Share

5. Memories

Ketika Sean dan Icha bersamaan menggebrak meja, Sean mendengar suara orang terjatuh dan melihat Bian terduduk sambil menundukkan kepalanya. Tanpa pikir panjang Sean bergegas menghampiri Bian tanpa memperdulikan panggilan dari Ayahnya yang terdengar setengah berteriak.

Bian melihat Sean menghampirinya, biasanya ia akan menghampiri Sean dengan senang dan memeluknya, tapi tidak kali ini, wajahnya yang merah, belum lagi make up nya yang luntur karena menangis membuatnya memilih untuk berlari menghindari Sean. Untungnya lift berpihak kepadanya, sebelum Sean sempat menghampirinya, pintu lift sudah tertutup yang membuat Sean harus menunggu lift berikutnya. Setelah sampai di lobby Bian langsung berlari keluar hotel dan mencari taksi yang lewat. Tidak berapa lama, sebuah taksi berhenti tepat di depannya. Ia langsung masuk dan menutup pintu mobilnya. Sean melihat taksi yang Bian naiki berjalan menjauh dari hotel.

Selama hampir satu minggu Sean berkali-kali menghubungi Bian. Namun tak ada jawaban dari Bian sama sekali. Ratusan chat di berbagai sosial media Bian pun tidak dibaca sama sekali.

Harapan terakhir Sean hanyalah cafe tempat Bian selalu mampir. Bian tak banyak mendatangi tempat-tempat nongkrong seperti ini. Ia ingat Bian pernah menyebut cafe ini sebagai favoritnya dan Voilà! There she is. Sean melihat Bian berjalan lesu dengan kepala menunduk kearah cafe itu.

Bian yang melihat sosok Sean sedang duduk di dalam cafe bergegas pergi dari sana. Sayangnya Sean terlanjur melihatnya.

“Bian!”

Sean berhasil meraih pergelangan tangan Bian. Bian terdiam seluruh tubuhnya lemas, ia sangat merindukan Sean, ketika Sean memegang tangannya, menggandengnya, merangkulnya, memeluknya.. tapi ia tak mampu melihat sosok Sean saat ini, sosok yang selalu ia tunggu tak peduli berapa lama waktu yang mereka lalui.

Semua harapannya sirna saat mendengar pembicaraan dua keluarga itu, Sean dijodohkan. Segala bayangannya untuk bisa bersama Sean -teman masa kecilnya yang juuga sahabatnya yang selalu ada untuknya- selamanya pun sirna,

“Bi, kamu denger semuanya?”Sean menarik lengan Bian pelan menghadapkannya tepat di depan matanya. Hatinya sakit melihat mata Bian yang berkaca-kaca, Bian terlihat kacau dengan matanya yang terlihat bengkak.

Mata Sean melihat sekeliling mencari tempat duduk untuk mereka bicara berdua. Ia menarik Bian pelan menuju ke kursi panjang tepat di sebelah cafe yang bertengger manis seperti memang disediakan untuk mereka saat itu.

Sean duduk di lantai tepat di depan Bian yang menunduk sedih.

“Bi, jawab aku, kamu denger semuanya?” Sean mengulangi pertanyaannya. Matanya menatap Bian lembut dan disambut dengan anggukan pelan dari Bian.

“Kamu tahu kan aku sayang sama kamu. Jauh sebelum aku pergi ke Aussie pun, kamu tahu perasaanku.”Sean mengangkat wajah Bian agar bisa melihat wanita yang ia sayangi itu lebih jelas.

Mata Bian yang mulanya berkaca-kaca akhirnya tidak mampu membendung air mata yang menumpuk dan mulai berjatuhan saat melihat sosok Sean di depannya.

“Jangan nangis Bi. Aku nggak akan setuju dengan perjodohan itu apapun yang terjadi.”Tangan Sean dengan lembut menghapus airmata yang terus jatuh dari mata gadis yang ia sayangi itu. Bian melihat Sean di sela matanya yang penuh dengan kesedihan.

“Aku tau kamu pasti bilang begitu. But Sean, you know your Dad. No one can change what he said. Aku nggak mau kamu bertengkar lagi. Just do whatever he want you to do, i’m okay, really”

Setelah mengatakan apa yang ia ingin katakan, airmata kembali berjatuhan dari matanya. Sean memeluk Bian, tubuh kecil Bian bergetar menahan tangis yang semakin deras.

Hatinya sakit melihat Bian, sosok yang sangat ia sayangi selama bertahun-tahun harus menangis karenanya. Apa yang dikatakan Bian memang benar, nggak ada yang bisa melawan apa yang papi mau.

Semua bayangan yang ia gambarkan selama di Aussie, harus hancur karena keputusan dari Ayahnya.

Bayangan hari-harinya bersama Bian yang selalu ia nantikan kini hanya tinggal angin lalu. Ia menyesal dengan keputusannya kembali ke Indonesia.

Tak hanya kebebasan bahkan cinta yang ia perjuangkan bertahun-tahun lamanya harus sirna karena keluarganya.

Sean melihat Bian mulai tenang. Tangisnya mulai berhenti. Ia mengangkat wajah Bian, ia tak bisa berkata-kata. Kembali ia menarik Bian dalam pelukannya.

“Nggak bisa kayak gini. Kebebasan gue udah diambil. Sekarang perjodohan? Hal konyol apalagi ini. Gue nggak mau kehilangan dua hal dalam hidup gue.”batin Sean bergejolak memikirkan segala hal yang ia bisa lakukan untuk menghentikan perjodohan ini.

“Bi, bantu aku ya..”

Bian melihat Sean bingung. “Bantu apa?”

“Bantu aku mikir cara batalin perjodohan ini, Bi. Aku pulang ke Indonesia karena kamu. Bukan untuk perjodohan bodoh ini.” Ucap Sean tegas.

“Hah?” Otak Bian masih belum bisa berpikir secara normal, terlalu banyak kejutan yang ia dapat hari ini.

Sean melihat Bian dalam diam. Memikirkan segala hal yang jahat yang terlintas di pikirannya membuat Sean menggelengkan kepalanya berkali-kali.

Melihat Sean menggelengkan kepalanya berkali-kali Bian tersenyum. Ia memegang wajah Sean dan menatapnya.

“Kuasai perusahaan, Sean. Cuma itu satu-satunya cara kamu menghindari perjodohan. Merger perusahaan dengan embel-embel perjodohan hal yang biasa di kalangan kamu kan”Bian menatap mata Sean yang seketika berbinar.

“Kamu bener!”Sean memeluk Bian sekali lagi. “Tunggu ya, Bi. Tahan sebentar lagi, aku akan kuasain perusahaan lalu kita bisa bersama-sama lagi” ujar Sean sambil mengelus rambut Bian.

                             ***

Dua minggu berlalu setelah pembicaraan mengenai perjodohan itu berakhir. Baik Sean maupun Icha terlalu sibuk untuk memikirkan masalah perjodohan karena merger perusahaan mereka yang semakin mendekati jadwal yang telah ditentukan.

Sean dan Bian mulai bekerja di perusahaan sesuai janji. Keduanya sibuk mengurusi  merger ini, dalam berbagai waktu Icha, Sean bahkan Bian sebagai sekretarisnya ikut dalam pertemuan merger tersebut.

Icha sedang melihat-lihat kembali proposal yang harus ia serahkan hari ini kepada Papanya.

Drrt..Drrt..

Hp Icha bergetar tanda ada telepon masuk. Ia tak terlalu suka nada dering yang hanya akan mengganggu konsentrasinya saat bekerja. ‘Mom’ nama yang tertera di layar hpnya.

Yes, Mom?”

“Cha, temenin mama belanja yuk. Sekalian fitting gaun kamu buat acara pertunangan kamu nanti”

“Fitting? But i’m busy.” Bohong. Icha terlalu enggan mendengar kata fitting. Ia terlalu sibuk sampai-sampai melupakan masalah pertunangannya dengan Sean Hartono. Oh shit.

“Kata papa kamu  cuma perlu ngirim file proposal terakhir. And i know you lie to me” Mama Icha memang sosok yang paling dekat dengannya. Icha menyadari ia tak akan pernah bisa membohongi sosok Ibunya.

“Ugh, when?”Icha menundukkan kepalanya lemas.

Now.Klik.

Telepon ditutup. Icha menyenderkan bahunya ke kursi. Menghela nafas panjang sibuk menatap langit-langit kantornya. What should i do?

Cklek.

“Cha, mama masuk ya..”

Icha melongo. Wanita separuh baya membuka pintu kantornya secara tiba-tiba bahkan sebelum dipersilakan.

Mom, why bother asking, you already in, even when I want to say No.”

Mamanya terkekeh melihat ekspresi Icha yang terkejut. Diana langsung duduk di kursi depan meja bertuliskan “Wakil Direktur – Alesha Widjaja”.

“Cepet siap-siap. Beresin tas kamu, kita pergi.”

Where?”Mulut Icha masih tak percaya dengan perkataan mamanya.

Fitting lah, Alesha.”

Tatapan Mama Icha yang tajam membuat Icha buru-buru mengirim file yang tadi ia kerjakan. Setelah memastikan file terkirim pada orang yang tepat. Ia memasukkan handphone dan segala catatan yang berserakan di mejanya ke dalam tas kantornya.

                             ***

Mobil melaju menuju pusat kota yang dipenuhi gedung-gedung tinggi berderet sepanjang jalan. Pandangan Icha menerawang melihat pemandangan diluar kaca yang dipenuhi anak-anak muda berboncengan menggunakan sepeda motor.

Mereka bercanda sembari menunggu lampu lalu lintas berubah hijau. Icha membayangkan kembali masa-masa ia masih kuliah, Galih saat itu masih belum memiliki mobil. Ia hanya memiliki sepeda motor, sering Icha meminta supirnya untuk tidak menjemput agar ia bisa pergi dengan Galih berboncengan berdua.

Icha tertawa kecil mengingat hal-hal manisnya dengan Galih. Hal-hal sederhana yang rela dilakukannya demi Galih. Ia ingat betapa bahagianya ia waktu itu, meskipun ia tidak bisa hidup semewah sekarang. Icha menundukkan kepalanya, menatap layar handphone-nya. “God, I really want to call him” batin Icha.

Karena terlalu asyik dengan lamunannya, Icha tidak sadar sudah sampai di depan sebuah butik dengan nuansa serba putih dengan pintu berwarna emas menyambut Icha dan mamanya. Icha sempat berhenti sepersekian detik untuk meyakinkan dirinya memasuki butik itu.

Choose wisely, Alesha, you only do this kind of thing once.

Perkataan mamanya membuat ia sekali lagi menghela nafas. Harusnya gue ama Galih, kan so sweet. Icha membayangkan saat-saat spesialnya saat ini adalah antara ia dengan Galih. Pasti ia akan sangat bersemangat memilih gaun-gaun indah ini untuk acara pertunangannya

Mom, acara pertunangannya kapan? Kok udah fitting?”

It’s on Saturday, honey

Icha melongo, berusaha mencerna kata-kata mamanya. Setelah mengejutkan anaknya,  mamanya langsung pergi memilih dress.

Dalam satu hari ini entah berapa kali ia terkejut dengan segala hal yang diucapkan mamanya. Mulai dari acara fitting  dadakan dan sekarang jadwal pertunangan sudah ditentukan. Icha menghela nafasnya sekali lagi dan lagi.

Ia memejamkan matanya sejenak dan menarik nafas dalam-dalam. Saat salah satu pramuniaga menepuk lengannya.

“Silahkan dicoba dress-nya. Mari saya antar ke fitting room.” Icha mengangguk mengikutinya.

Ia mencoba dress yang ia pilih tadi. Bagus, lebih bagus lagi kalau Galih pasangannya. Ugh shit. Can’t even imagine getting married with that little brat.

I’ll take this one.”

Icha berjalan menuju kasir. Matanya berkeliling mencari sosok mamanya yang hilang entah kemana.

“Biar saya yang bayar.”

Suara berat seorang laki-laki mengagetkannya. Sean Hartono tiba-tiba ada dibelakangnya.Ugh Mom.

“Lo ngapain disini?”Tanya Icha cuek.

“Disuruh calon ibu mertua alias nyokap lo nemenin lo fitting baju. Sekalian abis itu temenin gue fitting baju.” Jawab Sean singkat.

“Oh, oke.” Icha mengambil dress yang sudah dibungkus dan bergegas pergi keluar dari butik. Sean yang melihat sosok Icha dari belakang hanya menggelengkan kepalanya. Sok banget, kayak cewek kebanyakan, nggak kayak Bian gue. Cih.

“Buruan, gue mau cepet pulang dan tidur.” Ujar Icha singkat saat ia melihat Sean yang berjalan pelan seraya tebar pesona.

“Iya nona. Tokonya sebelah kanan lo.”Sean menunjuk toko yang dipenuhi dengan jas-jas formal berwarna-warni. Saat Ia melihat Icha memasuki toko, Iapun langsung bergegas masuk sebelum Icha memilihkan jas dengan warna-warna mencolok.

Keduanya tahu bahwa mereka sama-sama tidak saling menyukai satu sama lain. Mulai dari awal pertemuannya, sampai saat-saat dimana mereka harus berkumpul berdua untuk membahas masalah merger perusahaan ataupun saat mereka bertiga dengan Bian tentunya.

Icha menyadari ada sesuatu antara Sean dan sekretarisnya, Bian. Tapi Ia tak mau memperdulikan itu. Icha hanya ingin secepatnya menguasai perusahaan dan membatalkan segala hal tentang pertunangan ini.

Sean pun merasa terlalu banyak perbedaan antara dirinya dan Icha. Ia tak membenci Icha, hanya saja sering waktu saat mereka bertemu perdebatan yang tiada hentinya selalu terjadi sampai saat Bian menghentikan perdebatan itu.

Tentu saja karena Sean hanya akan menuruti perkataan Bian. Bukan karena alasan lain.

Icha berjalan lurus menuju Sean membawa jas berwarna abu-abu yang senada dengan dress yang akan Ia kenakan nantinya.

This one. Gue tau lo benci sama acara ini. Sama gue juga. Tapi seenggaknya kita nggak boleh mempermalukan diri kita di acara yang jelas-jelas bakal diliput media kan?” Sean hanya mengangguk mendengar penjelasan Icha.

Ok, I’ll try it first.

Grey. Not bad. Seenggaknya dia nggak milihin gue jas warna merah atau pink pikirnya. Sean menuju fitting room dan mencoba jas pilihan Icha.

Berkali-kali dia memastikan jasnya cocok di badannya. Setelah 5 menit meyakinkan dirinya, akhirnya Ia memilih jas pilihan Icha. Sean keluar dari fitting room dan melihat Icha sedang memilih-milih jas sambil memegang handphone-nya.

Sean berjalan pelan mendekati Icha sambil berusaha melihat layar handphone Icha. Icha yang keasikan memilih jas pun tak menyadari kehadiran Sean di belakangnya.

Sean lebih tinggi dari Icha meski umur mereka terpaut 3 tahun. Ia melihat foto yang sedari tadi Icha perhatikan saat memilih jas. “Milih jas buat siapa lo?”

Icha terkejut mendengar suara Sean yang begitu dekat. Bocah kurang ajar. Ngagetin gue mulu. Untung jantung gue sehat karena gue rajin olahraga dan gue juga jago bela diri. Awas lo ya. Icha menarik nafas panjang menenangkan detak jantungnya yang berpaju semakin cepat.

“Bukan urusan lo. Lo udah kelar? Bayar ke kasir kalau udah.”Icha kembali dengan kesibukannya memilih jas yang pastinya untuk Galih.

“Nenek lampir.”Batin Sean. Icha melihatnya sekilas seakan mendengar Sean mengatakan sesuatu tapi Ia mengabaikannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status