Share

Section : 5 - Gold, Genius, Gifted

****

Prak!

Dari kursi yang biasa diduduki perawat, Kiara tersentak dengan suara buku tebal yang dibanting ke atas meja di hadapannya. Wajahnya segera terangkat menghadap si tersangka. “Gue nggak berterimakasih.”

Kalimat itu membawa dialog malam tahun baru.

Aska hanya mengawasi pergerakan Kiara dengan wajah datar. “Sekarang tugas lo.”

“Iya iyaaa,” sahut Kiara malas. Jemarinya bergerak menarik kotak P3K dan membawanya ke bangsal UKS. Sementara Aska mengekor di belakangnya. “Lo habis ngapain, sih, bisa babak belur kaya gitu?”

Sebelum cowok itu berniat menjawab, Kiara buru – buru menyela, “Oh iya, lo nggak bahas masalah pribadi ke orang asing, ‘kan? Maaf maaf.”

Sekali lagi Aska melayangkan death glare-nya pada cewek cerewet yang gemar sekali mencampuri urusannya ini. Sementara tangannya merogoh ponsel berlogo Apple keluaran terbaru di saku almamater, mengulurkannya pada cewek itu. “Gue minta nomor lo.”

Kiara yang sebelumnya berusaha membuka kotak P3K lantas mematung. Napasnya terhenti dalam sedetik. “Gue nggak salah denger?” Tapi laki – laki itu berdecak, seolah mengatakan bahwa Kiara tidak perlu basa basi. “Maksudnya, buat apa?”

“Buat minta pertanggungjawaban semisal habis ini gue makin infeksi setelah diobatin sama lo.”

Gadis itu sempat terperangah sebentar, kemudian mendengus menerima ponsel Aska, dan mengetikkan digit nomor secara asal.

Aska memperhatikan. “Lulus atau nggaknya lo di Caldera, tergantung sama nomor yang lo ketik. Jadi, pastiin yang lo masukin adalah nomor asli.”

Netra coklat gelapnya bertubrukan dengan milik Aska. “Bilang aja mau minta nomor gue. Nggak perlu ngancem kaya gitu juga kali.” Jemari lentiknya bergerak mengetikkan nomor, kali ini nomor yang benar. “Nih.”

Sebuah senyum miring tersungging apik di wajah tegas Aska sembari menerima uluran ponselnya kembali. Baru setelah itu memposisikan diri untuk duduk di hadapan Kiara. Hening terjadi beberapa saat. Dimanfaatkan Aska untuk memperhatikan lihainya Kiara mengambil kapas dan membersihkan lukanya.

Aska berjengit saat antiseptik itu menyentuh sudut bibirnya yang robek. Wajahnya dimundurkan sedikit, menghindari sentuhan obat itu.

Melihat itu, lantas Kiara terkekeh pelan. “Bukan cowok sok kuat lagi, hah?”

“Lo kasar banget ngobatinnya.” Cowok itu mengalihkan padang.

“Perasaan pelan, deh.”

“Gue yang ngerasain.”

“Iya iya, maaf.” Kiara meletakkan kapas bekas di wadah kotor. Beralih mengambil kapas baru dan memberinya cairan antiseptik lagi. “Pelipis lo kayanya kebentur, tuh.”

Aska pun merasakan denyut perih di bagian itu. Tepat di sebelah alis kirinya. Akan tetapi saat Kiara hendak mengobati, dia segera menepisnya. “Nggak usah.”

“Nanti bisa infeksi, Ka.”

“Gue bilang enggak ya enggak usah!”

“Gue bilang nanti bisa infeksi!” Kiara menyibak rambut depan cowok itu dengan jemarinya. Kemudian langsung terdiam dengan gurat luka yang memotong alis kiri Aska. Tampak seperti bekas jahitan.

Dengan jarak kurang dari 15 cm, Aska bisa melihat wajah polos tanpa riasan kecuali bedak tabur yang tampak menumpuk di alis dan ujung hidung. Bulu mata yang lentik itu berkedip lucu, seolah memamerkan manik coklat terang yang memperhatikannya lurus – lurus. Tak kurang dari tiga detik, Aska segera menampik tangan manis yang masih bertengger di kepalanya.

“Gue obatin sendiri.” Aska mengambil alih kapas di tangan Kiara, mengobati lukanya sendiri, sembari mengaca pada ponsel yang dimatikan.

Kiara amat penasaran dengan luka itu, tapi ia tidak berani bertanya. Hanya memandang tanpa suara. Terkadang mengerjap untuk sadar dari wajah yang terpahat sempurna itu. Tapi semakin diperhatikan, semakin banyak bekas luka disana.

Irisnya turun ke pergelangan tangan kekar laki – laki itu. Terdapat gurat – gurat memanjang. Kiara tidak bisa menahan rasa penasarannya lagi. Diraihnya tangan telapak tangan besar itu, menyingsingkan lengan almamater Aska, mengabaikan protes yang diutarakan.

Guratan itu lebih mengotori lengannya. Nyaris separuh lengan bawahnya digores. Kiara terperangah. “Seberat apa, sih, beban hidup lo?!”

“Bukan urusan lo!” Aska menyentak lepas tangannya. Menggeser tubuhnya sedikit menjauh dari gadis resek itu.

“Sekalipun bukan urusan gue, selfharm jelas bukan solusi, Ka ... Dan waktu itu lo coba —ck ah! Lo pikir, mati perkara gampang?”

“Seenggaknya gue bisa lepas dari beban dunia.”

“Lo pinter tapi bodoh, ya. Bodoh banget berpikiran sedangkal itu!” Kiara tak berpikir apapun saat ia mengkritik cowok paling berpengaruh di sekolah.

“Lo nggak ngerti apapun.” Aska beranjak, meninggalkan Kiara, dan mungkin juga meninggalkan ruangan berbau obat – obatan itu.

“Pantesan lo jadi berandal. Nggak mau denger orang lain, sih.”

Yang satu itu, Aska tersinggung. “Hak gue dibatasi oleh hak orang lain. Gue rasa itu cukup bikin lo berhenti menilai gue,” tegasnya. Kemudian berlalu begitu saja tanpa menoleh ataupun melirik Kiara lagi.

Kelopak yang dihiasi bulu mata lentik itu mengerjap beberapa kali. Sesaat langsung sadar bahwa Aska masih belum selesai diobati. Masih ada plester yang belum ditempelkan.

“Aska tungguin!”

****

“Dav!” Terhitung sudah puluhan kali Darren berseru memanggil namanya, namun selalu saja diabaikan. “Dav, jangan salah paham dulu. Gue—“

Davin menghentikan langkah tepat di hadapan papan pengumuman gedung utama. Memutar tubuhnya, menghadap Darren. “Lo puas, ‘kan? Setelah berhasil masuk ke kelas kehormatan, kalian kembali sekongkol buat jatuhin gue.”

“Lo salah, Dav ....” Darren masih berusaha membela.

“Iya, gue yang salah. Salah bergaul sama orang elite kaya kalian!” Baru sekarang Davin menyadari bahwa dirinya tidak sama dengan murid kehormatan. “Kalian dapet fasilitas penuh, kebal hukuman, dibangga – banggakan! Terus gimana sama murid biasa kaya gue, Ren? Harga diri kita diinjak – injak.”

“Gue nggak berpikir kaya gitu tentang murid biasa. Kita semua sama di hadapan hukum.”

“Tapi kita sama – sama tau, sistem di Caldera berbeda. Disini menganut teori seleksi alam. Dia yang kuat, maka dia yang bertahan. Sedangkan yang lemah, dia akan mati. Kalau lo lupa, temen kita korbannya, Ren. Elgara.”

Oh Tuhan, mengingat nama itu, Darren tak bisa berkata apapun lagi. Elgara. Murid kebanggaan yang pernah menyandang predikat sebagai urutan kedua pemeringkatan paralel, namun memutuskan untuk mengakhiri hidupnya karena tidak mampu beradaptasi dengan sistem Caldera.

“Gue juga salah berpikir kalau lo satu – satunya orang yang memihak gue. Ternyata lo egois.” Bahkan Davin tidak tahu siapa yang dihadapinya kali ini. Benar Darren, atau mungkin kepribadiannya yang lain. Tapi Davin tidak mempedulikan hal tersebut.

Davin melepas kontak mata dengan Darren, begitu ia berbalik kembali ke langkahnya, sepasang maniknya justru bersitemu dengan laki – laki yang wajahnya sama babak belur. Penuh lebam, bedanya ia telah sempat diobati.

Dan sebuah seringai menjengkelkan dari sudut bibir berdarah lawannya itu, Davin mengepalkan tangan sekuat tenaga. Ingin hati menghajar sekali lagi, jika saja logika tidak mendominasinya untuk berpikir rasional agar tidak menimbulkan masalah lain.

“Gold, Genius, Gifted.” Aska menyebutkan kriteria murid kelas kehormatan. “Sekarang gue tahu kenapa lo nggak berhasil masuk kelas kehormatan. Karena orang terhormat, bukan orang yang berpikiran sempit.”

“Gue nggak perlu jadi yang terhormat. Kami cuma mau dihormati layaknya manusia, meskipun dari kalangan biasa.” Kalimat itu mungkin cukup untuk membungkam Aska. Davin pun tak berminat mendengar balasan lagi. Kemudian ia mengayun kaki, melanjutkan langkah yang sebelumnya sempat tertunda.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status