Share

2. Shi Jiu

Jiu….”

Sekelebat bayangan hilang-timbul bersama gemuruh ombak memekakan telinga. Butiran pasir terasa kasar dan nyata di bawah kaki. Namun embusan angin serasa fatamorgana. Gumpalan awan sehitam arang, kilatan petir bagai amukan dewa Zeus. Dan seorang pemuda bermata emas, menatapnya lekat-lekat.

Jiu…, kami me–”

Suaranya kembali hilang, tertelan keheningan diikuti bising panjang seperti ketukan nada tinggi. Gadis itu mengulurkan tangan, mencoba meraih sosok yang mulai menjauh. Jauh dan semakin jauh, bagai tertelan kegelapan tanpa ujung.

“Tunggu!!” Jiu berseru keras dan terbangun dari tidurnya.

Keringat dingin sebesar biji jagung, jatuh perlahan dari pelipis yang basah. Jantungnya berdebar, bersama deru nafas bergemuruh. Jiu menarik nafas panjang sebelum beranjak duduk dari tidurnya. Gadis itu mengusap kasar wajahnya sebelum melihat jam digital di atas nakas.

Pukul tiga pagi.

“Ck, lagi-lagi bangun jam segini.” Merasa tidak bisa tidur kembali, dia memutuskan bangun dan pergi ke dapur untuk membuat susu hangat. “Semua gara-gara mimpi sialan itu!”

Ini bukanlah kali pertama Jiu bermimpi aneh. Badai ditengah laut, pasir putih sepanjang jalan, dan seorang pemuda bermata emas. Mimpi yang menghantuinya selama seminggu semenjak dia berulang tahun kedua puluh. Hingga menarik rasa penasaran dalam benaknya dan datang ke Pantai Selatan.

“Ya ampun, kaget aku!” Seruan itu berasal dari wanita paruh baya dari balik pintu kamar. “Kamu ngapain jam segini bukannya tidur?”

Jiu nyengir lebar sambil mengangkat gelas berisi susu hangat. “Tidak bisa tidur, Tante. Mungkin karena terlalu semangat liburan ke sini.”

Dwi menepuk pelan pundak ponakannya. “Jangan larut-larut tidurnya, besok kamu mesti bantuin Tante dulu baru main.”

“Siap, Tante.”

Wanita paruh baya itu tersenyum tipis, lalu hendak melangkah menuju kamar kecil. Namun Jiu menghentikannya, memanggil karena ingin bertanya.

“Tante pernah tidak, ketemu saudara dari pihak ayah yang matanya emas?”

Sejenak Dwi terdiam, mengingat-ingat sebelum malah memukul gemas lengan Jiu. “Kamu itu meledek Tante, ya? Ayah kamu itu orang Taiwan, mana ada punya mata emas!”

“Ih, aku tidak meledek kok. Ini Jiu serius tanya, siapa tahu memang ada.”

“Ada-ada saja kamu, mana ada! Sudah, Tante kebelet, nih!”

Jiu tertawa kecil melihat Dwi berlari menuju toilet. Setelah menghabiskan susu hangat, dia memutuskan untuk kembali tidur. Besok, Jiu membutuhkan tenaga ekstra untuk membantu mempersiapkan pembukaan kafe milik Tante Dwi.

Semoga saja, tidurnya tidak akan diganggu lagi oleh mimpi aneh itu.

***

“Hei! Turunkan kardus itu dengan hati-hati! Itu barang pecah belah!” Teriakan dari Tante Dwi terdengar sejak pagi.

Sopir dari mobil jasa pengiriman barang hanya mengangguk. Tidak berani menyahut walau nyatanya, hatinya telah dongkol karena diberitahu berulang kali. Pria paruh baya itu bukanlah anak baru di dunia jasa kirim. Dia tentunya akan hati-hati, namun sepertinya klien satu ini tidak percayaan sekali.

“Tante, barang ini mau disimpan di mana?” Jiu dari dalam kafe bertanya dengan suara keras.

Dwi segera menghampiri keponakannya, lalu menunjuk salah satu ruangan. Jiu mengangguk paham, lalu segera menaruh barang itu disana. Hampir dua jam mereka berkutat merapikan kafe. Setelah jam menunjukan pukul sebelas siang, akhirnya pekerjaan dua perempuan itu selesai.

“Terima kasih, Jiu. Tante kalau manggil orang pasti tidak serapi dan segesit kamu!” kata Dwi sambil memberikan segelas es jeruk.

Jiu menerima minuman dengan raut ceria, dia sangat haus. “Sama-sama, Tante. Lagi pula kapan lagi, Jiu bisa jalan-jalan gratis ke sini.”

“Apa ada kabar terbaru dari ayahmu?” Mulai Dwi setelah mereka diam sejenak. “Tante masih punya kamar kosong untukmu, kalau kamu berubah pikiran.”

Jiu menggeleng pelan sambil tersenyum tipis. “Makasih, Tante. Mungkin setelah Jiu menyelesaikan kuliah, baru aku bisa terima tawarannya.”

Dwi mengangguk paham, dia mengusap pelan rambut Jiu yang hitam kecoklatan. Lembut dan tebal, seperti mendiang kakak perempuannya. Sang ibu telah lama wafat ketika gadis ini baru berusia lima belas tahun.

“Aku sudah boleh pergi main, Tante?”

Dwi tergelak mendengar pertanyaan keponakannya. Mata coklat Jiu sudah berbinar tak sabar. Mana mungkin tantenya dengan tega melarangnya. Alhasil, Dwi mengangguk, memperbolehkan Jiu bermain sepuasnya di wisata Pantai Selatan.

Jiu segera berganti baju, dengan kaos oblong berlengan pendek warna putih. Mengenakan bawahan hot pants jeans berpotongan high waist. Cocok untuk dirinya yang memiliki tinggi minimalis, alias mungil. Hanya butuh lima menit berjalan kaki untuk sampai ke tempat wisata pantai.

Mungkin karena bukan hari libur, jumlah pengunjung tidak begitu banyak. Jiu memandang hamparan pasir putih sepanjang jalan. Kemudian beralih pada deburan ombak. Berbeda sekali dengan mimpi buruk yang kerap kali menghantuinya. Di sini tidak ada badai, hembusan angin yang membelai wajah pun dapat dia rasakan.

“Sebenarnya,  arti mimpi itu apa?” Jiu bergumam pelan, menatap laut lekat-lekat.

Jiu…’

Suara rendah penuh kerinduan, sama sekali tidak terdengar asing ditelinga Jiu. Namun dia tidak pernah bertemu pemuda bermata emas. Kalaupun pernah, tidak mungkin dia melupakan keunikan dari sepasang iris itu. Bahkan jika ternyata pemuda misterius itu mengenakan softlens.

“Ini benar-benar bodoh!” Keluh Jiu setelah hampir sepuluh menit hanya berdiri diam di tengah pantai. “Lebih baik aku pulang. Ah~ Perutku lapar!”

Begitu Jiu balik badan, suara keras petir terdengar menyambar. Gadis itu sontak menoleh, mata coklatnya membulat sempurna. Bagaimana mungkin tiba-tiba ada guntur di siang bolong. Tidak ada hujan, apa lagi badai, namun nyatanya kilatan petir itu menyambar tepat di tempat Jiu berdiri sebelumnya.

Bulu kuduk sontak berdiri, Jiu berulang kali mengucap rasa syukur karena terhindar dari petaka. Saat dia hendak berlari pulang, atensinya tidak sengaja teralih pada anak-anak rambutnya yang berdiri. Belum sempat mengerti, kilatan petir kembali menyambar dan telak mengenainya.

“Ada yang kesambar petir!”

“Tolong! Tolong!”

Seruan dari para pengunjung masih sayup-sayup terdengar oleh Jiu. Gadis itu tidak bisa membuka mata, terpaksa memejamkan mata akibat silau menerpa. Namun satu hal yang janggal, dia sama sekali tidak merasakan sakit. Benarkah dirinya tersambar petir?

Pertanyaan Jiu terjawab ketika perlahan cahaya menyilaukan itu mereda. Jiu membuka mata hati-hati, namun detik berikutnya kedua iris coklat itu membulat sempurna.

Tidak ada lagi pemandangan Pantai Selatan yang indah. Pasir putih berganti menjadi gundukan tanah basah, awan putih kini sehitam arang. Lautan biru menjadi pemandangan desa luluh lantak dengan puing-puing berserakan. Dan samar-samar bau pembakaran tercium bersama anyir darah tak bertuan.

“Siapa kau?!” Suara menggelegar terdengar dari arah kanan.

Jiu sontak menoleh, dan tanpa bisa dicegah dia berteriak histeris. Saat tatapannya bertemu dengan sepasang mata tajam berwarna emas. Pemilik suara bagai guntur itu tidak lain dari seekor naga berwarna kuning kemerahan. Apakah Jiu tengah bermimpi buruk?

Makhluk legenda dalam mitos dan budaya rakyat china itu berada di depan mata. Tubuhnya panjang dan bersisik seperti ular, kepala mirip buaya dengan dua kumis panjang meliuk liar. Besar tubuhnya menyaingi anak-anak gunung, dengan tinggi hampir menyentuh awan.

“Dasar manusia hina! Berani-beraninya kau mengusik pertarunganku dengan Shenlong!” Herdiknya dengan raungan amarah diakhir kata. “Atau kau berpikir ilmu seni berpedang murahanmu itu, sebanding dengan kekuatan kami?!”

“Kalian memang manusia angkuh tidak berakal! Aku adalah Huanglong, salah satu dari sembilan naga yang diturunkan oleh dewa! Bahkan ribuan tahun bagimu tidak cukup untuk menantangku!”

Huanglong menerjang ke arah Jiu, empat cakarnya terbuka lebar, siap mengoyak. Detik berikutnya sosok lain menyambar Huanglong dari kiri. Tubuhnya meliuk melewati Jiu yang mematung, menatap sosok bersisik biru kehijauan.

“Jangan menggangguku, Shenlong!”

Naga kuning meraung keras, dua cakar depannya berusaha menjauhkan mulut naga biru. Tubuh mereka meliuk liar, seperti ular tengah merayap menuju langit kelabu. Jiu menatap pemandangan ganjil itu dengan rahang hampir jatuh. Ini sungguh mimpi paling realistis dalam hidupnya.

Hujan perlahan turun, mulai membasahi lapangan sebelum berubah deras beserta angin kencang. Jiu terkesiap, mulai menyadari bahwa ini bukanlah mimpi saat tubuhnya basah kuyup. Badai semakin besar, membuat gadis itu mengedarkan atensi, mencari tempat berteduh.

“Berhenti di sana!” Teriakan itu berasal dari seorang pria paruh baya dengan sebilah pedang terangkat ke arahnya.

Sontak Jiu mengangkat kedua tangan, memasang pose menyerah. Sepasang iris coklat itu mengerjap, apa lagi ini? Sekitar lima meter darinya berdiri, terdapat sepuluh orang dengan pakaian tidak biasa menatapnya tajam dan waspada.

“Wah~ gila sih, ini! Mereka pakai hanfu?” Bukannya takut, Jiu malah takjub melihat penampilan mereka seperti pemain drama china.

Tidak hanya Jiu, sepuluh pendekar bela diri dari dua sekte berbeda itu, nyatanya juga dibuat heran dengan penampilan sang gadis. Sebagian dari mereka menundukkan pandangan, beberapa malah secara terang-terangan melihat lekuk kaki jenjang Jiu. Hujan membuat gadis itu basah kuyup, sehingga bentuk tubuhnya tercetak jelas, menambah pesonanya sebagai orang asing.

Salah seorang pemuda, berbisik pada laki-laki yang meneriaki Jiu. Tanpa melepaskan pandangan mereka, keduanya seakan tengah berunding. Gadis itu sama sekali tidak tahu, bahwa 42 jam sebelum kedatangannya di dunia ini. Perkumpulan dari sembilan sekte baru saja gempar setelah berhasil menafsirkan sebuah ramalan.

“Langkah apa yang harus kita ambil, Zhang Feng Yi?”

Meski mereka berdua tidak berada dibawah asuhan master yang sama. Feng Ju menghormati Feng Yi selayaknya senior, karena mengakui kehebatan seni berpedangnya. Terlebih mereka berdua memiliki pangkat yang sama meski jarak umur mereka lumayan jauh.

“Sebaiknya jangan gegabah, para naga bisa kapan saja kembali menghancurkan desa ini.” Feng Yi menatap lima orang junornya, kemudian memberikan perintah.

“Tangkap wanita itu hidup-hidup, dan kurung dia di penjara bawah tanah!”

“Baik, Kakak!”

Jiu terperanjat, ketika lima orang pria mendekatinya, sambil menarik pedang dari sarung di pinggang. Apapun yang baru saja mereka rundingkan, jelas hasilnya buruk bagi sang gadis. Tidak lama setelah dia jatuh di tengah pertikaian dua naga sebesar gunung, kini gadis itu diseret paksa dan dikurung.

Continue…

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status