Pagi itu, Zhura membuka pejaman mata ketika sinar matahari menembus ke balik kelopaknya. Ia mengangkat sebelah tangan ke atas untuk menghalau silau. Tak lagi ada harapan untuk kembali terlelap, gadis itu memutuskan bangkit dan mengambil kesadarannya. Zhura mematung memperhatikan selimut putih yang membungkus separuh badannya. Dilihat dari segi apapun, itu bukan selimut yang biasa menemaninya tidur. Dengan wajah panik segera ia berdiri dan menemukan kenyataan bahwa kamar tidur ini bukanlah kamarnya."Di mana aku?!"Ditatapnya penjuru ruangan kamar yang luasnya hingga puluhan meter tersebut. Kemudian kilasan kejadian kemarin mulai tergapai dan menimbulkan keheranan di batin Zhura. Bagaimana bisa ia berakhir di dalam kamar, sedangkan ruang baca Azhara adalah tempat terakhir yang ia lihat sebelum jatuh tertidur. Fakta bahwa ia hanya bersama dengan gurunya itu menamparnya telak. Apakah Zhura sungguh berjalan sendiri atau Azhara yang membawanya ke kamar ini? Sungguh pagi yang menyenangkan,
Kapas putih di atas cakrawala mangkir, membuat langit biru tak berujung memancarkan terik dari sang raja siang. Sementara para penonton menempatkan diri di podium-podium yang disiapkan, para gadis suci berbaris di tengah lapangan gersang seluas mata memandang. Situasinya hampir seperti saat ritual pengorbanan, hanya saja kali ini mereka sudah berpangkat sebagai gadis suci dan tanah lapang yang mengering akibat pergantian musim. Zhura berdiri di barisannya, angin sejuk bertiup ketika ia menatap podium tempat seorang pemuda duduk dengan wajah datar.Seperti biasa, pemuda perak itu memakai pakaian putih khasnya. Dilihat dari wajah Azhara, Zhura menyimpulkan bahwa pemuda itu datang sebagai formalitas semata. Semakin lama menatapnya, semakin banyak juga perasaan lain datang. Mengingat kejadian kemarin membuat wajah Zhura merah seakan direbus. Bahkan saat matahari bersinar begitu menusuknya, Zhura sadar betul apa yang membuat pipinya memanas. Kenyataan bahwa ia tidur di tempat Azhara menjad
Sinar hangat mentari terjun ke wajahnya yang diterpa kekosongan. Rautnya pergi seakan sudah terlalu penat untuk mengutarakan apa yang sebenarnya sang pemilik rasakan. Di antara ilalang, Zhura berdiri bersama kesendirian merasakan semilir angin sore. Evaluasi bulanan yang ia kira akan berjalan lancar, justru berakhir kacau bagi dirinya. Tidak ada harapan atau pun kekecewaan, Zhura hanya merasakan kebingungan tentang siapa sebenarnya sosok pemuda berambut hitam itu. Tidak peduli seberapa besar ia berusaha mengabaikannya, wajah familiar itu terus teringat dengan jelas. Dia menatap tempat anak panahnya tadi menancap. Sekarang anak panahnya sudah diambil, kini hanya jejaknya yang tertinggal. Penilaian itu bukanlah hal penting baginya, tapi saat tahu kalau ia gagal karena gangguan tak masuk akal lekas saja membuat Zhura tidak nyaman. Lagipula, wajah sosok itu yang sangat mirip dengan Azhara terasa bak mimpi buruk di siang hari. Mungkin saja itu terjadi karena Zhura terlalu banyak memikirka
Balai tengah yang megah itu kini dipenuhi banyak orang berpakaian mewah serta atribut khas bangsawan. Para tamu itu sibuk berbincang membicarakan bisnis, politik atau bahkan tak sedikit yang segan membicarakan masalah perjodohan anak-anaknya. Semua orang tampak agung, tentunya mereka sengaja membuat penampilannya tanpa celah agar dipanggil seperti itu.Zhura memeriksa penampilannya sendiri, lalu melanjutkan langkahnya masuk ke dalam balai. Orang-orang bermata elang langsung saja menatapnya begitu lengket saat menyadari dengan siapa ia datang."Jika kau bertindak sembarangan, siap-siap saja untuk hukuman," ujar Azhara. Suara pemuda itu terdengar lirih tapi tajam."Hm." Zhura mengepalkan tangannya menahan emosi, tak adanya pilihan lain membuatnya harus mengekori Azhara sehingga ia bisa mendapat tempat terbaik untuk bertatap muka dengan orang-orang. Segera setelah gadis itu mendapatkan tempat duduknya, Azhara berlalu dan menempatkan dirinya bersama yang lain. Gong dipukul sembilan kali.
"Apa ... maumu?" tanya Zhura bersama rintihan. Kerikil kecil yang memenuhi jalanan menusuk kakinya membuat ia kesakitan.Sosok yang menahan tangannya merespon, "Menyerahlah atau Azhara akan hancur." Tawa pecah dari bibir Zhura. "Kau begitu percaya diri, sekuat apa kau hingga berani menantang guruku?" Zhura tidak paham pada konsep menyerah di sini. Apa yang sudah ia lakukan hingga ada begitu banyak orang yang ingin membunuhnya?"Aku tidak bilang akan menghancurkan dia dengan tanganku. Aku akan membuat dia hancur lewat dirinya sendiri. Kau tahu, roh jahat itu, 'kan? Yang kulihat kau sangat peduli padanya. Jadi, serahkan saja dirimu."Seorang yang tersesat bukan berarti tak memiliki jalan pulang, terkadang ia harus melewati sisi lain jalanan atau bahkan mengelilingi dunia untuk bisa kembali ke rumah. Sejauh apapun itu akan Zhura tempuh, sesulit apapun itu akan Zhura lakukan. Jika itu berarti ia bisa pulang, berapa pun luka akan ia tanggung sakitnya."Dalam mimpimu!" Ia berbalik, menenda
"Anggur! Anggur! Anggur!"Di pagi hari, Zhura terbangun dari tidurnya saat ia mendengar teriakan yang familiar. Dengan antusias, gadis itu melupakan rasa sakit di tubuhnya Dany. bangkit dari pembaringan. Dilihatnya seekor burung putih terbang keluar dari kamarnya. Dengan kepakan sayapnya yang lincah, Zhura hanya bisa melihat dari pintu ruangan ketika makhluk itu pergi menjauh."Kenapa Rou-rou bisa kemari?" pikir Zhura seraya kembali ke kamar. Ia membuka jendela lebar-lebar untuk menghirup udara segar setelah semalaman suntuk memulihkan diri dengan beristirahat. Kejadian kemarin sungguh tidak terduga, itu bukan pertama kalinya ia diserang membuat satu sinyal ancaman Zhura bangkit. Beruntung ada Ranzak yang datang menyelamatkannya, jika tidak, maka sekarang Zhura pasti sudah jadi abu.Kernyitan datang ketika ia melihat sesuatu di atas nakas. Sebuah mangkuk mengkilap dengan sup kentang yang mengeluarkan uap hangat ada di sana. Makanan itu tampaknya diletakkan ketika Zhura masih terlel
"Jika tidak melihatnya sendiri, saya tidak akan percaya jika cangkir teh ini dipenuhi racun. Saya sangat heran, siapa sebenarnya Nona Lailla hingga banyak sekali orang yang ingin mencelakainya?" Dengan wajah tak habis pikir, Tusk meletakkan cangkir kosong itu kembali ke atas meja."Ini mengerikan. Aku akan memanggil Lailla ke sini untuk meminta penjelasan," timpal Pak Dima."Tidak perlu." Azhara mengangkat sebelah tangannya, menahan niatan pria paruh baya yang juga seorang jenderal itu untuk keluar dari ruang pertemuan. Pak Dima tampaknya tidak setuju. "Yang Mulia, racun ini memenuhi hampir setengah isi gelasnya. Lailla adalah gadis suci yang sudah mempelajari hal mendasar tentang racun dan penawarnya. Aku yakin dia sadar kalau ini termasuk tindak kriminal. Menyembunyikan peristiwa ini bisa membuatnya lebih dalam masalah."Azhara meraih cangkir kosong itu ke dalam genggaman, ditatapnya dengan tajam. Ada aroma pahit yang menyengat ketika ia mendekatkan hidungnya ke benda itu. "Lailla
Dengan perasaan campur aduk, Azhara terjaga dari tidur. Ia menatap langit-langit kamar yang mengabur akibat air mata yang tergenang. Lagi-lagi seperti ini, tak peduli apa yang akan ia mimpikan, kesedihan selalu menghampirinya. Azhara muak, pikiran dan tubuhnya terasa letih setiap kali dirinya bangun tidur. Jika bisa memilih, ia tidak ingin bangun sama sekali daripada harus merasakan beban seperti sekarang."Guru! Guru! Guru!"Suara seseorang terdengar, Azhara sontak duduk dan membersihkan air matanya. Ia merengut ketika melihat Zhura berlari tergopoh-gopoh masuk kamarnya."Guru, Lailla punya berita gembira!" ujar gadis itu berdiri di sisi ranjang."Siapa yang mengizinkan kau masuk ke sini?" tanya Azhara seraya merapikan jubah tidurnya. Setelah itu, ia melirik gadis di hadapannya dengan dingin, "Di mana seragammu? Mau apa kau kemari?"Zhura mengumbar senyum, menatap pakaiannya sendiri. "Hari ini adalah hari bebas, jadi tidak ada latihan. Ah, daripada itu aku punya kabar baik untukmu! K