Share

4. Gubuk tua

Penulis: Donat Mblondo
last update Terakhir Diperbarui: 2024-03-07 13:59:49

"Tongkat sakti!"

Whuuush! Whuuush! Whuuush!

Sebuah tongkat kayu, muncul dari langit berputar-putar menghampiri Qu Cing.

Hap!

Bocah itu menangkap tongkat tersebut dan mulai mengayunkannya.

"Aku bisa menunjukanmu beberapa jurus dasar jika kau mengingikannya!" ujar sang tongkat sakti kepada Qu Cing.

"Benarkah? Tentu saja aku menginginkannya. Tolong tunjukan itu! Aku sangat bersemangat."

"Duduk! Dan pejamkan matamu!"

Qu Cing pun mengikuti perintah sang tongkat sakti. Dia duduk bersila di tanah sembari memejamkan mata. Tiba-tiba, sosok bayangan hitam dalam pikirannya muncul menunjukan suatu gerakan.

Setelah beberapa saat kemudian, Qu Cing membelalakan matanya. Dia bangkit dan spontan mengikuti gerakan itu. Rupanya, gerakan itu secara otomatis langsung melekat di kepalanya.

Anak itu begitu lincah. Ayunan demi ayunan tongkat, sampai ia melakukan sebuah serangan ke salah satu pohon yang paling besar di hadapannya dengan jurus, tongkat mengamuk.

Whuuush! Whuuush! Whuuush!

Tongkat itu memutar vertikal dengan cepat, bagaikan putaran sebuah shuriken besar, menebas horizontal pohon kokoh itu hingga tumbang. Kemudian, sang tongkat sakti kembali kepada pemiliknya, sembari mencincang brutal pohon besar itu menjadi potongan-potongan kecil untuk kayu bakar.

Huft!

Jurus ini cukup menguras tenaga bagi si kurus Qu Cing yang baru mulai berlatih. Setelah dia membuat sedikit kekacauan di sana, suara-suara aneh mulai bermunculan.

Groaaaaaaa! Groaaaa!

Aaaaaaaaaaaaaaargh!

Bahkan, suasana angin yang tenang tiba-tiba berhembus kencang. Suara rintihan terdengar menelusuri lubang telinga Qu Cing.

"Datanglah ke gubuk ... datanglah ke gubuk ... tolong aku!" Suara itu meraung raung berkali-kali.

Qu Cing tidak menyangka. Ini benar-benar seperti apa yang dikatakan oleh rumor. Akan tetapi, bukanya takut, justru malah muncul rasa penasaran dalam diri anak itu. Dia tidak peduli dan tidak takut mati. Qu Cing pun berusaha mencari-cari sumber asal suara itu.

"Tidak ada satupun gubuk di pekarangan ini!" ucap Qu Cing meninggikan bahu.

"Di sini ... di sini! Di sebelah utara, datanglah ke gubuk!"

Rupanya, suara itu melihat respond Qu Cing. Anak itu menurutinya terus berjalan ke arah utara. Namun, belum juga menemukan gubuk yang dimaksud.

"Gubuk? Di sebelah utara?" Qu Cing menggaruk-garuk kepala yang tak gatal. Anak itu masih tampak kebingungan, sedangkan suara itu, kini, sudah lenyap.

"Aneh! Ke mana suara tadi? Apakah dia sedang mempermainkanku?" Anak itu menoleh-noleh dan tidak mendapati seorang pun di sana kecuali pepohonan dan sampah dedaunan.

Qu Cing pun kembali berlatih dan melupakan kejadian yang baru saja terjadi. Dia kembali duduk bersila dan menancapkan tongkat di hadapannya. Namun, sebelum anak itu memejamkan mata, sang tongkat sakti bercahaya menunjukkan bahwa di hadapannya ada sebuah dinding pembatas. Sontak, Qu Cing menyentuhnya dan terpental.

Dinding apa itu? Pikirnya.

Dia mencabut sang tongkat sakti. Lalu melancarkan jurus tongkat mengamuk ke arah dinding tersebut.

Whuuush whuuush whuuush!

Taaaang!

Tongkat itu pun memantul tak berhasil menghancurkan dinding.

"Pelajari jurus kedua, dan gunakan itu!" kata sang tongkat sakti.

"Baiklah!"

Qu Cing duduk bersila dan langsung memejamkan matanya dengan konsentrasi penuh. Lalu ia bangkit mempraktekan jurus kedua dari sang tongkat sakti. Ia melayangkan tongkat tersebut di hadapannya dengan energi spiritual. Kemudian, menggabungkan energi spiritual cahaya miliknya dengan kekuatan sang tongkat sakti.

Anak itu menggerakkan tangan kanannya hingga lurus sejajar dengan telinga. Lalu melesatkan tangannya ke depan seolah-olah mengendalikan tongkat tersebut.

"Pukulan tongkat mabur!"

Sang tongkat pun melesat dengan sangat cepat dan memukul keras dinding pembatas itu sampai akhirnya menimbulkan sebuah retakan. Qu Cing melakukannya hingga beberapa kali sampai akhirnya dinding tersebut benar-benar retak dan akhirnya pecah.

Praaank!

Tampaklah sebuah gubuk tua di balik pembatas itu.

Apakah gubuk ini yang dimaksud oleh suara tadi? Pikir Qu Cing mulai melangkahkan kakinya memasuki gubuk tersebut. Setelah berada di dalam ruangan, ia tidak melihat siapapun di sana.

"Di sini! Di dalam tanah!" ucap suara itu tiba-tiba muncul kembali.

"Di dalam tanah?" Qu Cing menghentak-hentakkan kakinya ke tanah. "Bagaimana aku bisa menembus tanah ini?"

"Di sisi kanan, ada sebuah lemari tua. Jika kau bisa membuka lemari itu, di sana ada sebuah jalan menuju ruang bawah tanah."

Qu Cing menoleh dan melihat lemari tua itu. Ia menghampirinya dan mendapati pintu lemari tua tersebut terdapat banyak titik bertebaran. Anak itu berusaha mendobrak lemari tersebut secara paksa. Namun, tiba-tiba titik-titik pada pintu lemari itu mengeluarkan suatu energi spiritual. Energi itu menghempaskan Qu Cing hingga terbentur dinding gubuk sampai hampir roboh.

"Sepertinya ada yang aneh dengan titik-titik itu!" gumam Qu Cing mengkerutkan dahi.

"Huh! Sudah kuduga! Ini tidak akan mudah." Suara itu tampak seperti baru saja menghembuskan napas. "Kau harus menghubungkan semua titik-titik itu dengan benar menjadi sebuah tanda. Ini dinamakan formasi tanda. Yang kau lihat di pintu lemari itu adalah formasi tanda penguncian. Kau bisa memecahkannya dengan membaca sebuah buku tentang formasi tanda di perpustakaan."

"Oh, tunggu. Aku akan pergi ke perpustakaan untuk meminjam buku itu!" Qu Cing berlari meninggalkan tempat itu menuju perpustakaan.

Di perpustakaan tingkat dasar kelas 1, semua berisi tentang buku-buku dasar termasuk ilmu dasar formasi tanda. Qu Cing menerobos masuk dan langsung bertanya kepada pengurus perpustakaan, Gu Wang.

"Di mana aku bisa mendapatkan ilmu dasar tentang formasi tanda?"

"Apa kau baru pertama kali masuk perpustakaan?" timpal si pengurus.

"Benar. Mohon bantuannya!" Qu Cing menautkan dua kepalan tangan sembari menundukkan kepala.

"Di sebelah kanan adalah buku-buku yang mempelajari tentang ilmu spiritual dan di sebelah kiri adalah buku-buku yang mempelajari tetang ilmu tenaga dalam. Formasi tanda dibentuk dengan kekuatan spiritual. Jadi, kau bisa mencarinya di rak sebelah kanan. Lebih detailnya, pada rak bagian depan, adalah buku-buku yang berisi materi untuk dipraktekan. Adapun pada rak bagian belakang, adalah buku-buku yang hanya berisi materi tentang ilmu pengetahuan saja. Apa kau paham?" jelas si pengurus.

Qu Cing mengangguk. "Itu berarti, bukankah aku seharusnya mencari buku itu di rak sebelah kanan pada bagian depan?"

"Benar sekali!" Si pengurus itu tersenyum.

"Terima kasih!"

Qu Cing mencari buku tersebut di setiap deretan buku-buku yang terpapar rapi, hingga melangkah bolak balik sampai beberapa kali. Tiba-tiba, seseorang mendorongnya dengan sengaja dari belakang. Sehingga, anak itu terhempas menabrak rak buku. Buku-buku itu pun berjatuhan menimpa dirinya.

"Mengapa bisa ada anak kotoran di sini, Paman Gu?" ucap Han Thu memandang Qu Cing dengan tatapan merendahkan.

"Anak kotoran? Apa maksud dari perkataan Anda, Tuan Muda Han?"

"Anak itu bahkan tidak memiliki gumpalan tenaga dalam pada tubunya! Untuk apa mencari buku tentang materi kekuatan spiritual yang bisa dipraktekan? Apakah ini sebuah lelucon?"

"Ha ha ha!" Para pengikut Han Thu pun tertawa.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Thai Qu Cing Si Anak Kotoran   126. Laron api

    “Sekarang! Tye, sendi! Jing, belenggu! Pien, tahan tanah!” teriak Qu Cing.Dalam beberapa detik, sisa jangkrik kristal satu per satu tumbang. Tak ada sorak. Hanya hembusan napas panjang serentak.“Suara mereka… seperti memukul otak,” keluh Jien Jing, memijit pelipis.“Jangan dengarkan,” sahut Qu Cing pendek. “Kerjakan tanganmu.”Ia jongkok. Dengan ujung tongkat, ia membelah dada salah satu jangkrik. Di dalamnya, berkilau butiran kristal merah kecil. Mirip pecahan batu dari serigala batu. Saat ia mendekatkan kantong berisi pecahan itu, kristal di tubuh jangkrik bergetar. Pecahan di kantong ikut bergetar.‘Dipanggil oleh pola yang sama,’ batin Qu Cing. ‘Ini bukan makhluk liar. Ada yang memainkan hutan.’Suasana kembali hening. Tapi hening itu tidak seperti istirahat, melainkan menunggu sesuatu. Pohon-pohon pinus berderak pelan, seolah angin tak lagi bertiup dari luar, melainkan dari dalam hutan sendiri. Kabut yang biasanya dingin perlahan berubah, membawa hawa hangat samar, seperti uap d

  • Thai Qu Cing Si Anak Kotoran   125. Jejak dalam kabut

    Hutan kembali tenang. Tenang yang membuat bulu kuduk berdiri.Asap tipis dari bangkai serigala batu merayap rendah, bercampur dengan kabut yang makin turun. Bau besi, tanah basah, dan getah pinus bersatu, menusuk hidung.“Bangun!” ucap Qu Cing pelan pada timnya. “Jangan duduk terlalu lama!”Mereka berdiri perlahan.Jien Jing masih menggenggam gulungan tanda, ujung kertasnya bergetar.Pien Duu mengatur napas dengan mulut setengah terbuka.Phi San memijit telinganya, berusaha meredakan denging yang belum hilang.Tye Luu menatap sekeliling tajam, hidungnya kembang-kempis membaca arah angin.Di seberang, murid kelas 4A ikut bangkit. Dua di antaranya masih limbung. Han Thu terdiam, menegakkan bahu yang sempat jatuh. Bara api kecil menari di ujung jarinya, seolah ia takut terlihat lemah jika memadamkannya.“Posisi tetap,” kata Qu Cing. “Kita bertahan sampai matahari turun.”“Jangan memerintah kami!” dengus Han Thu. Tapi ia juga tidak bergerak pergi.‘Bagus. Diamlah di sana!’ batin Qu Cing. I

  • Thai Qu Cing Si Anak Kotoran   124. Sesosok berjubah

    Serigala batu itu akhirnya roboh dengan auman terakhir. Tubuh hitam kelamnya retak, pecah jadi puluhan bongkahan yang menyebar ke tanah. Cairan hitam yang menetes dari mulutnya mengalir, membakar rumput liar hingga layu seketika. Hutan mendadak hening.Asap tipis naik perlahan di antara pohon pinus, melayang bersama kabut pagi yang semakin menebal.Murid-murid kelas 4F jatuh terengah. Jien Jing terperosok ke tanah, tangannya gemetar. Pien Duu menahan lutut, napasnya berat. Phi San langsung rebahan, menepuk dadanya keras-keras.“Kalau satu serangan lagi…” Jien Jing bersuara lirih, “kita pasti habis.”Phi San mencoba bercanda meski wajahnya pucat. “Untung cairannya baunya kayak kotoran busuk. Kalau tidak, aku sudah pingsan sejak tadi.”Yang lain mendecak kesal, tapi sedikit lega.Tye Luu menarik napas panjang. Suaranya pelan, hampir berbisik, “Kita masih hidup. Itu yang penting.”Di depan mereka, Qu Cing tetap berdiri tegak. Tongkat sakti tertancap di tanah. Ia tidak bicara, hanya menata

  • Thai Qu Cing Si Anak Kotoran   123. Serigala batu

    Dari balik kabut, suara tawa pelan terdengar. “Kelas F… kalau tidak punya perisai, bagaimana caranya pulang?”Han Thu muncul di antara dua batang pinus. Tiga murid kelas 4A berdiri di sisinya. Api kecil menari di sekeliling tubuh mereka, membuat udara panas bergetar. Daun-daun kering di tanah meretak dan menjauh sebelum sempat menyentuh bara.Jien Jing maju setengah langkah, wajahnya merah padam. “Kau—”“Diam,” potong Qu Cing datar. Ia melangkah ke depan, berdiri di barisan terdepan. Tongkat saktinya miring di samping tubuh, tampak seperti kayu biasa.Han Thu tersenyum, tatapannya tajam. “Aku hanya ingin membantu. Ujian bertahan hidup itu berat. Bagaimana kalau kubantu kalian pulang lebih cepat?”Di ujung jarinya, bola api kecil berputar, menyala merah menyilaukan. Panasnya membuat udara di sekitar bergelombang.Tanda Penjejak Getar di kaki Qu Cing berpendar samar. Ada dua langkah berputar dari kiri, satu lagi mendekat dari kanan. Mereka mengepung.‘Api di depan, tebasan dari samping,

  • Thai Qu Cing Si Anak Kotoran   122. Hutan Pelatihan

    Mereka pun tiba di Hutan Latihan. Kabut tipis bergelayut di antara pepohonan tinggi. Suara burung bercampur dengan desiran angin pagi. Bau tanah basah naik dari akar-akar yang mencuat, menyatu dengan aroma daun pinus yang tajam.Murid-murid kelas 4F berdiri dengan wajah tegang. Jia Gong An menatap mereka satu per satu.“Hari ini kalian akan membentuk tim. Setiap tim harus bertahan sampai matahari terbenam. Aturannya sederhana: gunakan tanda untuk bertahan hidup. Kalau tidak… ya, terserah nasib kalian.”Nada suaranya tegas, namun ada jeda tipis di antara kata-katanya. Seolah ia menahan sesuatu di dalam hati. Matanya beralih dari wajah pucat Tye Luu, tangan gemetar Jien Jing, hingga Phi San yang pura-pura tersenyum.Dalam tatapan dinginnya tersimpan bayangan rasa khawatir. ‘Anak-anak ini… jika mereka hanya dianggap murid gagal oleh dunia luar, maka akulah satu-satunya yang harus memastikan mereka pulang dengan selamat.’Sesaat, jemarinya yang menggenggam gulungan bambu bergetar ringan.

  • Thai Qu Cing Si Anak Kotoran   121. Riak dalam perguruan

    Malam berakhir…Setelah tubuh bayangan terakhir membeku di genteng, Nie Lee menepuk pundak muridnya.“Cukup untuk malam ini. Kau butuh istirahat, Qu Cing.”Qu Cing mengangguk pendek. Tatapannya masih dingin, namun langkahnya ringan saat ia kembali ke asrama.Di kamar yang sepi, ia merebahkan diri di atas dipan kayu yang dingin. Langit-langit kusam menatapnya kosong, sementara pikirannya berputar: wajah Jun Jung, tongkat sakti yang memilihnya, dan bayangan hitam yang mati tanpa sempat bicara.Matanya akhirnya terpejam. Tidurnya tidak tenang, bayangan cahaya dan kegelapan saling berbenturan di kepalanya. Seolah dunia tengah menyiapkan beban baru di pundaknya.Pagi tiba…Mentari terbit perlahan di balik timur. Sinarnya menyusup lewat celah pepohonan rindang yang mengelilingi Perguruan Long Ji. Embun masih menempel di dedaunan, menetes ke tanah basah, menebarkan aroma segar.Qu Cing berdiri di pelataran barat. Tongkat sakti tertancap di tanah di sampingnya. Matanya terpejam, napasnya tera

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status