"... Kau bukan orang asing bagiku, Kau juga berharga untukku ... "
~ Ara ~
"Leave him!"
"Wha...t? Leave...?"
Aku tidak menyangka dia akan memintaku untuk melakukan hal semacam itu. Tentu saja ini tidak semudah itu, Aru. Ini tidak se-simpel seperti ucapan mu itu juga.
Bagaimana bisa kau mengatakan dan meminta itu padaku? Aru, aku memang lebih menyukaimu dari pada Arnold untuk saat ini. Tapi bukan berarti aku bisa dengan mudah meninggalkan dia. Itu terlalu berat untuk ku. Itu akan memicu banyak kekacauan dalam keluargaku. Dan aku tidak yakin bisa mengatasinya, jika itu sampai terjadi.
Namun, mengatakan semua itu pada Aru juga percuma saja. Dia tak bisa melihat posisi rumitku disini. Dia hanya melihat dirinya, cintanya juga luka-lukanya karenaku. Aku tidak yakin dia akan paham dengan keadaan ku, karena akupun tidak sepenuhny
"... Waktu tidak merubah kalian menjauh, tak juga merubah wajah asyik kalian ... "~ Aru ~Seperti biasanya, Zein berdiri di depan pintu setelah pintunya terbuka, namun tidak segera menyuruhku masuk kedalam rumahnya. Dia menatapku curiga, seperti menduga ada yang tak biasanya darinya."Sepertinya ada yang diusir dari rumah. Kalian bertengkar lagi, ya?" ujarnya saat melirik tangan kananku yang menjinjing tas lebih besar dari biasanya."Tidak""Kenapa bajumu basah? Hujan huh, disuatu tempat?" aku ikut melirik bajuku.Benar. Karena buru-buru mengemas baju-bajuku, aku sampai lupa belum mengganti bajuku yang basah karena disiram Ara tadi."Kenapa pipimu juga merah sebelah? Tidak mungkinkan itu karena blush on?" tanyanya menyindir juga ingin tahu."Hufft, tidak bisakah kau membiarkan teman mu ini masuk lebih dulu? Baru interogasinya belakangan"Zein terkekeh sej
"... Rasanya menyakitkan, kau harus berpisah dari orang yang kau sayangi ..." ~ Aru ~ Sejak ditinggal Zein sendirian dan tak punya teman berbicara, kini aku lebih sering terperangkap dalam lamunan. Membawa bayang-bayang Ara ikut serta kemana saja, bahkan ke tempat kerja hingga aku kehilangan fokus hari ini. Pertama, aku salah membuat kopi pesanan pelanggan karena kepalaku dibawa arus melamun, memikirkan Ara. Kedua, aku menumpahkan ekspresso ke baju pelanggan dan membuatnya marah. Ketiga, aku memecahkan gelas karena tersandung kaki kursi. Bos lantas memanggilku dan menyuruhku pulang lebih awal. Beruntung dia hanya menyuruh ku istirahat di rumah tidak sekaligus memecatku. Tapi berita buruknya, gajiku akan dipangkas untuk mengganti rugi kesalahanku. Apa yang terjadi denganku saat ini?Kenapa setelah berhari-hari aku baru merasakan kacau seperti
"... Nama itu masih memiliki efek berat bagi diriku ..."~ Ara ~Ketukan dua kali di pintu menyadarkan aku pada remang-remangnya lamunan yang tengah menjajah pikiran."Ra, breakfast is ready"Aru?"I'm coming, Bi..." sahutku dengan semangat keceriaan baru, namun berubah jadi kaku saat wajah yang tanpak diambang pintu berbeda."Bieee?" wajah heran Tasya muncul dari baliknya, "Kau memanggilku, Bi? Seriously?" protesnya."Oh, sorry. Ku kira itu−""Aru?" Tasya memutar bola matanya lelah menanggapiku."So sorry, Sya. Habis kau melakukan kebiasaa−" belaku sendiri."Kau bahkan tidak bisa membedakan suara cantikku dengan suaranya ARU, apa?" katanya tampak sangat kecewa."Kenapa kau mengetuk pintu? Biasanya juga tidak!""Apa hanya Aru yang boleh mengetuk pintu? Aku tidak
"... Akan ada saatnya indah datang menyapamu ..."~ Ara ~Aku masih bersama Tasya dan belum keluar dari mall inni, tapi kalimat tadi sungguh masih terperangkap di pikiran dan membuatku terganjal.Apa yang sebenarnya terjadi padaku? Mengapa pikiranku tak berhenti memikirkannya? Mengapa aku membawa bayang-bayang Aru kemana saja aku pergi? Apa ini semacam rindu? Atau hanya sebuah perasaan kacau yang tak menentu? Ku harap ini bukan semacam firasat buruk, karena dia tak menanggapi chat dari sapaan-sapaan beruntun ku.Baiklah. Mungkin aku hanya perlu mengeluarkan ingatan itu tentangnya. Jikka ini hanya rinndu, ingatan itu pasti akan sedikit membantu mengobatinnya."Apa aku boleh membeli ini?" tanyaku waktu itu pada Aru.Dia tidak langsung menjawab, tapi malah balik menatapku dengan tanyanya."Kenapa kau ingin membeli itu?""Imut aja. Lagian aku juga belum punya""Araa
"... Semoga bersamamu, membuatku lupa pada sakitnya patah hati ... "~ Aru ~- INDONESIA -Aku mengikuti saran Zein untuk memberitahukan Quin saat aku pulang kampung, itulah kenapa dia ada disini sekarang. Dia sedang main ke rumahku."Kak sudah lihat grup keluarga belum?" teriak adik perempuanku dari dalam rumah, maklum aku ada di teras."Belum. Kenapa?""Ke pantai" Dila melongokkan wajahnya dari balik pintu, "Kak Quin? Wah, apa kabar? Lama ngak ketemu, kangen deh" sapanya pada temanku dan ikut serta duduk begitu saja di kursi kosong sebelah Quin.Aku yakin jika dia seumuran, dia akan sama akrabnya dengan Quin. Bahkan mungkin mengalahkanku."Baik, sehat, alhamdulillah""Kakak sudah lama disini? Kok aku sampai ngak tahu sih?""Gimana mau tahu, kau cuman tidur aja seharian ini" aku mengguraui adikku."Enak aja, orang aku di dalam lagi beres-beres
"... Kami terjebak dalam kebuntuan, dengan akhir yang tidak menentu ..." ~ Aru ~ Semua keluargaku berada dalam mobil Quin. Dan keluarga Budhe dalam mobil anaknya. Pakdhe tidak jadi ikut karena masih di bengkel. Mungkin dia akan menyusul nanti jika urusan mobilnya beres dan waktunya juga cukup. Mobil Quin berhenti disebuah mini market setelah berjalan sekitar 15 menitan. Kakak ku berbicara pada Dila sebentar, memberi instruksi padanya apa yang harus dibeli. "Ada yang mau nitip?" "Es krim" Quin berkata padaku lirih seraya memegang lengan tanganku. Tatapan polos dan manisnya membuatku luluh seketika. "Es Krim" teriakku menyampaikan titipan. "Aku juga mau es krim" Zufan ikut berteriak memesannya. "Aku mau... Aku mau... Aku juga" riuh. Semua bocil-bocil didalam mobil ini menyuara, menginginkannya juga.Quin makin melebarkan senyumnya.
"... Sulit memag, jika kau masih memiliki nafas cinta untuk orang yang melukai hatimu juga ..."- PANTAI -"Aru.... Kau tahu apa yang paling berat?"AKU MENGANGKAT BAHU. TIDAK TAHU."Saat aku mencintaimu dan kau tak bisa dimiliki"What? Apa Quin baru saja mengungkapkan perasaannya padaku?Aku jadi menatapnya dengan raut paling serius. Apa yang baru saja terjadi? Sulit mencerna dengan benar dengan maksud dan ucapan Quin barusann.Dia membuatku hampir salah paham.Aku tahu dia tidak sedang serius mengatakannya, walau wajahnya terlihat cukup serius dan meyakinkan. Aku hampir terkelabuhi olehnya."Aku tahu kau tidak srius. Jangan bermain dengan kalimat seperti itu untuk mempermainkan perasaan dan fokusku Quin. I kknow you!"Quin tersenyum girang karena aku tidak tertipu dengan kalimatnya. Mungkin dia juga tersenyum untuk mele
"... Namanya mampu mengundang perih datang, menghapus jejak bahagia ..."~ Aru ~"Aku rapuh, Ru. bisakah kau memelukku?" katanya lirih dengan pandangan melamun.Aku ragu jika itu benar-benar sebuah permintaan dari Quin. Kurasa itu hanya sebuah simbol ungkapan akan perasaan dia yang tengah kacau juga gundah. Jadi aku tidak menanggapinya dengan serius.Kami diam lagi, sampai suara Dila hadir memecah keheningan ini."Kak saatnya pulang" teriaknya dari kejauhan jarak yang memisah kami.Aku memberinya simbul tangan OK. Lantas adikku pergi lagi."Ru, mulailah menghiburku dari sekarang" ujarnya padaku mengganti wajah sedihnya dengan senyum hangat.Alright.Quin kembali tegar kini."Yahh, you better get ready!" teriakku saat jarak kami terpisah agak jauh......."Cek-cek sebelah kalian. Ja