Share

4. Meeting

   Setelah mendapat kartu nama Sean dari ibunya, Icha mulai mencari tahu tentang Sean semalaman. Tapi ia tak menemukan sesuatu yang spesial ataupun detail selain Sean Hartono anak konglomerat real estate Rudi Hartono yang berhasil lulus dengan nilai terbaik di salah satu kampus Australia.

  Pagi menjelang saat Icha membuka matanya, Icha memutuskan untuk datang ke cafe favoritnya pagi ini karena ia masih harus menyelesaikan proposal yang ia kerjakan untuk proyek merger yang seharusnya dirapatkan minggu ini. Icha masih ingat kata-kata Mamanya kemarin, ‘Icha, meeting-nya diundur minggu depan’. What the hell. “Sampai minggu depan diundur lagi, gue rajam si Sean Hartono itu” batin Icha yang tanpa sadar mematahkan pensil mekanik yang digenggamnya.

“Eh.. atau gue telepon aja ya orangnya? Siapa tahu gue bisa bikin rapatnya dimajuin” gumam Icha. Setelah berdebat dengan dirinya sendiri yang memakan waktu hampir  30 menit, Icha akhirnya mengeluarkan kartu nama yang disimpannya di dalam buku jurnalnya, ia mulai memasukkan nomor Sean Hartono kedalam handphone-nya dan men-dial nomor itu.

Tut.. tut...

“Kurang ajar, sok artis banget ini orang” batin Icha setelah menunggu selama 2 detik dan masih belum diangkat oleh pemilik nomor tersebut.

Nomor yang anda tuju sedang sibuk..

“INI DIREJECT KAN! IYA INI DIREJECT! SIALAN!” umpat Icha yang tanpa sadar berbicara keras dan mengagetkan orang-orang yang sedang nongkrong di cafe itu. Icha meringis dan membungkuk minta maaf sebelum akhirnya duduk kembali dan mengumpat. “Bisa nggak nih gue akur sama makhluk kayak gini, wah merger ini gue harus pasang muka kaya gimana kalo ini orang yang namanya Sean Hartono udah belagu kayak gini” Batin Icha.

   Sementara itu, Sean setelah me-reject nomor yang terlihat asing di handphonenya ternyata sedang uring-uringan setelah menyadari kesalahan kembali ke Indonesia.

“LIKE FOR REAL. SUDAH 3 HARI PAPI NGE BLOKIR SEMUA KARTU KREDIT DAN ATM GUE!” Sean menjerit didalam apartemennya. Ia baru sadar kartu kredit miliknya diblokir saat ia hendak membayar makanan di salah satu restoran fastfood, tetapi seluruh kartunya ditolak. Dan sialnya, Sean sama sekali tidak memiliki uang cash. Dengan terpaksa Sean menelpon Bian dan meminta tolong untuk meminjamkannya uang Bian karena Shawn sedang berada di luar negeri dan seluruh kartunya diblokir. Belum lagi ada nomor tidak dikenal yang menghubunginya, pasti suruhan ayahnya itu yang ada dipikiran Sean. Tanpa pikir panjang Sean langsung memblokir nomor itu. 

You should apologize to your Dad, Sean” Bian membawa nampan berisi sarapan untuk Sean dan dirinya.

   Sudah 3 hari Bian menginap di apartemen Sean, karena Sean tidak mau sendirian saat ia di Indonesia dan ia tidak mau pulang kerumahnya karena masih perang dingin dengan ayahnya. Dan selama tinggal di apartemen hampir seluruh pengeluaran Sean terpaksa memakai kartu kredit Bian, Bian pun tak keberatan entah apa alasannya.

No.. I don’t want to work. Not yet. I still want to spend my time with you” Sean memeluk Bian. Bian menghela nafas. Sean selalu seperti ini ketika Bian memintanya untuk minta maaf kepada orangtuanya.

“Aku nggak bisa terus-terusan sama kamu kan? Aku juga masih harus cari kerja” Ujar Bian. Sean terdiam. “Bener juga, gue nggak bisa gini terus. Gue malu kalau harus minjem uang Bian terus-terusan. Dan gue mau jadi suami macam apa kalau nggak punya penghasilan. Bian bakal kecapekan kerja buat memenuhi kebutuhan keluarga kita” batin Sean.

“Sean?” Bian membuyarkan lamunan Sean yang sudah melantur jauh hingga mereka punya anak. “Makan dulu gih, aku abis ini pergi ya, ada panggilan interview” ujar Bian. Sean mengangguk, lalu mengambil garpu dan pisau yang sudah disiapkan Bian dan memakan pancake dengan saus mapple kesukaannya. Semua masakan Bian terasa enak dimata Sean.

“Kamu udah berapa kali interview?” tanya Sean. Bian memutar bola matanya, mengingat-ingat berapa kali ia menjalani tes pekerjaan.

“Lima kali lebih, tapi aku ditolak terus. Karena tinggi badan aku nih” keluh Bian. Sean tersenyum kecil, lalu mengacak rambut Bian.

“Yaudah, kamu semangat ya. Kamu pasti bisa” Bian tersenyum dan mencium pipi Sean.

Thankyou, Sean” setelah mengucapkan kata itu, Bian beranjak pergi dari apartemen dan meninggalkan Sean sendiri. Setelah berkutat dengan isi pikirannya sendiri, Sean akhirnya mengambil kunci mobilnya dan memutuskan untuk pergi.

                                       ***

I made up my mind”

Great

“Tapi Sean punya beberapa syarat” Ujar Sean.

What is it?”

“Sean mau kerja, kalau Bian jadi sekretaris Sean” Ujar Sean kepada ayahnya.

    Setelah berpikir panjang dan memikirkan masa depannya dan Bian, Sean memutuskan untuk mengesampingkan egonya dan bekerja untuk ayahnya tapi harus sesuai dengan syarat yang ia inginkan. Membuat Bian selalu disisinya.

Deal” Jawab Rudi Hartono tanpa perlu memikirnya hal lainnya. “Kamu mulai kerja besok. Ini kartu nama rekan kamu buat proyek merger. Hari Sabtu Malam kita meeting sama mereka di Sky Pool Bar Cafe Kempinski jam 8 malam.” Sean menaikkan sebelah alisnya. Hanya untuk meeting merger saja harus selebay itu. Perusahaan apa sih yang diincar papi ini.

Okay, pap.” Ucap Sean sambil mengambil kartu nama yang diberikan ayahnya itu.

Melihat nama yang tertera di kartu nama yang diberikan ayahnya barusan, Alesha Widjaja. Nama itu terdengar tidak asing untuk Sean. Tapi persetan dengan Alesha, yang penting sekarang Sean bisa memberikan waktu dan pekerjaan kepada wanita yang selalu ada dihatinya selama bertahun-tahun, Bian.

   Sean lalu mengirim pesan kepada Bian untuk memberitahu Bian kalau dirinya sudah kembali kerumah dan akan segera mengembalikan semua uang yang dipinjamnya dari Bian selama beberapa hari terakhir. Tentu saja tidak lupa dia memberitahu Bian tentang pekerjaan yang dia dapatkan untuk Bian sebagai sekretarisnya di kantor milik ayahnya.

                                      ***

   Hari pertemuan untuk merger perusahaan akhirnya tiba, Sean yang selama beberapa hari bekerja dikantor sama sekali tidak pernah mau jauh dari Bian sedetikpun. Dan tanpa pengetahuan kedua orangtuanya ia dengan berani membawa Bian yang adalah sekretarisnya untuk ikut datang dalam meeting yang sudah terjadwal jauh-jauh hari karena pikirnya mereka akan mendiskusikan merger perusahaan dan tentu saja dia akan membutuhkan sekretarisnya kan? Itu yang ada di pikiran Sean.

“Aku cuma meeting sebentar, kamu tunggu di sini aja ya?” Sean melepas gandengan tangannya dengan Bian. Bian mengangguk setuju.

Goodluck!” Sean tersenyum dan bergegas ketempat meeting yang sempat diberitahukan orangtuanya. Ketika Sean sampai ditempat janjian, sudah ada 5 orang disana termasuk orangtua Sean.

“Hai. Sorry telat, tadi macet” Sean mengulurkan tangannya, menjabat ketiga clientnya. Dua orang tua dan satu wanita yang menurutnya lumayan cantik tapi baginya hanya Bian yang menarik.

“Sean, kenalin, dia Alesha, rekan kerja kamu untuk proyek merger kita ini” ujar Ayahnya Sean sambil menunjuk wanita berbaju putih yang duduk disebelah kanan kursi Sean. Sean langsung tersenyum dan menjabat tangan wanita itu dengan ramah. Senyum bisnis tentunya.

“Oh, Hai. Gue Sean” ucap Sean.

“Gue Alesha, panggil Icha aja” jawab Icha sambil menjabat tangan Sean dan mengeluarkan senyuman bisnis andalannya. Setelah saling memperkenalkan diri, mereka berbincang mengenai perusahaan masing-masing dan prospek mereka kedepannya. Sean dan Icha sama-sama memberi pendapat dan ide-ide kreatif mereka untuk proyek merger ini. Orangtua kedunya sangat sumringah mendengar keduanya terlihat sangat akrab satu sama lain saat membicarakan bisnis mereka. Setelah beberapa mendiskusikan kelanjutan bisnis dan rencana-rencana ke depannya mereka memanggil pelayan untuk menyiapkan pesanan mereka sebelumnya. 

“Jadi sudah deal ya? Ada yang ingin diajukan lagi?” Ucap Icha. Rudi Hartono tersenyum puas, tidak salah ia memilih mitra kerja. Icha sangat cerdas dan pintar melihat peluang-peluang yang ada, belum lagi ia sangat kreatif dan sangat inovatif. Tak heran kariernya melejit tak lama setelah ia terjun kedunia bisnis ini.

“Saya akan baca lagi proposalnya. Kalau ada yang saya propose saya akan e-mail” Jawab Sean sambil membolak-balik halaman proposal yang sudah diprint oleh Icha. Icha mengangguk puas karena hasil ia mengerjakan proposal itu mendapat respon positif dari Sean yang kelak akan menjadi rekan kerjanya.

“Gimana, Sean? Menurut kamu Icha gimana?” Sean menatap ayahnya. Masih tidak mengerti kenapa pertanyaan seperti itu harus ditanyakan saat membicarakan bisnis seperti ini. 

“Baik, pap. Icha cantik, pintar, baik, sempurna lah. Terlalu sempurna untuk seorang wanita yang baru terjun ke dunia bisnis. Hahaha” jawab Sean setengah hati. “Bian is a lot better than her” batin Sean.

“Kalau kamu gimana Cha? Kesan-kesan kamu tentang Sean gimana?” Mamanya Icha menanyakan hal yang sama kepada anaknya. 

Icha menatap mamanya dengan tatapan heran. “He’s awesome. Nggak salah kita merger sama perusahaan Hartono. Belum lagi prestasi Sean banyak waktu dia di Aussie.  Tentu aja itu akan sangat membantu kedepannya. Hahaha” jawab Icha. “Galih is better than him in so many ways” batin Icha sambil menengguk segelas air.

                                       ***

   Sementara itu Bian yang sedari tadi menunggu kabar dari Sean masih setia menunggu di lobby. 

“Sean lama banget. Apa ada kendala ya?” Bian menggumam. Ia melihat jam tangannya, sudah hampir 2 jam ia menunggu Sean di Lobby hotel. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan baterai handphone-nya sudah mau habis karena ia memainkan game sambil menunggu kabar dari Sean.

“Gue samperin deh, sebagai sekretaris yang bijak seenggaknya harus aktif kan?” Pikirnya membulatkan tekadnya. Ia berjalan menuju lift dan berusaha memikirkan alasan apa yang harus ia jawab ketika ditanya orangtua Sean tentang keberadaannya disini. Gimana kalau Sean atau orangtuanya marah karena ia mengganggu meeting yang sangat mereka tunggu-tunggu ini?

Ting

    Tanpa sadar Bian sudah berada ditempat dimana pertemuan Sean dan client nya mengadakan meeting ini. Bian berjalan pelan melihat sekelilingnya mencari tempat dimana Sean duduk. Ketika menemukan Sean dan keluarganya sedang mengobrol dan duduk di pojok restoran, Bian sengaja memilih tempat tak jauh dari tempat keluarga Sean duduk. 

What? Pertunangan?!” Sean dan wanita disebelahnya berdiri sambil menggebrak meja.

“Pertunangan?” Bian terdiam. Belum ada 5 menit sejak ia duduk di dekat meraka , ia sudah mendengar kabar yang sangat mengejutkan untuknya. Ia sadar dan yakin tidak salah dengar, kata-kata itu benar-benar keluar dari bibir Sean dan seorang wanita yang terlihat sangat elegan duduk di seberang Sean. “Sean tunangan?” batin Bian. Kakinya lemas setelah mendengar kalimat itu. Ia memutuskan pergi dari restoran itu dan pulang menuju rumahnya saat itu juga. Bian menuju lift dan masuk ke dalam memikirkan kalimat yang tak pernah sedikitpun terpikirkan olehnya. Matanya berkaca-kaca. “Sean tunangan?” ucapnya lirih menahan airmata.

***

“Lesu banget, cha. Kenapa emang meeting nya kemarin?” Galih menatap wajah lesu Icha. Setelah seminggu tidak bisa tidur dan menangis setiap malam, Icha memutuskan untuk kembali menjadi Icha yang biasanya, pengusaha muda cerdas dan bermental baja.

“Nggak papa, Lih. Lo udah pesen makan?” Tanya Icha tanpa memalingkan pandangannya dari notebooknya.

“Cha, gue udah pesen 3 atau 4 kali, dan lo udah nanya hal yang sama 3 kali ke gue setiap gue nanya lo kenapa” Ujar Galih. Icha akhirnya memberanikan diri melihat Galih. Raut wajah Galih menunjukkan kekhawatirannya, keningnya berkerut, alisnya terlihat seperti ulat bulu hitam. 

“Hehe, gue lupa kalau lo udah nanya” Icha meringis. Entah kenapa sulit sekali menyembunyikan perasaannya yang sedang kalut di depan Galih.

“Lah mata lo kenapa?” Galih mendekati Icha, ia menyadari ada mata Icha sedikit bengkak. “Kok nangis? Lo kenapa, Cha?” Galih beranjak dari kursinya dan duduk disebelah Icha. Icha menunduk lalu menggelengkan kepalanya. “Cerita sama gue, Cha. Siapa tahu gue bisa bantu” Ujar Galih.

“Gue minta maaf, Lih..” Icha terisak.

“Kenapa? Emang lo salah apa?” tanya Galih sambil mengelus rambut Icha.

“Gue nggak bisa sama lo lagi kayaknya” Ujar Icha. Galih terdiam. Berusaha mencerna perkataan Icha.

“Maksudnya?”

“Gue udah usaha, sumpah, gue udah berusaha bilang ke mom sama dad, tapi mereka nggak mau tahu” isak Icha.

“Bilang apa? Ada apa?” tanya Galih, kali ini ia memegang kedua pundak Icha, menghadapkan wanita cantik itu kearahnya.

Melihat Icha yang ia sayangi tertunduk dengan wajah merah dan terisak membuat hatinya sakit bukan main. Galih terus berpikir apa yang dilakukannya sampai Icha tidak bisa bersamanya lagi. Apa yang salah?

Icha akhirnya mengangkat kepalanya, melihat kedua mata Galih. Berusaha memantapkan hatinya untuk kehilangan laki-laki itu. “Galih..”

Jantung Galih berdebar ketika melihat Icha menatapnya dengan nanar, seolah-olah ada musibah besar yang menimpanya.

“Galih gue dijodohin sama orangtua gue” Ujar Icha akhirnya. Ia tahu jauh di lubuk hatinya ia tidak ingin kehilangan Galih. Ia ingin bisa tetap bersama Galih walaupun sudah bertunangan dengan orang lain. Ia ingin memiliki Galih untuknya.

“Hah?” Ujar Galih setelah beberapa menit terdiam, hanya itu yang bisa diucapkannya, suaranya bergetar, raut wajahnya dari khawatir pun berubah menjadi pucat.

“Gue awalnya nggak mau bilang sama lo, gue nggak mau kehilangan lo, tapi...” Isak Icha. Air mata Icha mengalir semakin deras.

Kita adalah rasa yang tepat, di waktu yang salah~

   Alunan lagu di cafe seolah mendukung Icha untuk mengeluarkan emosinya. Galih merasa dadanya sesak, ia tidak tahu harus melakukan apa saat melihat wanita yang disayanginya semenjak masa kuliah itu menangis, meminta maaf atas kesalahan yang bukan kesalahannya.

“Icha, udah jangan nangis, nggak papa, gue ngerti kok. Memang lo dijodohin sama siapa?” tanya Galih, tangannya bergetar ketika mengelus rambut Icha, berusaha menenangkan Icha.

“Maafin gue.” Ucap Icha. Kali ini Galih memeluknya. Memeluk Icha erat.

“Udah, udah.. nggak papa” Galih menatap langit-langit, mengelus rambut Icha, berusaha menguatkan wanita yang ia sayangi itu. Baru kali ini ia ingin meluapkan amarahnya, tetapi ia pun sadar bahwa dirinya bukan siapa-siapa untuk keluarga Icha. “Gue akan selalu sayang sama lo, Cha." Lanjutnya.

Kalimat Galih membuat Icha terisak dan membenamkan wajahnya di dada bidang Galih. “Seandainya gue bisa mengambil alih perusahaan dad, atau gue bisa kuasain proyek ini. Jadi gue bisa batalin pertunangan gue dan jalanin sama Galih..” batin Icha.

Wait.. what?” Icha melepaskan pelukan Galih. “OH MY GOD GALIH! Kenapa gue nggak kepikiran daritadi sih.. kenapa gue harus ninggalin lo?” Icha memeluk Galih, kali ini sambil tersenyum dengan mata yang masih berkaca-kaca dan hidung memerah.

    Galih hanya menatapnya, tidak mengerti apa maksudnya. Sekaligus terkejut melihat perubahan drastis emosi Icha. 

I have a plan!” Ujar Icha girang.

               

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status