelas, saya pake uang itu, buat beli sawah. Nah, sawahnya, diurus sama saudara di kampung. Tiap panen, bagian saya dijual, uangnya dikirim ke sini sama ibu saya. Nah, sama saya, uang itu, dipakai nambahin stok barang, gitu. Jadi, bukan ibu saya ngasih tambahan modal, bukan."Mereka kompak mengucapkan kata 'oh' saat aku selesai bercerita. Kulihat wajah Siska tampak keruh, mungkin malu atau juga tidak suka dengan keterangan yang kubeberkan. Da
Tetanggaku Luar BiasaBab 10"Yah, kalo kalian mau makan dulu, aku gimana? Kalo ikut, uangku tinggal tiga puluh ribu, mana cukup buat makan kami bertiga," sela Siska.Rasa kesal yang semakin menggunung, membuatku diam saja."Bu, gimana?" tanya Alisha, mungkin dia tidak sabar mendengar jawabanku.Aku menghela napas. "Pulang aja!" jawabku ketus."Yah, Ibu, mah! Katanya tadi pengen makan di luar," gerutu Alisha."Pulang aja. Kita masak mie rebus!" jawabku ketus.Kalau sudah seperti ini, suami dan anak-anak tidak akan ada yang berani membantah. Mereka paham, aku sedang marah."Iya, mending pulang aja. Lagian
Tetanggaku Luar BiasaBab 11"Mang Ali bilang, dari kemarin, mereka nggak pulang ke sana." Mas Reyhan menyahut dengan suara pelan.Aku mengerutkan kening, agak terkejut. Kalau tidak pulang kampung, terus Siska dan Arif ke mana? Padahal, saat meminjam mobil kemarin, Siska bilang mau pulang kampung. Kalau memang mau pinjam mobil dua hari bilang saja, tidak apa-apa. Jujur, saja. Kalau seperti ini, aku jadi khawatir terjadi apa-apa sama keluarga kecil Siska. Karena sejak kemarin tidak bisa dihubungi, dan tidak memberi kabar."Ya sudah, Ayah sama Alisha berangkat pakai sepeda motor. Ibu sama Andra naik ojek atau angkot, nggak apa-apa," usulku.Mas Reyhan menyetujui usulku. Tak lama kemudian, pria yang jarang marah itu, berangkat bersama anak sulung kami. Mudah-mudahan dia tidak terlambat sampai k
Tetanggaku Luar BiasaBab 12"Kalian apakan Alif?"Kedua anakku saling pandang. Kulihat kaca-kaca di mata polos keduanya. Jujur, sebagai ibu, aku tidak tega melihat mereka ketakutan seperti ini. Akan tetapi, aku juga tidak akan membiarkan mereka melakukan kekerasan pada orang lain, jika bukan untuk membela diri."Alisha! Bisa kamu jelasin sama ibu?"Alisha mengangkat wajahnya. Ada garis memanjang berwarna merah dari samping alis sampai pipi pada wajah yang serupa dengan Mas Reyhan itu. Aku mengerutkan kening, dan menajamkan penglihatan untuk memperjelas melihat luka di wajah Alisha."Ini, kenapa?"Alisha tak lagi bisa membendung tangisnya. Begitu pula Andra. Sebagai ibu, tak ada pilihan lain, kecuali me
Tetanggaku Luar BiasaBab 13"Sudah, bubar! Bubar! Tanpa mengurangi rasa hormat, saya mohon, yang tidak berkepentingan, untuk meninggalkan tempat ini, terima kasih!" seru Pak RT pada orang-orang yang masih berkerumun di depan rumahku dan rumah Siska.Sungguh tak kusangka, keributan ini ternyata mengundang perhatian banyak orang. Setelah ini, mungkin, aku akan menjadi bahan gunjingan orang-orang sekompleks. Duh, dasar Siska. Ada-ada saja."Mbak Siska, Mbak Ajeng, saya rasa, ini cuma masalah sepele, dan salah paham. Dan, saya sebagai ketua RT di sini, berharap, kita sudahi saja masalah ini. Jangan diperpanjang lagi. Namanya juga anak-anak. Wajar kalo mereka berantem. Ntar juga, akur lagi. Kita, sebagai orang tua, sebaiknya jangan terlalu ikut campur. Anak-anak, mah, berantem sekarang, nggak sampai satu jam j