Share

3. Jiu dan Huanglong

“Hei, keluarkan aku! KE-LU-AR-KAN AKU! Kalian dengar, tidak?!” Jiu tanpa lelah berulang kali berteriak di dalam jeruji kayu.

Sudah hampir dua jam dia dikurung, tanpa tahu alasannya. Mendekam di dalam penjara yang terletak di bawah tanah, cahaya samar dari satu-satunya obor menjadi penerang. Terkadang embusan angin dari ventilasi alami membuat bulu kuduk Jiu meremang, Terlebih bau kayu lapuk bercampur bangkai hewan membuat perutnya bergejolak.

“Sial betul nasibku!” sungutnya lalu menendang kurungan kayu dan berakhir mengaduh pelan sambil memegang kaki.

Suara kunci dibuka terdengar nyaring, membuat rasa sakit di kaki hilang seketika. Jiu menatap seorang perempuan muda berjalan ke arahnya. Gadis itu memakai pakaian berwarna hitam, dengan garis merah tua. Dia membawa satu set pakaian ganti.

“Ini pakailah, sangat tidak enak melihatmu berkeliaran dengan pakaian dalam dan basah.”

“Pakaian dalam?” Jiu terdiam sejenak, tidak mengerti sebelum melihat pakaiannya sendiri lalu menunjuk diri dengan raut dungu. “Maksudmu pakaianku ini, kau kira pakaian dalam? Wah… kalian sungguh primitif.”

Tidak ambil pusing dengan perkataan Jiu, gadis muda itu berbalik pergi. Dia tidak berbalik ataupun menoleh meski dipanggil berulang kali. Merasa sudah selesai dengan pekerjaan yang diperintahkan padanya. Sementara itu Jiu menatap pakaian ganti di tangannya penuh tanda tanya.

“Ini… bagaimana cara pakainya?”

Satu set busana itu terdiri dari beberapa lapisan. Satu gaun tipis polos seperti pakaian dalam, baju atasan berlengan panjang dengan kerah longgar dan terbuka, juga bawahan seperti rok dengan dua lapis.

Semula Jiu mencoba memakainya, namun setelah setengah jam berkutat dan gagal. Akhirnya gadis itu menyerah, dia hanya mengambil dua lapisan. Tanpa menanggalkan pakaian lamanya, Jiu mengenakan pakaian atas berlengan panjang dan berkerah longgar. Kemudian dia memakai bawahan rok pendek yang mungkin seharusnya dipasang setelah mengenakan rok panjang. Tapi mana mau Jiu memakai rok panjang yang akan membuatnya susah bergerak.

Seperti tahu kalau Jiu sudah selesai berganti baju, gadis muda itu kembali. Sejenak dia memandang penampilan Jiu, heran. Keningnya mengerut samar, tatapannya berubah kasihan dan menghela napas pelan. Dia membuka kunci kurungan dan menyuruh Jiu segera mengikutinya keluar.

Jiu memperhatikan sekitar dengan rasa penasaran. Bangunan tua dengan arsitektur bangunan China kuno. Dia merasa tengah menjejakan kaki di lokasi syuting drama prasejarah. Sungguh indah sekaligus mengesankan.

Gadis muda itu membawanya ke sebuah rumah sederhana, lalu berbelok ke kanan menyusuri lorong. Mereka tiba di sebuah ruangan luas dengan sedikit perabotan. Di sana sudah duduk dua orang laki-laki yang dikenal Jiu. Mereka adalah pria yang memberi perintah untuk menangkapnya.

Mendadak perut Jiu mulas karena tegang. Dia segera bersikap waspada dan menurunkan wajahnya. Tidak mau menambah masalah dan dituduh tidak sopan karena berani bersitatap. Setidaknya, Jiu berharap mereka adalah orang yang bisa membantunya di dunia asing ini.

“Bukankah aku sudah bilang untuk memberikannya pakaian ganti?” Suara serak dari pria paruh baya terdengar.

“Saya sudah memberikannya, Kak! tetapi perempuan ini tidak memakainya dengan benar.” Gadis itu berusaha membela diri.

“Kau bisa mengajarinya jika dia tidak mengerti,” pria lain menimpali.

“Kalian tidak usah memarahinya. Aku memang tidak mau pakai karena ribet!” tukas Jiu sambil bersedekap dada.

Lupa kalau dia seharusnya menjaga sikap.

Kedua pria itu saling bertukar pandang, tidak mengerti harus menghadapi Jiu seperti apa. Terlebih mereka telah mendapatkan perintah dari sembilan pemimpin sekte untuk menguji gadis ini.

‘Bawa gadis itu ke lembah Suoxi. Bila perlu, beri dia pedang untuk menghadapi Naga Huanglong!’

“Siapa namamu, Nona?” Zhang Feng Yi, pria paruh baya itu bertanya.

“Shi Jiu.”

“Sembilan?” kening Feng Ju mengerut samar.

“Bukan, namaku Shi Jiu, Ji-U. Memang artinya sembilan tapi bukan itu! Namaku Jiu!” Dengan susah payah, gadis itu berusaha menjelaskan namanya.

“Baik, baik. kami paham, Nona Jiu.” Feng Ju segera memotong sebelum percakapan mereka semakin panjang hanya karena masalah nama.

“Sebelumnya kami mohon maaf karena menangkapmu tiba-tiba. kami mencoba menjalankan tugas kami sesuai protokol. Kami harap, Nona Jiu mau mengerti.”

“Tidak masalah.” Jiu menjawab santai, “Kalau boleh tahu, ini di mana?”

“Nama desa ini adalah Desa Qingxin, perbatasan wilayah Suoxi dan Tianzi.” Kali ini Feng Yi yang menjawab, “Namun seperti yang Nona lihat, desa ini hanya tinggal nama. Setelah Naga Shenlong dan Naga Huanglong datang dan menghancurkan tempat ini.”

Jiu menelan ludah gugup, tiba-tiba teringat pada dua ekor naga sebesar anak gunung yang hampir membunuhnya. Nasibnya masih baik karena tidak mati terinjak ataupun tewas terkena serangan nyasar dari dua naga itu. Sekarang bagaimana cara gadis itu bisa pulang, sudah jelas ini bukan dunianya.

“Mu-mungkin kalian tidak akan percaya.” Jiu memulai sedikit terbata. “Tapi aku bukan orang sini, bukan dari dunia ini. Aku berasal dari dunia lain dan di tempat asalku tidak ada naga. Keberadaan mereka bahkan menjadi perdebatan sampai berpuluh abad!”

Sorot mata coklatnya terlihat sendu, memelas dan hampir menangis. “Apa kalian tahu cara pulang?”

Keheningan menyelimuti, Feng Yi dan Feng Ju saling tatap untuk kesekian kali. Mereka terlihat berpikir keras, sebelum akhirnya menggeleng lemah. Menghempaskan harapan Jiu dan memberikannya rasa kecewa. Gadis itu tertunduk, hampir menangis. Feng Yi menatapnya kasihan dan merasa bersalah. Namun dia harus menyingkirkan perasaan pribadinya dan mengemban tugas dari sembilan pemimpin sekte.

“Kau datang saat Naga Shenlong dan Naga Huanglong bertarung.” Feng Ju membuka suara, menarik perhatian Jiu. “Mungkin dengan kau mengalahkan salah satu dari mereka, kau bisa pulang.”

Jiu membulatkan mata, “Apa kau gila?!” Sontak dia berseru, mengejutkan Feng Ju dan Feng Yi.

“Benar, aku bisa pulang. Tapi bukan ke duniaku, melainkan ke dunia akhirat! Aku jelas akan mati bahkan sebelum dua naga itu sempat bilang ‘Cheese’. Terima kasih, solusimu sangat membantu, Tuan!”

Dua perwakilan sekte itu terdiam, mencoba menunggu Jiu untuk kembali tenang. Gadis itu gusar bukan kepalang, dan mereka memahaminya.

“Ada sebuah ramalan mengenai kedatanganmu, Nona.” Perkataan Feng Yi sontak menarik perhatian Jiu. “Dikatakan bahwa seorang gadis dengan matahari di kepala dan bulan di bawah kakinya, akan membawa mahkota sembilan bintang di kepalanya. Kami percaya bahwa gadis itu adalah Nona Jiu.”

Jiu menatap dua pria itu lekat-lekat, lalu mengangkat bahu. “Maaf telah mengecewakan kalian. Tapi kalian bisa lihat sendiri, aku tidak punya matahari di kepala maupun bulan di bawah kakiku.”

Feng Ju menghela napas pelan. “Naga Shenlong dan Naga Huanglong kerap kali dilambangkan sebagai matahari dan bulan. Kedatangan Nona Jiu seperti tengah berdiri di antara mereka berdua. Bukankah itu suatu kebetulan yang aneh?”

Jiu kembali terdiam, perkataan Feng Ju terasa benar dan sulit dibantah. Sampai akhirnya gadis itu memutuskan untuk mencobanya. Dia menyetujui ajakan dua wakil sekte untuk pergi ke Lembah Suoxi, menemui Naga Huanglong. Setelah cukup lama berunding, Jiu dipersilahkan untuk istirahat di kamar yang telah disiapkan.

Mereka akan berangkat ke lembah pagi-pagi buta, karena butuh sekitar lima hari perjalanan untuk sampai ke sana.

Untuk pertama kali, Jiu bepergian jauh dengan mengendarai seekor kuda. Sungguh pengalaman mengesankan dan juga melelahkan. Bokongnya seperti mati rasa, dan hatinya mencelos memikirkan pantatnya semakin rata.

Tepat hari kelima, mereka tiba.

Lembah Suoxi memiliki pemandangan indah, rerumputan hijau dengan dua tebing tinggi di kedua sisi. Jiu sampai lupa sudah berapa kali dia berdecak kagum.

“Nona Jiu.” Feng Ju memanggil setelah mereka memutuskan untuk berkemah.

Jiu menghampiri Feng Ju, pemuda itu ternyata menyerahkan sebuah pedang panjang padanya. Sejenak gadis itu menatap tidak mengerti, lalu akhirnya menerimanya walau ragu. Manik coklatnya menatap Laki-laki muda di depannya, menuntut jawaban.

“Kami hanya bisa mengantar Nona sampai di sini.” Feng Ju menunjuk arah yang harus diikuti Jiu. “Di balik anak tebing itu, ada sebuah lapangan luas dengan Gua besar di ujungnya. Di sana tempat Naga Huanglong beristirahat.”

Feng Ju membungkuk hormat, “Kami semua mendoakan keselamatan Nona Jiu. Mohon berhati-hati dan kembalilah dengan selamat.”

Gadis itu hampir tertawa, dia tidak yakin dirinya bisa kembali dengan selamat. Rencana ini lebih mirip bunuh diri ketimbang pemecah masalah. Jiu tidak yakin, kalau jawaban untuk kembali adalah mengalahkan seekor naga. Namun dia tidak memiliki pilihan lain. Lebih baik mencoba daripada tidak sama sekali.

Jiu menarik napas panjang, “Baiklah, aku pergi dulu. Terima kasih sudah mengantar.”

Feng Ju dan Feng Yi membungkuk sekali lagi untuk memberi hormat. Seluruh anggota pejuang murim melepas kepergiannya. Mereka tidak mengalihkan tatapan mereka dari Jiu sampai gadis itu menghilang, masuk semakin dalam menuju tempat peristirahatan Naga Huanglong.

“Semoga memang ini jawaban yang kita cari.” Feng Yi bergumam pelan.

Angin berhembus pelan, membelai anak-anak rambut Jiu dengan nakal. Gadis itu melangkah pelan namun pasti. Pedang panjang digenggamnya se-erat tekad dalam hati. Setibanya dia di lapangan luas, maniknya mengedar mencari keberadaan Gua besar.

“Kau lagi!” Seru sebuah suara yang Jiu kenali.

Sedetik kemudian tanah bergetar pelan, Jiu sontak menggenggam erat pedang dengan kedua tangan. Oh tidak, dia akan mati! Seharusnya dia tidak menyetujui rencana ini.

Huanglong bergerak keluar dari mulut gua, tubuhnya tinggi dan besar. Sisiknya berwarna kuning kemerahan dan berkilau terkena pantulan bias mentari. Jiu menelan ludah gugup, alangkah besarnya naga ini. Oh tentu saja, Shi Jiu! Memang begitulah ukuran naga yang sesungguhnya. Mereka bukan komodo di Pulau Bali.

“Se-selamat siang, Tuan Huanglong…” Jiu mencoba menyapa ramah.

“Simpan saja basa basimu! Lebih baik kau pergi dari tempatku, wahai anak manusia!”

“Percayalah, aku berharap demikian.” Jiu mengangkat bahu, tertawa hambar. “Tetapi tempatku bukan disini, dan mungkin kau tahu bagaimana caraku pulang?”

Huanglong meraung panjang, membuat Jiu menutup kedua telinganya. Naga ini benar-benar memiliki kesabaran seperti tisu dibagi dua. Tidak mau mendengar, dan hanya bisa membentak dan meraung seperti ular kepanasan.

“Diamlah, dasar ular jelek!” Maki Jiu yang juga habis kesabaran. Dia mengangkat pedang ke arah Huanglong. “Aku datang kemari dan bertanya baik-baik! Bukankah naga itu terkenal dengan kecerdasannya? Tapi lihat, kau malah lebih mirip cacing kepanasan!”

“Tutup mulutmu!” Huanglong menerjang penuh amarah ke arah Jiu.

Continue…

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status