Share

Chapter 4 : Nasihat kebaikan

“Rin, kayaknya itu Jaki,” ucap Aizha sambil menunjuk ke seseorang.

Tampaknya Aizha mulai menyadari ada yang membuntuti mereka.

“Apa? Jaki? di mana?” tanya Rina.

“Itu yang lagi naik motor,” jawab Aizha.

“Apa kamu yakin kalau itu Jaki? mungkin aja itu orang lain yang motornya sama kayak motor Jaki,” ujar Rina.

“Nggak, Rin. Aku yakin itu Jaki,” kata Aizha mulai cemas.

“Ada apa, Neng?” tanya sopir angkot.

“Itu orang yang waktu kemarin ganggu kita. Sekarang dia juga mungkin mau ganggu kita lagi,” jawab Aizha.

“Ya udah, tenang, Neng. Abang bakal cari cara agar bisa ngehindar dari dia,” kata sopir angkot.

Jaki juga tampaknya mengetahui kehadirannya mulai disadari Aizha. Hal ini dibuktikan dengan mobil angkot itu mempercepat lajunya. Jaki tak ingin dirinya tertinggal oleh mobil angkot itu. Dia pun mengemudikan motornya untuk bisa mendekati pintu depan.

“Woy, berhenti, loe!” kata Jaki pada sopir angkot sambil menendang-nendang pintu.

“Apa?” sopir angkot pura-pura tak tahu.

“Berhenti!” Jaki semakin kesal.

“Emangnya kenapa? loe mau celakain penumpang gue?!” tanya sopir angkot.

“Itu bukan urusan loe. Udah cepet berhenti! kalau gak, loe bakal nyesel!” jawab Jaki.

“Neng, pegangan sama besi panjang itu!” titah sopir angkot kepada Aizha dan Rina.

Aizha dan Rina pun mengikuti titah sopir angkot.

"Baik, loe belum tahu siapa gue, ya?" gumam sopir angkot yang dimaksudkan pada Jaki.

Supaya bisa menghindari Jaki, sopir angkot mengemudikan mobilnya dengan cepat layaknya sedang balapan. Dari belakang, Jaki pun tak mau kalah dan segera menambah kecepatan motornya. Sopir angkot memilki peluang untuk ngebut karena jalanan di depan agak kosong. Hanya ada beberapa mobil saja yang harus dilalui agar bisa menghindar dari Jaki. Dengan teknik mengemudi yang mumpuni sopir angkot berhasil melewati mobil-mobil yang ada di depannya.

Dari dalam, Aizha sangat syok dengan kecepatan mobil yang dikemudikan sopir angkot. Dia merasa risau kalau-kalau supir angkot menabrak sesuatu yang ada di depan. Untuk menenangkan hati dan pikirannya, Aizha terus mengucapkan istighfar secara berulang-ulang. Pada akhrinya, dia meminta sopir angkot untuk menuruni laju kendaraan yang sekarang dia kemudikan.

“Bang, bisa gak jangan ngebut-ngebut?” pinta Aizha.

“Iya, Bang. Kalau di depan ada orang mau nyebrang, gimana?” Rina juga nampaknya merasa risau dengan hal ini.

“Abang juga pengennya pelan-pelan, tapi gimana kalau nanti dia nyegat kita dari depan?” tanya sopir angkot.

Aizha hanya terdiam karena tak bisa menjawab.

“Ya udah, kalian bantu do'a aja biar kita selamat,” ucap sopir.

Aizha pun mengikuti perkataan sopir angkot, begitu juga Rina.

Di saat Jaki sedang berusaha untuk mengejar angkot itu, motornya tiba-tiba berhenti. Entah apa yang membuat motornya berhenti, tapi Jaki pun menepi agar tidak tertabrak kendaraan lain. Setelah menepi, Jaki turun dari motornya dengan perasaan penuh kesal. Lagi-lagi dia gagal untuk melancarkan rencananya. Sebaliknya, Aizha lagi-lagi berhasil selamat dari kejaran Jaki.

“Alhamdulillah, kita selamat,” ucap syukur Aizha.

“Ya udah, Bang. Jangan kebut-kebutan lagi. Sekarang kita kan udah selamat dari dia,” kata Rina.

“Neng, emangnya kalian berdua mau pulang ke mana?” tanya sopir angkot.

“Kita mau ke pondok pesantren, Bang,” jawab Rina.

“Pondok pesantren yang mana?” tanya sopir angkot.

Aizha pun menjelaskan di mana letak pondok pesantren tempat tinggal mereka.

“Oh, iya. Kalau yang itu saya tahu. Ya udah, saya anterin sampai depan gerbang,” kata sopir angkot.

“Boleh aja, tapi jangan ngebut lagi, ya,” pinta Aizha.

“Siap, tenang aja kali ini gak akan ngebut,” jawab sopir angkot.

Menjelang waktu maghrib mereka tiba di gerbang Pondok Pesantren Al-Karimah.

“Terima kasih, Bang. Abang udah nganterin kita sampai sini,” kata Aizha.

“Iya, sama-sama.” Sopir angkot lekas memarkirkan mobilnya dan pergi.

“Aizha, lima menit lagi adzan maghrib. Ayo, kita cepet kita ke asrama!” ajak Rina.

"Iya, kita cepat ke asrama buat beres-beres, Rin," kata Aizha.

Sementara itu, di asrama putra Zein telah berpakaian rapi dan bersih. Dia telah bersiap pergi ke mesjid. Namun, sambil menunggu waktu maghrib tiba, Zein pun rebahan di kasur busa milik Roy yang sengaja dibawa ke asrama. Kasur busa Roy memang terasa nyaman untuk ditiduri.

“Roy, kasur busa loe lumayan nyaman juga buat rebahan,” kata Zein.

“Iya, kalau cuma rebahan, silakan. Tapi, awas jangan sampe ketiduran,” ujar Roy.

“Iya, tenang aja,” kata Zein.

Beberapa menit kemudian terdengar suara adzan maghrib.

“Udah adzan maghrib. Ayo, kita ke mesjid!” ajak Philip.

Mereka bertiga pun lekas pergi ke mesjid.

Di asrama putri, Rina pun bergegas untuk pergi ke mesjid setelah berpakaian rapi dan bersih, sementara Aizha hanya berdiam di kamar. Pada saat ini, Aizha melihat bahwa busur compound miliknya sudah agak berdebu. Maka dari itu, dia mengambil lap untuk membersihkannya. Sambil membersihkan busur miliknya, dia kembali memperkirakan kemampuannya untuk berlaga di kategori recurve advance.

"Busur compound bisa aku kuasai, itupun jaraknya hanya 50 meter. Recurve bow level advance dengan jarak 80 meter mungkin bukan hal mudah untuk dikuasai. Gimana kalau nanti malah gagal? mengingat dulu ada hal belum bisa aku kuasai dengan baik malah aku lakukan dan hasilnya fatal dan merugikan orang lain. Astaghfirullah, harus gimana ini?" rasa ragu tiba-tiba datang lagi ke hati Aizha.

Di saat Aizha sedang sibuk untuk membersihkan busur panah miliknya, dari belakang Ai mengendap-endap untuk mengejutkannya. Dia tak mengetahui bahwa di belakangnya sedang ada seseorang. Setelah berada tepat di belakang badan Aizha, Ai menepuk pundak kakaknya itu serta bersuara dengan nyaring. Usahanya pun berhasil. Aizha yang terkejut hanya mengucap istighfar.

"Hahaha, aku berhasil, berhasil," ucap Ai kegirangan.

“Kamu bikin kakak kaget aja,” ucap Aizha setelah dikejutkan Ai.

“Iya, Kak. Maaf,” ucap Ai sambil memeluki Aizha.

“Iya, kakak maafin, tapi lain kali jangan diulangi, ya?” kata Aizha dengan nada rendah.

“Hehehe, iya-iya aku gak akan ulangi lagi,” jawab Ai.

“Tapi, kok kamu nggak ke mesjid?” tanya Aizha.

“Kan sama kayak kakak,” jawab Ai.

“Oh, iya-iya kakak paham.” Aizha memahami maksud Ai.

Untuk menghilangkan rasa sepi di kamar Ai pun mengajak Aizha untuk mengobrol.

“Kak, kenapa sih kakak suka banget sama olahraga panahan?” tanya Ai.

“Kan dulu Abi pernah bilang kalau memanah itu hukumnya sunnah. Terus, awalnya kakak juga  terinspirasi sama seseorang. Dia pemanah yang hebat. Kakak juga masih ingat waktu itu kamu kan juga ikut buat lihat pertandingan panahan sama abi juga ummi,” jawab Aizha.

“Oh, yang waktu kita masih kecil?” tanya Ai.

“Iya, kalau kamu mau, kamu bisa latihan panahan bareng sama kakak,” usul Aizha.

“Tapi, aku sukanya sama olahraga bola basket, Kak,” jawab Ai.

“Oh, gak apa-apa, kakak juga nggak maksa. Kalau kamu lebih suka basket, itu hak kamu,” ujar Aizha.

"Iya, Kak," ucap Ai singkat.

"Ai, mumpung sekarang kita lagi santai ada yang mau kakak sampaikan," kata Aizha.

"Ada apa?" Ai penasaran.

"Di usia remaja akhir seperti kamu biasanya orang suka main-main karena mengira itu kesenangan masa muda. Kakak cuma mau mengingatkan supaya kamu bisa waspada dan tidak mudah terbawa hal negatif. Kalau kamu mau bergaul dengan teman-teman hanya untuk menambah relasi, ya silahkan, tapi jangan sampai kamu ikuti hal yang cenderung ke yang diharamkan," jelas Aizha.

"Iya, Kak. Makasih udah ngingetin," kata Ai.

"Iya, sama-sama," kata Aizha.

Bermenit-menit lamanya percakapan mereka terjadi.

“Tapi, Kak. Yang lagi pada shalat udah beres belum, ya?” tanya Ai.

“Gak tahu tuh, kan dari tadi kakak ada di sini,” jawab Aizha.

"Iya juga, ya?" ucap Ai singkat.

Di tempat lain, Jaki sedang asyik bermain Play Station 2 di kamar rumahnya. Dia merasa stress karena usaha kejahatan gagal lagi. Dari luar, terdengar suara mobil datang. Jaki segera menutup dan mengunci pintu kamarnya. Apalagi, Jaki sedang memainkan game favorit.

Pak Mandiri yang baru datang segera melangkahkan kakinya menuju kamar Jaki. Dia ingin segera menegurnya. Sesampai di kamar Jaki, Pak Mandiri mengetuk pintu kamar dan menyuruhnya untuk keluar. Berulang kali Pak Mandiri melakukan hal yang sama, tapi Jaki seolah tak mau mendengar kata-kata dari ayahnya. Dia lebih memilih bermain Play Station 2.

“Jaki, kalau kamu gak keluar juga, motor kamu bakalan Ayah jual,” ancam Pak Mandiri.

Mendengar ancaman itu, Jaki pun membuka pintu kamarnya dan keluar.

“Ada apa sih, Yah?” tanya Jaki.

“Tunggu Ayah di ruang tengah, ada yang mau Ayah bicarakan,” titah Pak Mandiri.

Jaki pun menuruti titah ayahnya, sedangkan Pak Mandiri ingin membersihkan diri terlebih dahulu. Setelah selesai membersihkan diri, Pak Mandiri pun pergi ke ruang tengah menyusul Jaki.

“Bagaimana kuliah kamu akhir-akhir ini, Jaki?” tanya Pak Mandiri saat di ruang tamu.

“Oh, kalau yang itu semuanya baik-baik aja. Indah kayak biasa,” jawab Jaki.

Mendengar jawaban itu, Pak Mandiri semakin geram dan memukul meja yang ada di depannya.

“Kamu bikin masalah lagi dan kamu bilang itu indah,” kata Pak Mandiri penuh kesal.

“Masalah apa?” tanya Jaki mengelak.

“Jangan ngelak, Jaki. Ayah sudah tahu semuanya. Tadi siang Ayah datang ke kampus karena ada dosen yang meminta Ayah untuk datang ke sana. Kamu hari ini gak hadir, kemarin kamu gangguin perempuan sama berantem dengan tiga mahasiswa. Kamu pikir itu bukan masalah?” ungkap Pak Mandiri.

Suara Pak Mandiri yang memarahi Jaki terdengar hingga ke kamar Arinah. Arinah yang tadinya hanya berbaring sambil mendengarkan musik pun terbangun. Dia segera pergi ke tempat Pak Mandiri berada. Sesampai di ruang tengah, Arinah pun diperintahkan duduk untuk ikut mendengar apa yang disampaikan Pak Mandiri.

"Apa kamu masih betah dengan kelakuan kamu saat masih di Jogja?" tanya Pak Mandiri pada Jaki.

Jaki hanya terdiam.

"Ayah sudah berupaya agar kamu bisa jadi orang yang baik dan jujur. Semua catatan kasus yang kamu lakukan di Jogja tidak Ayah biarkan ketahuan orang lain di Kota Bogor ini. Semua aib kamu Ayah tutup dengan rapat supaya orang-orang tidak menilai kamu dari apa saja tindakan yang kamu lakukan di Kota Jogja. Dengan begitu, kamu bisa leluasa jadi orang yang lebih baik," jelas Pak Mandiri.

"Kenapa Ayah berpikir kalau Jaki masih melakukan hal-hal yang sama seperti dulu?" tanya Jaki.

"Karena ternyata kamu masih juga belum berubah, Jaki. Dulu, mungkin kamu sering bergaul dan senang-senang dengan para perempuan yang kelakuannya sama buruknya dengan kamu, tapi apa sekarang kamu sedang berusaha menjerumuskan seorang anak dari kiyai untuk jadi korban? jangan berharap kamu bisa berhasil," jelas Pak Mandiri.

Pak Mandiri menghela nafas.

"Pokonya Ayah ingin kalian berdua bisa mengisi masa muda kalian dengan hal yang positif. Jangan sampai kalian menyia-nyiakan masa muda kalian. Kalian tahu kan kalau sesal gak mungkin datang di awal. Maka dari itu, jangan sampai kalian melakukan hal yang membuat kalian menyesal di kemudian hari.” Pak Mandiri memberi motivasi.

Jaki dan Arinah hanya terdiam untuk mendengarkan apa yang disampaikan.

“Arinah, kamu punya hobi memanah itu sudah bagus. Katanya akan ada perlombaan bulan Agustus nanti. Kalau begitu, kamu harus latihan yang rajin biar dapat prestasi yang memuaskan,” kata Pak Mandiri.

“Iya, Yah. Aku emang pengen ikutan perlombaan,” balas Arinah.

“Nah, itu baru bagus. Jaki, ke depannya kamu harus cari hobi yang lebih bermanfaat dari hal negatif yang sering kamu lakukan dengan waktu di Jogja,” ucap Pak Mandiri.

Jaki hanya mengiyakan kata-kata dari Pak Mandiri meskipun sebenarnya dia merasa kesal pada Dosen Hamid. Suasana tampaknya kembali kondusif. Amarah Pak Mandiri sudah mereda. Dia pun menyuruh anak-anaknya untuk pergi ke ruang makan.

Di sana sudah ada beberapa makanan yang dibuat langsung oleh assistent rumah tangga pribadi keluarga mereka. Mereka mengambil beberapa makanan yang tersedia dengan porsi sesuai kebutuhan mereka untuk menjaga kesehatan yang mereka miliki. Inilah seputar keluarga yang Jaki miliki.

Pada pukul 19:56 WIB, para santri Al-Karimah bersiap untuk melaksanakan shalat ‘isya berjama’ah. Suara adzan ‘isya pun dikumandangkan saat telah masuk waktu. Suara sang muadzin terdengar seperti anak-anak, tapi sangat syahdu. Ternyata sang muadzin itu adalah Sandika. Dia sedang mencoba untuk bisa menjadi muadzin. Suara yang indah mampu membuat para penghuni Pondok Pesantren Al-Karimah terkesima, bahkan ada yang sampai bercucuran air mata.

“Subhanallah, siapa itu yang adzan? Suaranya bagus banget.” Ai yang mendengar dari jarak yang jauh juga terksima.

“Itu suara Sandika dari santri awwaliyah,” kata Aizha.

“Kok kakak bisa tahu?” tanya Ai.

“Dulu kakak sempat berkenalan sama anak-anak santri awwaliyah waktu awal mereka masuk,” jawab Aizha.

“Kan waktu pagi kakak kuliah,” kata Ai.

“Waktu sorenya. Lagipula, ketika para santri awwaliyah yang baru datang, di kampus kakak masih masuk masa orientasi. Yang kenalan juga bukan cuma kakak doang, tapi ada beberapa santri senior yang lain juga,” jelas Aizha.

“Oh, gitu ya.” Ai memahami Aizha.

“Sandika punya cita-cita yang bagus. Dia ingin jadi seorang hafidz.” Aizha memuji Sandika.

“Di usianya yang masih kecil?” Ai keheranan.

“iya,” jawab Aizha.

“Wah, bagus kalau begitu.” Ai juga memuji Sandika.

“Maka dari itu, kita harus bantu dengan do'a biar cita-citanya bisa tercapai,” kata Aizha.

“Aamiin.” Ai mendo'akan.

Suara adzan telah selesai dikumandangkan, mesjid pun telah dipenuhi oleh penghuni Pondok Pesantren Al-Karimah. Hanya tinggal menunggu orang-orang yang melaksanakan shalat sunnah qabliyah. Setelah mereka selesai, barulah iqamah dikumandangkan. Semuanya yang ada di mesjid pun berdiri dan berbaris dengan rapat dan rapi sesuai shaffnya. Kali ini, yang menjadi imam adalah Abi Salman.

Setelah selesai melaksanakan shalat ‘isya berjama’ah, para santri pun bersiap untuk melaksanakan agenda berikutnya yaitu, pengkajian kitab ilmu fiqih. Mereka mengkaji ilmu fiqih dengan menggunakan kitab Safinah. Kitab Safinah adalah kitab ilmu fiqih madzhab Syafi'i yang dikarang oleh Syeikh Salim bin Sumair Al-Hadromi. Beliau adalah ulama asal negeri Yaman yang berpegang pada madzhab Imam Syafi'i. Dengan kitab ini para santri dapat membahas ilmu fiqih secara praktis dan sistematis.

Ummi Shaqira mempercayai Aizha untuk memberikan pemahaman kepada para santri putri di kelas lain tentang kitab Safinah. Awalnya Aizha agak ragu untuk melaksanakan apa yang Ummi Shaqira katakan. Rasa khawatir yang membuatnya pesimis datang kembali. Dia juga merasa tak enak hati pada ustadzah yang akan mengajar bila tugasnya diambil alih. Ummi Shaqira tetap meyakinkan Aizha bahwa dirinya itu bisa, bahkan ustadzah yang akan mengajar pun mendukung pendapat Ummi Shaqira.

“Ya sudah, kalau memang ummi sama ustadzah percayakan tugas ini sama Aizha, insya Allah Aizha laksanakan.” Akhirnya Aizha bersedia untuk melaksanakan perintah Ummi Shaqira.

“Nah, gitu dong. Anak ummi harus optimis,” ucap Ummi Shaqira.

“Ya sudah, sekarang ibu sampaikan dulu sama teman-teman kamu kalau sekarang kamu yang akan memberikan pemahaman tentang kitab safinah pada mereka. Ibu hanya akan memantau,” ucap ustadzah pengajar seraya masuk ke dalam kelas.

Ustadzah pengajar kembali setelah menyampai pesan pada para santri yang ada di dalam.

"Rina gimana?" tanya Aizha.

"Suruh aja dia gabung sama kelas yang mau kamu ajar," jawab Ummi Shaqira.

"Biar saya saja yang ajak dia. Aizha, kamu masuk saja," kata ustadzah pengajar.

Saat Aizha masuk ke ruangan kelas, para santri putri yang berada di dalam menyoraki dan bertepuk tangan untuknya layaknya kedatangan seorang bintang. Dia hanya tersenyum pada para santri yang terus bertepuk tangan padanya. Tak lama kemudian, Aizha meminta mereka untuk berhenti bertepuk tangan. Dia duduk di depan teman-temannya dan segera memulai pengkajian kitab safinah.

Rina datang untuk bergabung sebelum Aizha memulai pengkajian. Dengan mengucapkan “bismillah”, Aizha pun memulai kegiatan pengkajian kitab Safinah malam ini. Sebelum membahas tentang isi kitab, dia menjelaskan profil kitab Safinah secara lengkap. Setelah itu, barulah dia mengajar para santri cara membaca kitab Safinah. Dia juga menjelaskan materi pertama kitab ini. 

Jaki menelpon Doni untuk meminta bantuan padanya. Rasa kesal pada Dosen Hamid masih berkobar dalam sanubarinya. Dia ingin melakukan sesuatu yang membuatnya merasa senang. Dalam hal ini, Jaki bermaksud untuk mengobrak-abrik kediaman Dosen Hamid. Itu supaya dia merasakan kerugian yang sangat besar.

Doni dan Jaki sama jahatnya. Doni pun menyetujui usulan dari Jaki. Setelah Jaki menutup obrolannya di telpon, Doni menyampaikan pesan pada teman-temannya yang lain. Semua orang yang diinformasikan oleh Doni juga tampaknya sangat setuju dengan apa yang diinginkan Jaki. Mereka pun mempersiapkan alat-alat yang mereka butuhkan masing-masing.

Kegiatan pengkajian kitab Safinah selesai pada pukul 09:00 WIB. Aizha dan para santri yang lain diperbolehkan memasuki asramanya masing-masing agar bisa berisirahat. Di Asrama putri, Aizha didatangi Nurul ke kamarnya. Dia dimintai oleh Nurul untuk tidur bersamanya di tempatnya. Melihat Nurul sangat ingin berada di dekatnya, Aizha pun memenuhi keinginan Nurul.

Pukul 11:40 WIB...

Jaki dan kawan-kawannya sudah siap beraksi. Sesuai dengan rencana, mereka beraksi di malam hari ini. Jaki dan juga teman-temannya menggunakan topeng bermotif tengkorak untuk menutupi identitas asli mereka. Sesampai di kediaman Dosen Hamid, mereka berdiam beberapa menit di luar gerbang. Salah satu dari mereka melemparkan batu untuk memancing satpam penjaga agar keluar gerbang.

"Siapa itu?!" satpam penjaga berteriak.

Satpam penjaga pun pergi untuk mengecek apa yang terjadi di luar gerbang.

"Siapa kalian?!" ucap satpam penjaga.

"Hajar!" Jaki memerintah teman-temannya untuk menyerang satpam penjaga.

Dua orang berani berhadapan dengan satpam penjaga. Satpam penjaga pun tak tinggal diam. Dia pun berusaha bertahan dari serangan dua teman Jaki. Dua orang teman Jaki berhasil dikalahkan oleh satpam penjaga. Tampaknya satpam penjaga kediaman Dosen Hamid bukan orang yang remeh.

"Apa gue harus turun tangan, Jak?" tanya Doni.

"Maju," ucap Jaki dengan singkat.

Kali ini Doni yang berhadapan dengan satpam penjaga.

"Makan ini," kata Doni sambil menendang.

Dengan sigap satpam penjaga pun menangkap tendangan dari Doni. Setelah itu, dia membanting tubuh Doni hingga jatuh tersungkur. Hanya tinggal tiga orang dari pihak Jaki yang masih berdiri. Dengan inisiatif, dua orang dari mereka pun berlari untuk menyerang satpam penjaga. Namun, lagi-lagi satpam penjaga berhasil mempertahankan dirinya.

"Wah, luar biasa. Seorang satpam di sini gak kayak satpam di rumah gue yang kelihatan lembek," kata Jaki yang terkagum.

"Saya belum tahu siapa kalian dan apa maksud kalian sebenarnya, tapi saya tidak bisa tinggal diam," kata satpam penjaga.

"Sekarang!" teriak Jaki.

Doni yang awalnya terjatuh pun kembali berdiri dan menangkap tubuh satpam penjaga dari belakang. Yang lain juga tiba-tiba berdiri dan menyerang satpam penjaga. Satpam penjaga terus saja dipukuli dan ditendangi oleh mereka hingga Jaki menyuruh mereka berhenti. Mereka pun membiarkan satpam tergeletak tak sadarkan diri di luar gerbang.

"Anda memang terlihat kuat, tapi sedikit ceroboh. Tujuan kita bukan untuk menyerang anda, tapi yang ada di dalam," kata Jaki seraya menyuruh semuanya masuk ke dalam area rumah Dosen Hamid.

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status