Share

Tujuan

Ia, Fox hanya mendengus dan meletakkan botol ditangannya dengan kasar. Memejamkan mata, hanya setengah botol yang ia konsumsi tapi sudah membuatnya sakit kepala. Itulah alasan mengapa ia tidak suka dengan perkumpulan seperti ini. Jika bukan karena tuannya yang ingin bertemu dengannya, ia akan memilih tidur di apartemen sebelum ada panggilan tugas berikutnya.

“Aku ingin mengajakmu kembali ke Indo.” Kalimat itu terasa berat untuk ia terima, bukan karena tidak ingin tapi kepalanya yang terus-terusan berdenyut sakit.

Kebodohannya sendiri karena langsung menenggak vodka dari dalam botol. Hanya satu orang yang tahu tentang kelemahannya ini. Senior dan rekan seperlatihannya tidak ada yang tahu bahkan tuannya sendiri. Mereka hanya tahu Fox yang sempurna tanpa kecacatan secuil pun.

Tidak tahan dengan sakit kepala yang menderanya, meski tidak ingin menghubungi sosok itu terpaksa ia lakukan. Menekan tombol panggil secara diam-diam dibalik saku jaketnya.

“Ini sangat segar, kenapa senior-senior sekalian tidak menikmatinya?” ucapnya saat panggilannya sudah tersambung.

Berharap sosok itu segera datang menjemputnya, sebelum para seniornya menyadari ketidakberesan tingkahnya saat ini. Tak selang berapa menit pintu ruangan itu kembali terbuka, menampilkan sosok pria blasteran dengan mata biru.

“Hey, bodoh! Apa kau minum lagi, bukankah dokter menyarankan untuk tidak minum minuman keras untuk sementara waktu? Maag mu bisa kambuh idiot!” teriaknya setelah berada didekat Fox, Fox mengernyit. Ide bodoh apa yang ia gunakan, kenapa tidak sekalian mengatakan ber adalah sesuatu yang tidak bisa ia minum karena ia bisa sakit kepala? Pikirnya mengutuk kebodohan Joan.

“Kau punya penyakit maag,” suara itu datang dari sosok pria yang tengah diapik oleh dua wanita panggilan.

“Tidak parah, hanya saja untuk sementara dilarang minum minuman keras,” jawab Fox enteng.

“Ahh, dan lagi Joan bagaimana bisa kau tahu kami ada disini? Bukankah kau ada tugas?” tanya sosok itu pada Joan.

“Soal itu sudah saya kerjakan. Aku kemari untuk membahas duel yang akan kami lakukan,” ia merangkul leher Fox yang langsung mendapat sikukan karena tidak terima perlakuan Joan.

“Ku pikir kalian sedang bertengkar.” Salah satu senior menimpali.

“Tentu saja tidak, kami adalah patner yang sudah terikat dari lahir. Bagaimana mungkin kami sampai akan bertengkar.” Joan menjawab diselingi dengan senyum menggoda kearah Fox.

Fox meringis menahan sakit dikepalanya. Berpikir untuk meninggalkan tempat itu tidak mungkin bisa ia lakukan. Harapannya hanya satu, waktu secepatnya berlalu.

“Bersiaplah, tiga hari lagi aku akan membawamu ke Indonesia. Ada beberapa hal yang harus kamu selesaikan disana,” Davin angkat bicara lagi setelah mendengar perdebatan bawahannya.

Fox hanya mengangguk. Ia bisa bernafas lega setelah melihat Davin meninggalkan ruangan dengan dua wanita panggilan yang sejak tadi menemaninya. Melirik kearah Joan, mengintrupsi agar mereka juga segera meninggalkan tempat. Joan mengangguk dan tanpa kata ia melambai kearah seniornya bahwa mereka pun akan segera pergi.

Fox duduk menyandar dikursi santai balkom kamarnya, rambutnya yang berwarna jingga melambai-lambai ditiup angin malam. Ditangan kanannya terdapat gelas anggur yang tengah digoyang-goyangkan dengan perlahan. Matanya yang tajam namun kosong memandang kegelapan malam. Inilah rutinitas yang ia lakukan ketika tidak ada tugas.

Dibalik pintu kamar miliknya Joan mengetuk pintu. Tidak ada tanda-tanda pintu akan terbuka, Joan memutar knop pintu tersebut. Pintu terbuka dan suasana kamar yang gelap. Tirai jendela yang meliuk-liuk karena tertiup ka na. Joan melangkah masuk lebih dalam lagi. Tujuannya cukup jelas terhadap kebiasaan-kebiasaan Fox saat berada di apartemen mereka.

“Lagi-lagi disini rupanya?” Joan buka suara saat melihat tubuh Fox yang tengah duduk bersandar di kursi malasnya, Fox tidak merespon bahkan melirik kearah Joan pun tidak. Fokusnya masih sama, menatap langit malam.

“Bagaimana dengan tugas yang menunggu di Indonesia?” Joan bertanya lagi, mengharapkan respon balasan dari Fox.

“Entahlah, belum aku pikirkan.” Gumam Fox masih terdengar ditelinga Joan.

“Aku akan ikut denganmu!” ucap Joan.

“Bukankah kamu masih ada tugas disini?” Fox bertanya, kala Joan menawarkan diri padanya.

“Akan segera aku selesaikan selama tiga hari tersisa.” Jawabnya.

“Baiklah.”

“Rasanya seperti baru kemarin kita bertemu, satu tahun berlalu tapi sayang aku masih belum bisa mengerti akan dirimu.” Entah mengapa Joan ingin berbicara banyak dengan Fox ka nada.

“Yahh, sepertinya memang begitu.” Jawab Fox dan menyesap anggur dari gelasnya.

“Aku tahu, mungkin ini akan sedikit ka nad tapi bisakah kau bersandar dan percaya padaku?” Joan menutup kedua matanya, menunggu respon dari Fox.

“Aku hanyalah wadah kosong, jangan berharap banyak dariku bahkan sedikitpun jangan!” Joan bergerak maju ingin menyentuh kedua pundak Fox, belum sempat tangan itu menyentuh pundak Fok sebuah pistol sudah menempel didadanya.

Dengan sigap Joan mengangkat kedua tangannya sebagai tanda bahwa ia menyerah. Fox yang sebelumnya duduk santai menjadi sedikit kesal karena tindakan yang ingin dilakukan Joan untuk menyetuhnya.

“Tinggalkan aku sendiri!” memutar kembali badannya dan meletakkan pistol ditangannya keatas meja.

“Baiklah.”

Kejadian semalam, lagi-lagi menjadi penyebab suasana dingin diantara Joan dan Fox. Joan yang sudah duduk santai menikmati sarapannya dimeja makan berniat ingin mencairkan suasana kembali dengan menegur Fox yang tengah berdiri didepan kulkas mengambil air putih. Suaranya tercekat dari tenggorokan saat melihat Fox yang telah berbalik arah kembali tanpa memperdulikan dirinya.

Mengenakan mantel tebal dan kupluk dikepalanya, Fox meninggalkan apartemen tempat ia tinggal bersama Joan. Berjalan kaki disekitar mungkin akan mengembalikan moodnya. Cukup jauh ia berjalan hingga ia berhenti disebuah café, memesan satu organic jus dengan the rad muffin. Setelah menyelesaikan sarapannya ia kembali melanjutkan perjalannya. Tidak ada tugas membuatnya bisa menikmati harinya di Los Angeles. Setengah tahun hanya bermain dengan senjata adalah pengalaman pertama yang membuatnya terasa lebih hidup. Dan membunuh target adalah hal yang selalu menumbuhkan rasa percaya dirinya. Katakan saja ia telah berubah menjadi sosok pembunuh berdarah dingin tapi siapa yang memulai takdir kotornya itu.

Sekarang ditempat ini ia bukan lagi Mida, ia adalah Fox si pembunuh berdarah dingin. Mengingat nama itu lagi-lagi membuatnya teringat akan keputusan tuannya yang akan membawanya kembali. Ia belum ingin kembali tapi perintah adalah hal mutlak yang harus ia lakukan untuk menghormati tuannya itu.

Didepan toko barang ka n ia berhenti, mendorong pintu hingga mengasilkan bunyi bel yang cukup nyaring ia masuk kedalam. Seorang laki-laki paruh baya menyapa dirinya.

“Fox?”

Yang disebut namanya hanya mengangguk.

“Elliot ada diruangannya.” Ucap laki-laki paruh baya tersebut.

 Fox memasuki pintu besi menekan tombol angka yang akan membawanya kepada sosok bernama Elliot. Pintu besi terbuka menampilkan kemputer-komputer raksasa yang menampilkan suasana Los Angeles yang setiap lima menit berganti tempat. Di tengah ruangan sana sosok laki-laki bertubuh kecil dengan topi miring yang selalu bertengger dikepalanya. Fokus matanya sama sekali tidak teralihkan dari tiga computer yang ada dihadapannya. Jelas ia sudah tahu siapa yang masuk kedalam ruangannya itu.

“Lama tidak jumpa, Fox?” sambutnya namun tidak mengalihkan tatapannya dari layar Komputer.

Fox tidak menjawab, ia terus melangkah mendekati Elliot berada.

“Sudah ada pergerakan terbaru dari ‘BLAME’?” tekan Fox diakhir kalimatnya.

“Ya, salah satu anak buah Blame bergerak ke Asia, sisanya masih menyebar di Eropa.” Jelas Elliot dan menunjukkan jejak-jejak merah dilayar komputer kepada Fox.

“Apa kamu yakin, tidak ada pergerakan mencurigakan lainnya lagi?” tanya Fox memastikan.

Mengingat beberapa bulan terakhir Fox hampir terjebak andaikan saja Elliot tidak cepat menyadari kejanggalan yang terjadi.

“Iya sudah aku cek berkali-kali tapi semua masih sama. Dan Fox, ka nada bahaya yang lebih besar jika tidak segera ada pertahanan di Asia. Aku yakin kamu sudah dapat pesannya, bukan?”

Fox lagi-lagi diam, ini sesuai perintah dari Davin, apa mungkin sasaran mereka Indo? Mungkin akan lebih buruk jika ia kembali tapi mengabaikan juga bukan keputusan yang tepat.

“Akan aku pikirkan,” putusnya kemudian.

“Fox, ini bukan ancaman biasa. Semua tim berharap kamu tidak memutuskan semuanya tanpa pertimbangan.” Mendengar nada bicara Elliot yang meninggi membuat Fox sedikit merasa tidak tenang sekali lagi.

Kenapa disaat-saat seperti ini, kejadiannya harus bersamaan?

“Kirim daerah mana saja yang menjadi target Blame, aku tunggu 1 jam mulai dari sekarang. Aku pergi.” Tidak menunggu Elliot menjawab, Fox berlalu meninggalkan ruangan.

“Anak itu, mengapa kaku sekali?” gumam Elliot sesaat setelah Fox menghilang dibalik lift.

Fox sampai di apartemen, cukup sepi. Bisa ia pastikan Joan sedang berada ditempat latihan khusus sekarang. Melepas mantel dan sepatu ia masuk kedalam kamar miliknya dan menghempaskan tubuhnya keatas ranjang.

Ia sudah putuskan dan semoga keputusannya tidak salah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status