“Cass, are you alright?”
Cassie tidak merespon. Pandangannya lurus dan fokus pada jalanan yang sepi. Di sebelahnya, Dhika duduk dengan gelisah karena tidak ada satu pun perkataannya yang direspon oleh Cassie sejak keluar dari kantor polisi. Sebut Dhika penakut, namun Cassie –cewel yang tingginya hanya setelinganya itu—paling terlihat menakutkan saat diam dan fokus.
“Aunt Cassie marah sama Dhika?”
Harapan terakhir Dhika untuk mendapat perhatian Cassie adalah panggilan itu. Aunt. Dhika sudah berlatih selama bertahun-tahun agar bisa memanggil sahabatnya sejak kecil dengan panggilan aunt agar nanti, saat ayahnya dan kakak Cassie menikah, tidak ada kecanggungan panggilan lagi.
Namun tidak ada pernikahan yang terjadi dan dua kematian mendatangi keluarga mereka.
Benar saja. Mendengar panggilan tersebut keluar dari mulut Dhika, Cassie menghentikan mobilnya tiba-tiba. Jika ini siang hari, dapat dipastikan mobil-mobil di belakang akan mengklakson kesal atau skenario terparahnya, Cassie akan berakhir di kantor polisi lagi karena menyebabkan kecelakaan beruntun. Namun pada tengah malam seperti saat ini, hanya ada satu-dua mobil yang lewat.
“Sorry, Cass. Aku nggak berniat menyebabkan masalah,” ucap Dhika menyesal. Cowok itu merapikan jepitan rambut Cassie, berusaha menebak apa yang dipikirkan cewek yang duduk di sebelahnya dibalik ekspresi dingin yang bagai batu. Paling tidak Cassie memberi respon atas ucapannya. Cewek itu tidak mengabaikan ucapannya lagi bagai angin lalu.
Bagi dunia luar, mungkin Dhika adalah sosok easy going yang agak arogan. Bagi orang-orang yang tahu sejarah kehidupannya, Dhika hanyalah seorang bocah tidak bertanggung jawab yang hanya mengandalkan kisah hidupnya yang menyedihkan untuk bertahan hidup. Namun bagi Cassie, di depan Cassie, Dhika adalah seseorang yang begitu hebat dan patut mendapatkan segalanya. Dan kini Cassie hidup agar bisa mendapatkan segalanya untuk Dhika.
“Katanya mereka preman jalanan yang sering ngumpul di area sana. Kamu diapain sama mereka? Ada yang luka?” tanya Cassie dengan nada dingin. Dipandangnya Dhika dengan pandangan menusuk, membuat mata pria itu sedikit perih.
“I’m sorry. I’m really sorry, Cass.” Tangan Dhika turun dari rambut Cassie dan menggenggam tangan kirinya yang menggenggam persneling. Cassie mengkhawatirkannya dan peduli padanya adalah kebahagiaan terbesar Dhika saat ini. Tapi cowok itu tidak bisa terus memberatkan Cassie.“I promise you I’ll be good from now on, ok? I‘m your good boy. I’ll always be your good boy.”
Tangan Cassie yang dingin tidak bergerak di bawah tangan hangat Dhika. Pandangan cewek itu masih tajam dan menusuk saat ia membuka suara lagi,”Luka, Dhika. Aku tanya tentang luka.”
“Nggak ada, Cass,” aku Dhika. Namun saat Cassie menelengkan kepalanya sedikit, Dhika cepat-cepat mengaku. “Cuma sedikit memar.”Dhika menggulung lengan kanan kemejanya. Di dekat pergelangan tangan, tampak memar kecil kebiruan yang terbentuk. “Beneran nggak apa-apa. Nggak sakit.”
Cassie menatap memar itu bagai melihat hantu. Wajahnya pucat seketika. Perlahan, tangannya yang ada di bawah tangan Dhika menyambut genggaman pria itu. Tangan satunya menyentuh memar Dhika dengan hati-hati, seolah sedikit saja ia menyentuhnya, Dhika bisa hancur seperti kaca yang rapuh. “Jangan masuk ke sana lagi, Dhik. Kamu mau aku mati muda?” ucap Cassie pada akhirnya. Bagi cewek ini, mungkin saja Dhika adalah kelemahan terbesarnya.
Dhika kini tersenyum. Cassie mau bicara padanya, berarti cewek itu sudah tidak marah lagi. Tangannya mengeratkan genggaman pada Cassie. “Nggak dong. Aku bisa mati duluan sebelum ngurus perusahaan yang kamu tinggalin.” Cassie melotot. “Apa? Nggak semua orang bisa jadi CEO di umur dua puluh satu. You’re a prodigy, Aunt Cassie.”Dhika menyeringai.
Melihat senyum miring yang sangat disukainya itu, Cassie tidak tahan untuk tidak mengelus rambut Dhika dengan tangannya yang lain. Keponakannya ini terkadang lebih menggemaskan dibanding para balita. Tebak berapa umurnya. Yeah, seumuran dengan Cassie. “Akan ada waktunya kamu duduk di sana dan memimpin perusahaan, Dhik. Aku nggak bisa jadi CEO selamanya.”
“Kenapa?” tanya Dhika main-main. Tentu saja ia tahu jawabannya.
“Karena aku ingin jalan-jalan keliling dunia lamaaa sekali.” Cassie membalas dengan main-main juga. “Ini saatmu bebas jalan-jalan. Nanti kita harus gantian.”
Dhika melepas tangan Cassie di genggaman dan rambutnya. “Cassie jahat. Kalau kamu nyerahin perusahaan padaku sebelum aku siap, nggak peduli apa kata semua orang, aku akan menjualnya.”
“Uangnya untuk apa?” tantang cewek di sampingnya. Cassie kembali mengelus rambut Dhika dengan keras kepala. Cowok itu terus menghindar hingga akhirnya Cassie malah menjambak rambutnya yang mulai panjang. Dhika harus potong rambut segera, pikir Cassie.
Cowok itu menghempaskan tangan cewek di sampingnya dengan kesal. “Untuk beli yacht.”
Cassie mendengus. “Kamu tau harga yacht?”
Dhika menggeleng. “Belum googling.”
Mau tidak mau, Cassie memberinya senyum mengejek. Dipegangnya dagu Dhika dengan ujung ibu jari dan jari telunjuknya. “Tau nggak? Kalau kamu jual perusahaan, mending uangnya kupakai untuk nyewa bodyguard 24/7 yang punya tugas untuk ngikutin kamu kemana-mana. Heran ya, padahal lokasi kafe tempatmu bekerja part-time itu lumayan ramai, sebelah kampus pula. Karena itu aku mengizinkanmu kerja di sana. Bisa-bisanya ada preman mabuk yang punya hobi memukuli orang tidak bersalah.”
“Cass!” Dhika tampak tersinggung. “Jangan hina-hina tempat kerjaku, dong.”
“Kamu hina-hina tempat kerjaku lebih dulu. Barusan bilang mau dijual, kan?” Cassie menghidupkan mobilnya lagi. Tak ada gunanya mereka berhenti di jalan tengah malam begini. Lebih baik cepat-cepat sampai di rumah lalu mengobrol dengan nyaman.
“Back to the topic. Aku nggak mau bodyguard. End of discussion. Kamu pikir kita siapa? Crazy rich Jakarta? Kelompok mafia legendaris? Yang ada malah aku diketawain seluruh dunia.”
“Dasar keras kepala. Memangnya aku keliatan peduli sama apa yang dunia lakukan?” Dhika mengerang kesal. “Tapi okelah, kuanggap bodyguard terlalu berlebihan.”
Di luar dugaan, Dhika tidak membalas ucapan Cassie lagi. Sisa perjalanan menuju rumah begitu tenang sampai-sampai Cassie hampir mengantuk. Dhika mulai membuka suara lagi ketika mereka sampai di depan rumah.
“Aku naik taksi online ke apartemen, ya?”
“Kamu mau aku mati muda?!” bentak Cassie.
“Cass, kok kamu bahas mati-mati terus dari tadi? Kepingin mati beneran, ya? Duh, gawat!”
Cassie menghentakkan kakinya. Saat Dhika bersiap untuk dicubit –Cassie tiba-tiba setengah lari ke arahnya! –cowok itu merasakan tangan dingin di dahinya yang hangat. “See? Badanmu panas. Masih mau pulang sendiri ke apartemen?”
Dhika meringis. Badannya memang terasa sedikit hangat, tapi ia tidak tahu kalau Cassie bakal sadar. “Kok tau?”
“Siapa tadi yang pegang-pegang tanganku pakai tangan yang panas banget?” Dhika hanya nyengir tanpa rasa bersalah. “Malam ini kamu nginep di rumah. Ini rumahmu, tau? Sering-seringlah main ke sini.”
“Ini rumahmu juga, Cass,” sanggah Dhika. Setelah sekian tahun, Cassie masih belum bisa menganggap rumah ini sebagai rumahnya sendiri. Misi Dhika untuk merubah hal tersebut.
“Sering-seringlah ke sini. Jangan hanya nginep semalam aja di akhir pekan,” ucap Cassie sembari berbalik.
Cewek itu masuk duluan ke dalam rumah, meninggalkan Dhika yang kini mengelap darah di lengan kirinya. Untung saja Cassie tidak menyadari luka yang ada di sana.
Satu bulan sebelum ulang tahun Dhika yang kedelapan belas… “Apa gunanya penasaran, sih?” Putra berdecak kesal. Sedari pagi, sohibnya yang bernama Andhika Pratama terus menerus merundungnya tentang kado apa yang akan diberikan Cassie, calon pacar garis miring calon tante cowok itu untuk ulang tahunnya yang kedelapan belas (well, Putra agak bingung menentukan title Cassie di sini karena hubungan keduanya memang sangat rumit, tapi masa bodoh karena jika Cassie menjadi tante sohibnya, dia akan punya banyak kesempatan untuk jadi calon pacar Cassie). “Karena kado ini dari Cassie. Dan cewek itu nggak pernah ngasih kado sembarangan.” Dan apa maksudnya itu? “Bro, ulang tahun lo sebulan lagi. Tunggu aja. Kado kan memang harusnya jadi kejutan.” Putra kini menyibukkan diri dengan ponselnya, malas menanggapi Dhika yang memang super terobsesi pada Cassie. Sayangnya, Dhika punya pikiran lain. “Bayangin kalau dia ngasih gue sepatu
“By the way,” Cassie berdiri sembari membawa kotak mentai rice yang sudah kosong. “Aku belum kasih ucapan selamat secara official untuk the birthday boy.”“It’s me.” Dhika menambahkan.Beni, objek sasarannya, menanggapi santai, “I know. I accompanied Cassie to the bakery shop.”“So,” sela Cassie, menghentikan adu mulut keduanya. “Happiest birthday. Aku ambil kuenya dulu.”Cassie kembali dengan kue dan korek api. Kali ini, cewek itu tidak melihat tanda-tanda ada perdebatan kekanakan lagi di antara keponakan dan kekasihnya kali kedua para cowok itu ditinggalkan berdua saja di dalam satu ruangan.“Just for your information,” Dhika berdeham saat Cassie tiba, matanya tidak meninggalkan Beni. “Ada korek api di rumah ini bukan berarti aku atau Cassie merokok. Aku bahkan ng
Hal paling awkward yang mungkin pernah terjadi di hidup Cassie adalah salah masuk ruang meeting saat ia baru saja menjabat sebagai CEO sementara. Cassie ingat benar bagaimana tangannya yang mendorong gagang pintu langsung dingin dan kaku seketika saat berpasang-pasang mata menatapnya dengan tatapan aneh. Apa dia karyawan baru yang datang terlambat di hari pertama? Mungkin sebagian besar berpikir seperti itu, berhubung ruangan yang salah dimasukinya adalah ruang induction. Parah sekali, terlambat satu jam! Lebih mungkin lagi, itulah kalimat yang semua orang pikirkan. Saat itu, Cassie ingin kabur secepatnya dan mengubur diri di tong sampah terdekat, tetapi tentu saja hal itu hanya bisa dilakukan dalam angan-angan. Lagipula cewek itu sudah berjanji untuk menjaga PT Bellezza sebaik mungkin. Jadi dengan penuh percaya diri, Cassie membenarkan postur tubuhnya, dan berkata dengan nada bass yang sudah ia latih sema
“Rule number one, behave, ada Dhika di dalam.” Beni bukan orang yang gampang terintimidasi, apalagi dengan orang yang lebih muda dibandingkan dirinya. Jika ingin contoh ekstrim, Beni bahkan tidak terintimidasi oleh deretan C-level bertampang seram di perusahaannya sendiri (tapi posisinya sebagai calon penerus perusahaan mungkin berpengaruh besar dalam hal ini). Jadi, bertemu keponakan Cassie seharusnya bukan hal yang sulit. Dhika mungkin tidak menyukainya dengan alasan kuno seperti kau-tidak-cukup-baik-untuk-tanteku-yang-sempurna, tapi cowok itu tidak mungkin membencinya, kan? Beni belum (jangan sampai!) berbuat sesuatu yang menyebabkan Cassie marah besar atau sedih luar biasa, jadi seharusnya ia ada di posisi aman. Jika Beni boleh jujur, malahan ia sudah memiliki rasa peduli pada Dhika walaupun mereka belum pernah bertemu sama sekali. Kekasihnya selalu bercerita tentang Dhika, keponakannya, dan satu-satunya keluarganya. Beni tahu mereka bukan tant
Beni tahu dan paham semua teori dan nasihat tentang fokus mengemudi dan jangan melihat ke arah lain selain spion dan jalanan. Cowok itu bukan pengemudi ugal-ugalan, sungguh. Saat orang-orang lain membuat SIM A dengan jalur dalam (atau jalur uang, well, sama sajalah), Beni mengambil les mengemudi selama dua minggu untuk mempersiapkan diri dalam tes pengambilan SIM. Hasilnya, dia lulus dengan mudah dan murah. Jadi, Beni tahu benar apa yang dilakukannya ini salah. Jalanan ibukota malam-malam begini memang cukup lengang, namun bukan berarti tidak akan ada mobil atau motor yang mencoba menyalip (baik dari sebelah kanan maupun kiri). Meskipun begitu, lebih dari setengah perhatian Beni kini tidak tertuju pada jalanan. Tangan kirinya memang masih berada di atas setir, namun tangan kanannya merangkul pundak Cassie yang practically bersandar pada bahunya. Beni melirik ke tangan cewek itu yang gemetaran sesering yang ia bisa tanpa membuat mereka olen
“Masih beef bowl terenak yang pernah gue makan.” Putra berkata di sela-sela kunyahannya. Setelah selesai mengambil surat rekomendasi magang di TU, cowok itu dan Dhika makan di Kafe Kafe, kafe tempat Dhika bekerja part-time. Nama yang aneh? Definitely. Namun nama-nama unik seperti inilah yang menimbulkan kesan kekinian dan membuat orang-orang tertarik untuk mencoba. Apalagi di lingkungan dekat kampus yang sasaran utamanya mahasiswa. Nama Kafe Kafe yang unik juga diiringi dengan interior kafe yang menarik, seperti berteriak-teriak kepada cewek-cewek pecinta I*******m, “Ayo foto di sudut ini!” atau semacamnya. Ada tema musim gugur di satu sisi ruangan, lengkap dengan dedaunan dan rumput-rumput yang mulai menguning. Bahkan ada lampu sorot berwarna kekuningan yang mengarah ke sudut itu sehingga suasananya khas sendu musim gugur. Di sisi lain, ada tembok dan pintu warna-warni seperti yang sering ditemukan di tempat wisata bergaya Belanda. Tambaha
Untungnya, Dhika sampai di kelas sebelum Pak Rodi tiba. Sebenarnya nyaris terjadi malapetaka karena cowok itu berlari begitu kencang dari perpustakaan dan dia nyaris menabrak meja dosen karena berhenti mendadak. Momentumnya bisa dipastikan sangat kuat dalam kecepatan berlari penuh seperti itu. Di saat yang sama, Pak Rodi melangkah santai melewati ambang pintu. Mata tajam di balik kacamata bergagang hitam milik dosennya menatap Dhika heran. Apa yang dilakukan anak ini di depan meja saya? Kira-kira seperti itulah pikiran yang terlintas di kepala Pak Rodi. Dhika, being Dhika, one of the favs dengan segala privilege yang menyertainya, hanya tersenyum canggung. “Saya anxious Bapak belum datang, jadi nggak bisa diam aja di meja.” Untungnya, Pak Rodi tidak langsung menatap wajah setengah penghuni kelas yang menahan tawa (setengahnya lagi masih setengah sadar, mungkin baru bangun tidur siang). Smooth one, Dhik, b
Perpustakaan Universitas Aditama tampak seperti ada dalam dunia Harry Potter. Tentu saja, mungkin hanya Dhika dan beberapa kutu buku lainnya yang berpikir seperti itu. Murid-murid lain mungkin bisa membayangkan versi mini dan lebih sederhana dari Magdalen College Old Library, Oxford University, namun dengan jumlah buku yang jauh lebih sedikit dan minus manuskrip tua yang terbit sebelum tahun 1800an. Sehebat dan secinta apa pun Dhika pada perpustakaan kampusnya, memang tidak ada yang bisa menyaingi permata mahkota perpustakaan dunia tersebut –juga perpustakaan Hogwarts, karena omong-omong, tidak ada restricted section yang keren atau The Monster Book of Monsters yang bisa menggigit sungguhan di tempat ini.Hari ini, ada dua jam kosong sebelum kelas terakhir Dhika dimulai. Biasanya cowok itu akan hang out bersama Putra di taman kampus atau sekretariat himpunannya. Namun siang ini Putra pergi bersama Nana entah kemana. Sejujurnya Dhika ingin bertanya kema
“Sial.” Cassie mengumpat pelan. Setelah kejadian tidak mengenakkan sebelumnya, muncul satu kesialan lagi yang mengiringi malam cewek itu. Ditendangnya ban depan mobil dengan sepatu hak tingginya yang berwarna putih polos. Double sial, karena sekarang ada noda hitam jelek di sana. Bisa-bisanya kesialan seperti ini terjadi di malam hari. Saat mobilnya mogok mendadak dan mesinnya tidak bisa dihidupkan, Cassie keluar dari bangku pengemudi dan memeriksa apa yang salah. Sayangnya, cewek itu useless dalam hal mesin mobil. Bukannya dia pernah belajar formal terkait mesin mobil atau semacamnya, kan? Cassie terlalu sibuk untuk mempelajari hal yang bisa dikerjakan orang lain seperti memperbaiki mesin mobil. Buat apa ada bengkel kalau kita bisa memperbaiki mobil sendiri? Bukankah hal itu lebih terdengar seperti mengambil pekerjaan para montir? Cassie merasa dosanya sudah cukup banyak. Dia harus membatasinya sekarang selagi masih sadar diri. Cassie lelah