Share

Chapter 3 : Jadikan dia sebagai motivasi

"Kira-kira cara apa yang bakal loe lakuin, Jak?" tanya Doni.

"Yang pasti gue bakal bikin dia kayak perempuan lain yang jadi korban gue dulu!" tegas Jaki.

Tit... Tit... Tit...

Alarm berbunyi pada pukul 03:30 WIB.

Di luar asrama terlihat langit yang masih berwarna gelap, suhu udara pun terasa begitu sejuk serta terdengar pula suara ayam jantan terus berkokok. Karena tak kuat dengan hawa dingin, Ai meminta Aizha, Rina dan Nurul untuk menunggunya. Dia pun kembali ke kamarnya untuk mengambil baju hangat yang dia miliki. Dia kembali keluar asrama setelah memakai baju hangatnya miliknya. Mereka berempat pun kembali melangkahkan kaki mereka menuju mesjid.

Setelah melaksanakan semua agenda pagi selaku santri, seperti biasa Aizha dan Rina pun bersiap untuk berangkat ke kampus bersama. Saat berjalan mendekati gerbang, mereka diklaksoni oleh mobil hitam milik Pondok Pesantren Al-Karimah. Dari dalam mobil terlihat Abi Salman menengok keluar. Abi Salman memang sedang menunggu mereka.

"Aizha, Rina. Ayo, cepat masuk ke mobil," ucap Abi Salman

Aizha dan Rina segera mendekat.

"Abi mau antar kita?" tanya Aizha.

"Iya, ayo cepat masuk," jawab Abi Salman.

"Ai gimana?" tanya Aizha.

"Dia bilang mau jalan kaki aja," jawab Abi Salman.

Mereka berdua pun memasuki mobil itu.

Dari arah asrama putra, Zein, Roy dan Philip pun tampak berjalan bersama. Abi Salman juga meminta mereka bertiga untuk masuk ke mobil. Karena hal ini, Aizha dan Rina yang awalnya duduk di belakang pun berpindah tempat ke depan.

"Ayo, sekalian kita berangkat," kata Abi Salman.

"Terima kasih, Abi Salman," ucap Zein mewakili dua temannya.

Perjalanan menuju kampus dimulai.

Dalam perjalanan menuju ke kampus terjadi percakapan antara mereka.

“Buat kalian para santri putra, apa benar kalian kemarin berkelahi sama dua orang mahasiswa?” tanya Abi Salman.

“Iya, tapi Abi kok bisa tahu?” Zein pun penasaran.

“Ada dosen yang kasih tahu, tapi dosen itu bilang kalau dia sendiri gak tahu pasti awal kejadiannya. Memang awalnya kenapa bisa gitu?” tanya Abi Salman.

“Kita lihat kalau Aizha sama Rina diganggu sama dua mahasiswa pas kita mau pulang,” jawab Philip.

“Iya, itu benar.” Roy mendukung perkataan Philip.

“Oh, jadi maksud kalian, kalian itu cuma mau membantu Aizha dan Rina. Tapi, lain kali kalau bisa, kalian harus hindari perkelahian, apalagi kalian sekarang itu santri. Gak pas rasanya kalau santri hobi berantem,” kata Abi Salman.

“Hari ini, kita juga mau datang ke ruangan konseling buat selesaikan masalah ini, Bi,” kata Aizha

“Siapa nama mahasiswa yang berkelahi sama kalian bertiga?” tanya Abi Salman pada Zein, Roy dan Philip.

“Jaki dan yang satunya lagi saya gak tahu,” jawab Zein.

Sementara itu, bagi para santri yang tidak merangkap menjadi mahasiswa ataupun pelajar, mereka melaksanakan apel pagi selaku kegiatan rutin setelah sarapan pagi. Kegiatan ini dimulai pada pukul 07:00 WIB dan biasanya hanya berlangsung selama kurang lebih selama 15 menit. Dan yang biasa menjadi pembina adalah para ustadz serta ustadzah yang ada.

Pada upacara apel pagi kali ini, seorang ustadz yang menjadi pembina menyampaikan amanat bahwa bulan Oktober nanti Pondok Pesantren Al-Karimah akan mengadakan kegiatan tafakur alam. Para santri yang mendengarkan hal ini merasa senang. Mereka dapat menyegarkan pikiran mereka dengan menikmati indahnya pemandangan alam melalui kegiatan itu. Selain itu, dengan bertafakur mereka juga akan mendapat hikmah untuk menjalankan hidup dengan baik.

Setelah kegiatan apel selesai, para santri pun memasuki ruang kelas. Mereka melaksanakan pembelajaran sesuai program pendidikan yang mereka ikuti masing-masing. Suasana di ruang kelas para santri awwaliyah begitu ramai. Mereka berlarian, mengobrol, dan melempar-lemparkan pesawat kertas. Namun, di tengah keramaian itu ada seorang santri yang sedang sibuk menghafal Al-Qur’an dengan sangat serius.

Sandika, itulah namanya. Dia seorang santri awwaliyah putra yang memang bercita-cita menjadi seorang hafidz. Suasana kembali kondusif setelah datang seorang ustadzah yang khendak mengajar. Ustadzah meminta seseorang untuk memimpin do’a agar bisa memulai kegiatan belajar mengajar. Dengan senang hati Sandika berinisiatif untuk memimpin do’a. Lalu, dimulailah kegiatan belajar mengajar itu.

Sementara itu, di konseling kampus.

“Assalamu’alaikum,” ucap salam Zein saat memasuki ruangan.

“Wa'alaikum salam,” jawab semua yang ada di dalam.

“Kok sendirian, Zein? mereka mana?” tanya Pak Dosen Hamid.

“Gak ada, Pak. Kayaknya Jaki dan juga temannya yang waktu kemarin pada nggak masuk hari ini,” jawab Zein.

"Ya sudah, silakan kamu duduk. Saya hanya ingin tahu seperti apa akar masalah yang kemarin bisa terjadi sampai-sampai kalian bertiga berkelahi sama mereka berdua," kata Dosen Hamid pada Zein, Roy dan Philip

"Kami bertiga juga tidak tahu awalnya bagaimana, tapi yang kami lihat Aizha dan Rina sedang diganggu sama mereka berdua," kata Zein.

Setelah Zein berbicara, Rina pun menjelaskan awal mula kejadian masalah yang kemarin terjadi. Dosen Hamid pun mulai paham tentang masalah ini. Setelah beberapa menit mereka berdiskusi di ruang konseling, mereka pun diperbolehkan untuk kembali ke kelasnya masin-masing. Aizha, Rina, Zein, Roy dan Philip pun pergi ke kelasnya masing-masing.

Saat dalam perjalanan menuju kelas, Rina memberitahu Aizha bahwa sore nanti dia akan mulai berlatih. Rina terlihat begitu bersemangat untuk menjadi petugas pengibar bendera merah putih. Baginya menjadi pengibar bendera merah putih adalah salah satu bentuk rasa cintanya pada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rina juga berharap suatu saat dia dapat menjadi petugas pengibar bendera merah putih di Istana Kemerdekaan.

“Nanti, kira-kira kamu pulang jam berapa?” tanya Aizha.

“Mungkin sebelum maghrib juga udah selesai,” jawab Rina.

“Terus nanti pulangnya gak apa-apa sendiri aja?” tanya Aizha.

“Ya, mau gimana lagi? mungkin nanti kamu pulang duluan,” Jawab Rina.

“Gimana kalau aku minta abi buat jemput kamu?” anjur Aizha.

“Eh, gak usah. Nanti malah ngerepotin lagi,” jawab Rina.

“Insya Allah, abi nggak akan merasa direpotin, Rin,” kata Aizha meyakinkan Rina.

“Tapi, tetep aja aku ngerasa nggak enak hati sama Abi Salman kalau terus diantar jemput,” ucap Rina.

“Tapi, aku nggak mau kalau kamu pulang sendirian aja, Rin,” kata Aizha.

“Gini aja, gimana kalau kamu jangan pulang dulu? Mendingan lihatin aku latihan,” anjur Rina.

“kalau itu, gimana nanti aja,” jawab Aizha.

Beberapa jam kemudian...

Pada pukul 09:45 WIB, terdengar bunyi bell istirshat bagi para mahasiswa dan mahasiswi. Aizha mengajak Rina dan Tazkia untuk pergi ke kantin bersama. Dia sangat ingin bertemu dengan anak kecil yang menjual roti isi waktu kemarin. Selain karena roti yang dia jual rasanya begitu enak, dia juga ingin mengetahui mengenai neneknya. Namun, Aizha tak menjumpai anak itu ketika dia tiba di kantin. Dia terus melirik kanan kiri untuk mencari anak itu, tapi dia tak juga menjumpainya.

“Kamu cari siapa, Aizha?” tanya Tazkia.

“Anak yang jualan roti waktu kemarin mana, ya? kok sekarang dia nggak ada,” Aizha malah berbalik tanya.

“Iya, padahal rotinya enak banget,” kata Rina memuji roti yang anak itu jual.

“Mungkin neneknya sudah sembuh jadi, dia sudah mulai sekolah lagi,” kata Aizha berpikir positif.

“Ya udah, mendingan kita pesan mie ayam aja, yuk?” ajak Tazkia.

Aizha dan Rina menyetujui usualan Tazkia, mereka mencari tempat kosong untuk duduk.

Sementara itu, Jaki yang tak masuk ke kampus ternyata malah berkumpul dengan teman-temannya di basecamp mereka. Disana mereka sedang asyik bermain kartu bridge bersama. Dari kemarin Jaki dan teman-temannya memang sudah sepakat untuk tidak masuk ke kampus. Jaki dan salah satu temannya membicarakan soal kesepakatan mengenai rencana jahat mereka.

“Jak, mendingan loe nyerah aja deh. Gue gak mau loe dapet masalah lagi,” kata Doni.

“Jadi, maksud loe gue harus nyerahin motor gue cuma-cuma ke loe?” tanya Jaki.

“Ya, mau gimana lagi kesepakatan kita tetep berlanjut dan gak bisa dibatalin,” kata Doni.

“Gue gak akan nyerah gitu aja, pasti suatu saat gue bisa berhasil.” Jaki penuh percaya diri.

“Ya, terserah loe deh, Jak. Gue cuma ngingetin doang. Kalau loe gagal dalam waktu yang gue kasih sama loe, motor loe harus jadi milik gue.” Doni berusaha mengecoh Jaki.

“Loe lihat aja, nanti gue gak bakal gagal,” ucap Jaki dengan penuh keyakinan.

Pihak kampus menelpon orangtua Jaki.

"Selamat pagi, Pak. Maaf bila mengganggu. Apa ini dengan Pak Mandiri ayahnya Jaki?”

“Pagi, iya saya sendiri. Ada yang bisa saya bantu?”

“kami dari pihak kampus, Pak. Apa Bapak bisa datang ke kampus untuk memenuhi panggilan dari kami?”

“Tunggu sebentar, memangnya ada apa?”

“Jaki, anak bapak telah berbuat masalah di kampus.”

“Berbuat masalah? Masalah apa?”

“Nanti saya jelaskan jika Bapak sudah ada di kampus.”

“Baik, saya akan segera ke sana.”

Pak Mandiri menutup teleponnya dengan pihak kampus dan segera menghubungi sekretarisnya di kantor. Nampaknya, banyak sekali pekerjaan yang dia tinggalkan. Kemudian Pak Mandiri berjalan keluar dari kantor dan mencari mobilnya di tempat parkir. Setelah itu, dia mengemudikan mobilnya menuju kampus tempat Jaki kuliah. Butuh 15 menit untuk tiba di kampus.

Waktu istirahat bagi para mahasiswa dan mahasiswi sudah hampir habis. Pada saat ini, Zein, Roy dan Philip pergi keluar kampus untuk membeli batagor langganan mereka. Tapi, saat tiba di tempat mangkalnya, ternyata dia tidak ada. Entah dia tidak berjualan atau sudah berkeliling, tapi yang pasti melihat batagor tak ada mereka pun memutuskan untuk kembali ke area kampus.

Sebelum tiba di area kampus Zein, Roy dan Philip melihat mobil berwarna hitam bergerak maju menuju gerbang kampus. Dari dalam mobil terlihat seseorang yang menggunakan jas hitam. Dia meminta tolong pada Zein, Roy dan Philip untuk membukakan pintu gerbang yang tampak masih tertutup agar mobilnya dapat masuk ke dalam area kampus. Atas dasar rasa gotong-royong, mereka bertiga pun membantunya.

“Terima kasih, ya,” ucap orang itu.

“Sama-sama, Pak,” balas Zein.

“Oh iya satu lagi, letak ruangan dosen dimana, ya?” tanya orang itu.

“Masuk saja dulu, Pak. Belok kiri ada parkiran, terus nanti ambil kanan dan lurus aja. Di sana nanti ada ruangan di atasnya ada tulisan “Ruang Dosen”,” jawab Zein.

“Oh, iya. Terima kasih lagi, ya,” kata orang itu.

Mobilnya pun masuk ke dalam area kampus.

Dari dalam area kampus terdengar suara bell pertanda waktu istirahat bagi para mahasiswa dan mahasiswi telah habis. Para mahasiswa dan mahasiswi pun pergi memasuki ruangan kelasnya masing-masing. Aizha, Rina dan Tazkia berjalan menuju ruang kelas bersama, tapi sebelum mereka tiba di kelas, mereka bertemu dengan Arinah yang dari kemarin terus saja mengganggu mereka. Arinah kembali melontarkan kata-kata hinaan.

“Wah, ketemu lagi sama kumpulan orang udik,” kata Arinah.

Aizha hanya terdiam untuk bersabar.

“Arinah sayang, itu mulut gak difilter, ya?” Tazkia membalas hinaan dari Arinah.

“Apa maksud loe?” tanya Arinah dengan nada tinggi.

“Maksudnya, aneh aja gitu. Kok bisa ada orang yang panggil orang lain udik, tapi dirinya sendiri gayanya kayak orang kota, tapi kelakuannya kayak orang gak punya etika,” jawab Tazkia.

“Sembarangan, loe nantangin gue, Tazkia?” Arinah meningkat emosi.

“Lagian siapa yang takut sama anda,” ucap Tazkia yang sama-sama meningkat emosi.

Aizha menahan Tazkia agar tidak terjadi pertengkaran.

“Taz, udahlah kamu gak usah ikut-ikutan marah,” ucap Aizha menahan amarah Tazkia.

“Lagian dari kemarin dia ngegangguin kita mulu,” kata Tazkia.

“Akhirnya loe bicara juga Aizha. Gimana, loe beneran mau ikutan kategori recurve advance? Gue Cuma mastiin,” tanya Arinah.

“Insya Allah, aku juga udah ajak teman-teman yang lain untuk ikut di kategori recurve advance,” kata Aizha.

“Kalau gitu, loe harus siap-siap aja buat kalah. Dan juga loe harus ingat, Aizha. Pas masa orientasi kita loe pernah coba hal yang sama sekali loe gak paham yang pada akhirnya loe malah ngerugiin satu kelompok. Jangan heran kalau hal sama terjadi dua kali pas loe nyoba ikut kategori recurve advance di Fun Archery nanti,” kata Arinah merendahkan Aizha.

Kata-kata Arinah sedikit berpengaruh untuk mengurangi rasa optimis Aizha.

“Hei, hei. Aizha gak mungkin kalah sama orang kayak dirimu, Arinah,” ucap Tazkia.

Di tengah-tengah percakapan itu, datang seorang dosen yang akan mengajar di kelas pendidikan Agama-1, kelas tempat Aizha, Rina dan juga Tazkia belajar. Dosen itu membubarkan percakapan mereka agar tidak terjadi pertengkaran. Karena Aizha, Rina dan Tazkia memiliki tujuan yang sama dosen, mereka pun pergi ke kelas bersama.

Pembelajaran di kelas Pendidikan Agama-1 dimulai kembali dengan mata kuliah tentang sejarah islam. Dengan ilmu ini, Aizha dan kawan sekelasnya dapat mengenali tokoh-tokoh yang berperan penting dalam kemajuan Islam. Aizha memperhatikan apa saja yang di sampaikan oleh dosen pengajar mata kuliah ini.

Saat dalam perjalanan menuju mushola, Aizha tiba-tiba merasa pusing dan perutnya terasa kram. Tubuhnya terlihat oleng dan hampir terjatuh, tapi dari belakang Rina menahanya. Rina merasa khawatir dengan kondisi Aizha yang terlihat seperti itu. Dia membawa Aizha menuju suatu tempat untuk terlebih dahulu sebelum dia pergi ke mushola. Nampaknya, Rina memang sahabat yang pengertian.

Sementara itu, mushola yang berada di area kampus perlahan mulai dipenuhi oleh para mahasiswa, mahasiswi dan juga para dosen yang hendak melaksanakan shalat dzuhur berjama’ah. Zein adalah salah satu yang ada di antara mereka. Setelah para jama'ah berkumpul, suara iqamah pun dikumandangkan maka, dimulailah shalat dzuhur berjama’ah. Rina baru tiba di mushola setelah semua yang ada di dalam sudah melaksanakan hingga dua raka'at. Oleh karena itu, Rina segera mengambil air wudhu dan menyusul mereka melaksanakan shalat dzuhur berjama’ah.

Selepas shalat dan berdzikir, Zein melihat Aizha sedang duduk di teras mesjid sambil membaca buku saat khendak pergi keluar. Aizha terlihat begitu fokus untuk membaca buku tersebut. Halaman demi halaman dia baca dengan teliti.

Dari jarak yang agak jauh Zein menyapa Aizha dan bertanya mengapa dia hanya duduk dan tidak segera melaksanakan shalat dzuhur. Aizha hanya menjawab dengan kode pada Zein bahwa dia tengah berhalangan untuk melaksanakan shalat. Setelah mendapat jawaban dari Aizha, Zein pun hanya bergumam,”Yah, biasa perempuan.“

Dari dalam, Rina tengah membereskan kembali mukena yang dia pakai saat melaksanakan shalat. Rina mendengar percakapan Zein dengan Aizha. Dia pun segera pergi keluar untuk menjumpai Aizha. Saat keluar, Dia melihat Aizha sedang duduk di teras. Rina menghampiri Aizha dan bertanya mengenai keadaannya. Aizha mengatakan bahwa keadaannya mulai membaik itu sebabnya dia menyusul Rina ke mushola.

“Alhamdulillah, kalau kamu udah baikan. Aiz, mendingan kamu jangan dulu pulang,” kata Rina bersyukur.

“Kenapa?” tanya Aizha.

“Kalau kamu pulang sendirian, aku khawatir kalau kamu kenapa-kenapa di jalan,” jawab Rina

“Insya Allah, aku nggak akan baik-baik aja, Rin,” kata Aizha.

“Iya, tapi udahlah, mendingan di sini aja dulu. Lihat aku latihan sama yang lain. Dengerin, aku juga butuh dukungan dari kamu,” pinta  Rina.

“Oh, ya udah kalau gitu,” kata Aizha.

“Jadi, kamu mau di sini dulu buat lihatin aku latihan?” tanya Rina.

“Iya,” jawab Aizha dengan senyuman.

“Nah, itu baru bagus,” kata Rina.

“Tapi, sambil nunggu yang lain mendingan kita ke perpustakaan dulu, gimana?” usul Aizha.

“Oh, ayo. Aku juga mau baca buku yang kayak kamu pegang itu. Di perpustakaan pasti masih banyak,” ujar Rina.

Mereka pun lekas pergi ke perpustakaan.

Sementara itu, Zein, Roy dan Philip yang sudah tidak ada kegiatan di kampus pun pulang ke Pondok Pesantren Al-Karimah. Ada seseorang yang memberitahu pada mereka bahwa jatah makan siang mereka sudah ada di kamar asrama mereka. Mendengar hal ini, Zein pun mempercepat langkah kakinya untuk segera sampai ke asrama.

Zein melihat ada tiga bungkusan di meja dekat kasur saat tiba di kamar. Saat dibuka, ternyata isinya adalah nasi masakan khas Padang. Setelah merasa penat dengan kegiatannya di kampus, Zein merasa senang dengan menu makanan yang diberikan kali ini. Apalagi, Zein memang sangat menyukai daging rendang sapi. Dia pun memulai makan mendahului Roy dan Philip.

“Wah, pelanggaran,” ucap Roy saat memasuki kamar.

“Iya, Zein. Tunggu ngapa biar kita makan barengan,” ucap Philip.

Zein hanya fokus untuk memakan makanannya.

“Maaf, habisnya udah lapar, Sob. Cepet ambil punya loe berdua,” jawab Zein setelah menelan makanannya.

Setelah menghabiskan makanannya masing-masing, mereka masih memiliki waktu luang.

“Masih ada waktu luang beberapa menit,” kata Philip yang kemudian mengambil barang-barang miliknya.

“Mau ngapain?” tanya Zein.

“Art is my life. Gue mau bikin lukisan pemandangan langit di kanvas ini,” jawab Philip.

“Kalau begitu, mendingan loe di luar biar dapat inspirasi dari pemandangan langit beneran,” anjur Zein.

“Oh iya, bener juga sih. Kalau begitu, bantu bawain barang-barang ini,” pinta Philip.

“All right, my friend,” ucap Zein.

“Roy, loe mau ikut keluar gak?” tanya Philip.

“Nggaklah, gue mau rebahan di sini,” jawab Roy.

“Oh, ya udah kalau gitu. Ayo, Zein,” kata Philip.

Philip dan Zein pun pergi keluar asrama.

Memang benar apa yang dikatakan oleh Zein. Pemandangan langit terlihat cerah dan indah untuk dijadikan inspirasi lukisan. Dengan teknik melukis yang cukup handal Philip pun mulai melukis indahya langit biru di kanvas miliknya.

Dia menggunakan warna biru cyan untuk melukiskan langit. Setelah itu, Philip melukis guratan-guratan untuk membentuk awan dengan cat lukis warna putih. Beberapa waktu kemudian, lukisan hasil karyanya pun selesai. Terlihat sangat realistis seolah itu bukan lukisan melainkan hasil cetak fotografi.

Pada pukul 14:30 para mahasiswa dan mahasiswi yang hendak berlatih untuk menjadi petugas pengibar bendera pun mulai berdatangan. Tazkia mengirim pesan melalui HandPhone pada Rina untuk segera berkumpul di dekat lapangan. Rina pun mengajak Aizha segera pergi ke tempat yang dimaksud oleh Tazkia. Saat Rina tiba, ternyata sudah agak banyak orang-orang yang berkumpul. Inilah persiapan mereka untuk melaksanakan latihan.

Datang seorang lelaki tua dan membunyikan peluit. Dia meminta untuk meminta semua mahasiswa dan mahasiswi yang akan latihan untuk berkumpul di tengah lapangan. Nampaknya dia adalah seorang pelatih para mahasiswa dan mahasiswi yang terpilih menjadi petugas pengibar bendera. 

Sebelum memulai latihan, mereka mendapatkan arahan dari pelatih agar bisa melaksanakan tugas mereka dengan baik. Setelah itu, mereka pun berdiri dan berbaris untuk melakukan pemanasan terlebih dahulu. Dimulai dari peregangan kepala, tangan hingga kaki terus mereka lakukan dengan baik dan teratur. Kemudian, pelatih menyuruh mereka untuk berlari mengelilingi  lapangan dengan porsi 6 putaran untuk putra dan 3 putaran untuk putri.

Aizha yang melihat dari kejauhan Rina begitu bersemangat hanya tersenyum. Sekali-kali dia menyoraki Rina dengan sorakan dukungan. Dirinya merasa termotivasi oleh sikap Rina walaupun Rina memiliki bakat yang berbeda dengannya. Dia ingin segera melatih kemampuan memanah yang dia miliki. Apalagi, dia ingin mencoba kategori recurve advance dengan jarak 80 meter di perlombaan Fun Archery nanti. Menghilangkan rasa ragu adalah tantangan hidup bagi Aizha.

Pukul 16:56  latihan yang Rina  ikuti selesai.

“Maaf kalau agak lama, ya,” ucap Rina saat mehampiri Aizha.

“Ya, nggak apa-apa kok,” jawab Aizha.

“Oh, iya. Kamu udah bilang belum sama Abi Salman kalau kita pulang sore?” tanya Rina.

“Kan tadi udah waktu di perpustakaan. Aku juga udah bilang kalau mau pulang naik angkot bareng kamu aja,” jawab Aizha.

“Oh, iya aku lupa. Ya udah, ayo kita pulang,” ajak Rina.

Keduanya bergegas pulang.

"Aizha, itu angkot!" ucap Rina.

"Oh, iya. Angkot!!!" teriak Aizha.

Angkot itu pun berhenti, Aizha dan Rina menghampiri angkot itu.

Tanpa mereka sadari ada pria misterius tengah memperhatikan mereka dari belakang.

Siapa dia ???

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status