Share

Section : 4 ㅡ Logical Fallacy

“Jadi ini orang yang ngatain gue berhasil masuk Laude Class karena campur tangan bokap? Main kotor, ya?” 

“Yoi, Bos!”

Lokasinya terletak di gedung timur Caldera High School, kelas XII/C.4, kelas murid biasa, kelas yang dihuni murid – murid peringkat bawah. Seharusnya tidak menjadi tempat kakinya berpijak, apalagi sekedar mengurusi sampah yang dengan bodoh mencampuri urusannya. Lagipula, siapa yang tidak tersinggung difitnah demikian?

Aska mengambil duduk di meja Davin. Almamaternya ditinggalkan di kelas, menyisakan kemeja putih tanpa atribut yang kedua lengannya digulung dua kali. “Ngomong depan gue langsung kalau berani.”

Siapapun pasti akan terintimidasi dengan tatapan tajam Aska. Termasuk Davin, yang hanya bergeming di tempatnya. Mengalihkan pandang ke tangannya yang mengepal di bawah meja.

“Mental banci!” 

Aska menjejak kasar tubuh bagian atas Davin. Decit meja dan kursi yang bergeser sontak membuat murid perempuan memekik. Disusul derak tubuh Davin yang jatuh ke lantai. Aska turun dari meja, menarik kerah kemeja Davin, memaksanya berdiri.

 “Bangun lo!”

Satu bogeman mentah dilayangkan Aska. Mendarat sempurna di rahang kiri Davin sampai sudut bibirnya terlihat robek, tak lama kemudian mengeluarkan darah segar. 

Tapi sekali ini, Davin malah menyeringai, mengabaikan perih dan denyut di rahangnya. “Gue pikir, setelah jadi murid kehormatan, lo bakal berubah jadi lebih baik.” Ia menggeleng pelan. “Ternyata makin parah.”

Bugh!

Aska melayangkan kepalan tangan untuk kedua kalinya. Bedanya sekarang mendarat di rahang kanan Davin, juga jauh lebih keras. Hingga Davin terpelanting, tubuhnya menabrak meja, dan terdorong beberapa centimeter.

“Gue pikir, setelah turun ke kelas C, lo bakal tahu diri. Ternyata makin belagu,” sindir Aska mengulang gaya bicara Davin sebelumnya. 

Dada Davin bergemuruh mendengar itu. Tangannya yang mengepal dipukulkan ke meja tempatnya mendarat, lalu bangkit dengan kilat amarah yang kentara di kedua matanya.

“Lo bukan penguasa, Ka, sekalipun sekolah ini punya lo. Cara lo kotor!”

Davin mengumpulkan keberanian di kepalan tangannya, balik menghajar Aska. Melayangkan pukulan sampai lawannya jatuh dari meja. 

“Lo bukan orang paling jenius disini!”

Davin tidak melepaskan Aska dari cengkramannya. Balas memberi pukulan bertubi – tubi, membabi buta, tak peduli dengan perlawanan yang dilakukan Aska. 

“Lo memanipulasi seluruh murid kelas A!”

Tidak ada yang berani melerai mereka. Seluruhnya menepi ke tembok kelas, sebagian menonton dari kaca jendela, paling bodoh ada yang malah merekam kejadian itu. Kelas XII/C.4 menjadi sangat kacau.

“Lo cuma pecundang yang berlindung di balik nama Caldera!”

Diantara napas yang tersenggal karena Davin mencengkram kerah leher sampai terasa mencekik, disela tenaga yang masih ada sebelum sepenuhnya lemah, Aska berusaha melepaskan tangan Davin dari lehernya. “Harusnya lo tahu kalau pecundang ini lebih terhormat dari lo!”

Cengkraman tangan Davin mengendur.

Aska menyeringai tipis. “Sampah sampah kaya lo sebenarnya nggak pantes dipertahanin! Bersyukur lo masih bisa sekolah disini! Berterima kasih karena Caldera masih nampung lo! Anggap aja bentuk belas kasihan kami karena kalian udah mau diperas!”

“Brengsek!” 

“Davin!” Seruan Darren mencegah pergerakan tangan Davin yang belum puas membalas Aska.

Disusul ketukan teratur dari pantofel yang sangat dia hafali siapa pemiliknya. Davin akhirnya menurunkan tangan, urung memukuli si putra Direktur, pun menyingkir dari tubuh Aska.

“Ke ruang BK sekarang!” 

****

Terhitung ini kali pertama Kiara menapakkan kaki di gedung sayap timur setelah dirinya ditempatkan di Laude Class. Jika bukan karena buku catatan yang tertinggal di kelas sebelumnya, ia juga tidak mau mengunjungi tempat yang digadang – gadang berubah suram setelah ujian penempatan.

Kaki jenjang yang dibalut kaos kaki putih selutut itu melangkah cepat menuruni tangga. Berpegangan pada palang besi, melewati belokan demi belokan, sampai—

“Astaga!”

—Kiara dikejutkan dengan seorang lain yang datang dari bawah. 

Gadis yang rambutnya diikat menyerupai ekor kuda itu mengatur napasnya sejenak dari keterkejutan. Beruntung karena kakinya punya rem yang pakem sehingga tidak perlu ada adegan bertabrakan yang klise seperti di sinetron.

Sesudah napasnya teratur, Kiara mengangkat wajah. Menatap cowok yang juga mematung melihatnya. Wajah yang dipenuhi luka lebam keunguan dan bercak darah itu membuat Kiara bergidik ngilu. Sekilas mengingat, bahwa cowok ini cukup familiar di matanya.

Sebaiknya Kiara menghindar. “M-maaf, gue buru – buru.”

Gadis itu ingin berlari secepat mungkin jika saja tangan besar itu tidak mencegahnya pergi.

“Gue berhutang sama lo, Kiara.”

Kiara tersentak sedikit. Kakinya melangkah mundur, kembali bersitatap dengan si penguasa sekolah, Aska Regantara. “Lo tahu nama gue?”

“Bukannya kita pernah ketemu?” Aska menaikkan satu alisnya.

Si gadis menelan ludah kasar. “Dikelas, ‘kan? Nah iya! Lo yang bangkunya di belakang gue.”

“Gue rasa ditempat lain.”

“Nggak tuh.” Kiara beralibi. “Mungkin lo lihat gue waktu MOS atau—“

“Tahun baru di pantai.” Aska menegaskan. “Nggak usah sok lupa. Gue bisa hafal wajah siapapun dalam sekali pandang. Dan gue nggak mungkin salah ngenalin lo sebagai Kiara yang nolongin gue waktu itu.”

Sial sial!

Kiara menarik tangannya. Kemudian menggaruk tengkuk yang sama sekali tidak gatal. “Ya, lo berhutang sama gue. Jadi, gue harus—“

“Lo harus bantuin gue lagi,” potong Aska. “Gue udah berhutang sama lo, jadi kenapa nggak berhutang lagi?”

“Gue harus pergi.”

“Obatin luka gue.”

Kedua kalimat itu jelas berlawanan.

“Gue nggak punya waktu buat—“

“Gue nggak nanya.”

“Bisa nggak jangan potong ucapan gue dulu?!”

“Nggak.”

Kiara mencelos tak percaya. “Dengerin gue—“ Gadis itu tidak bisa melanjutkan ucapannya sendiri karena tatapan tajam Aska. Semuanya sangat mendominasi. Dimulai dari caranya menatap lawan bicara, vokalnya yang datar dan selalu akurat, dan sikap menyebalkan yang membuat siapapun jengkel. Semuanya memiliki poin sendiri.

“Oke. Gue bakal obatin luka lo, tapi setelah gue ambil buku gue.”

Ganti Aska yang mengerutkan kening. “Buku lo, dimana?”

“Kelas D. Kelas gue yang dulu.”

“Gue ambilin, tunggu gue di UKS.”

Kalimat itu justru terdengar aneh di telinga Kiara. “Nggak mau. Ntar sekelas pada takut sama lo.”

“Peduli apa lo sama mereka?”

“Mereka temen – temen gue. Jelas gue peduli lah! Gue nggak suka lihat mereka diusik sama berandal biang onar kaya lo!”

Aska tersinggung. Ia maju selangkah, mendesak Kiara untuk mundur sampai punggungnya menabrak palang besi pagar tangga. “Udah kenal berapa tahun sampai lo bisa menilai gue kaya gitu?”

Kiara mengerjap. Menahan napas saat aroma nikotin menyeruak dari tubuh cowok itu. Jangankan setahun, seharipun Kiara tak mau terlibat dengan Aska. “Bukan cuma gue yang bilang gitu.”

“Terus lo ngikut mereka?”

“Gue cuma ngikutin apa yang mau gue denger.”

“Meskipun itu salah?”

Kiara diam tak berkutik.

“Itu berarti lo nggak punya pendirian. Harusnya lo ngikut apa yang menurut lo bener, bukan apa yang mereka bilang. Kalau persepsi mereka salah, seenggaknya lo punya pendirian yang nunjukin kalau yang lo lakuin itu benar.”

Entah kenapa, Kiara pikir kalimatnya tidak sesederhana itu.

“Jangan jadi pengikut, disini lo dilatih jadi pemimpin.”

Satu kalimat itu terakhir Aska ucapkan sebelum akhirnya pergi kembali ke lantai bawah untuk mengambilkan buku catatan milik Kiara. Sementara si gadis masih mematung di tempat. Tidak tahu. Antara telak, kagum dengan mindset Aska, atau debaran jantung yang menggila saat sepasang netra gelap itu menatapnya.

****

Pertengkaran murid selalu berakhir di ruang BK. Begitupun Darren dan Davin. Sementara Aska sudah diminta mengobati lukanya –padahal Davin juga terluka.

Namanya Bu Anneth. Guru BK berwajah judes itu menyilangkan tangan di depan dada, mengetuk – ngetuk telunjuknya, menatap kedua murid paling aktif di ekstrakurikuler basket yang duduk di hadapannya ini dengan alis menukik. Siap menghakimi atas kejadian tadi.

“Bu, semua orang tahu kalau Aska yang memulai!” bela Davin. Kepalanya menoleh menatap Darren di sebelahnya. “Lo sendiri lihat, kan, Ren?”

Darren rasa menjawab pertanyaan mudah ini bakal jauh lebih sulit ketimbang menggarap puluhan soal kimia jika Bu Anneth berada disana. Butuh beberapa detik baginya untuk berpikir, sampai akhirnya menjawab, “Gue baru dateng waktu lo mukulin Aska.”

Deg.

“Tidak perlu membela, Davin, tetap kamu yang akan disalahkan,” ucap Bu Anneth kelewat santai.

Davin mencelos. 

“Hukumanmu menjadi dua kali lipat karena kamu harus menanggung hukuman Aska. Yaitu, skors dua minggu dan selama masa skors kamu harus membuat proposal yang membuat kami yakin untuk mempertahankanmu di sekolah ini.”

“Bu, ini nggak adil. Aska yang mukul saya duluan. Dia menjatuhkan harga diri saya.” Davin bersikeras membela.

“Tidak perlu membela diri, Davin. Itu hanya akan memberatkan hukumanmu,” tegas Bu Anneth. “Kami tidak bisa menyalahkan murid kelas kehormatan karena potensi mereka sangat menguntungkan bagi Caldera.”

Kini giliran Darren yang angkat bicara. “Tapi ini menyalahi asas pancasila dan hak asasi, Bu. Kami berhak mendapat perlakuan yang sama tanpa dibeda-bedakan kualitas diri atau pangkat sosial.”

Bu Anneth tersenyum tipis. “Siswa kehormatan mengingatkan keadilan dan hak asasi?”

Kalimat itu jelas menyinggung.

“Jangan bersikap defensif, Bu. Disini kami sama – sama belajar buat masa depan yang lebih baik. Potensi setiap orang berbeda – beda, nggak bisa disamaratakan apalagi ditekankan untuk—“

“Bukankah itu tujuan sistem beasiswa? Kami menyamaratakan kemampuan setiap murid agar punya masa depan yang jelas dan terarah. Diharapkan alumni Caldera High School mampu menempuh perguruan tinggi terbaik di negara ini.”

What the actually fuck up.

“Bu, kami—“

“Udahlah, Ren. Lo nggak perlu belain gue,” ucap Davin pasrah. “Karena lo sama pecundangnya kaya Aska.”

“Apa?” Darren berdiri.

“Kita kenal nggak cuma setahun dua tahun, tapi bertahun – tahun, gue hafal sifat lo. Gue tahu lo cuma cari muka biar track record lo sempurna! Gue tahu lo cuma pecundang yang nyari aman! Lo nggak bisa belain gue sekalipun lo tahu kalau gue nggak salah!”

“Gue nggak ngerti satupun kalimat lo, Dav.”

“Karena murid kehormatan nggak akan ngotorin catatan nilainya sendiri, ‘kan? Semuanya harus terlihat sempurna! Supaya kesempurnaan itu bisa jatuhin murid biasa kaya gue dengan mudah!”

“Dav!” Belum sempat Darren menyangkal, Darren lebih dahulu pergi setelah sengaja menabrakkan bahu dengannya. Otomatis dirinya menyusul, meninggalkan Bu Anneth di ruangan itu sendirian.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status