Mereka akhirnya bertemu dengan Lucifer setelah menunda sekian bulan. Rupanya ada tujuan di balik semua larangan Karmuzu. Bahwa sebelum mereka melakukan pertemuan tersebut, Karmuzu ingin Abigail menjalin hubungan dekat dengan semuanya. Ini akan memudahkan untuk mengontrol gadis remaja tersebut dari kehilangan jati diri saat bertemu ayahnya nanti.
Saat ini, mereka berjumpa dengan Lucifer di puncak Sinai dan sangat mengejutkan jika penguasa neraka itu tampil begitu menawan dan jauh dari kesan horror. Ketika Nina melemparkan sindiran pada Lucifer, raja neraka itu terlihat tersinggung.
“Di antara sekian wujud yang bisa kau pilih, wujud manusia yang menjadi favoritmu! Makhluk yang paling kau benci! Ironis sekali!” cibir Nina tidak sabar lagi ingin menyudahi!
“Kau tidak mengerti apa pun tentang kami! Manusia tercipta dari kesempurnaan yang terinspirasi dari wujud para malaikat! Setelah kalian curi bentuk dan kemuliaan kami, kalian menjadi tidak tahu d
Lucifer berdiri di tepi sebuah jurang yang mengerikan, jurang maut. Abaddon, Sang Malaikat Jurang Maut, berdiri di sebelahnya.“Pengkhianatan ini begitu menyakitkan, Abaddon.”“Ini bukan pengkhianatan. Tidak ada yang mencoba berkhianat. Kenyataannya, Dia masih mencintaimu dengan teramat sangat.”“Aku sudah mengatakan, jalanNya bukan jalan yang ingin kutempuh! Kenapa Dia harus menciptakan manusia? Untuk apa? Dia sudah memiliki kita dan segenap warga surgawi! Makhluk menjijikkan yang Ia ciptakan kini tidak lebih dari ras perusak!”“Mereka tetap memuja dan memuliakan Bapa, jangan memukul rata setiap manusia.”“Tapi dengan perjuangan yang tidak sedikit! Berapa nabi yang ia harus turunkan untuk kaum bebal itu?!” Bantahan Lucifer terdengar getir.“Iri hati dan dengkimu tidak pernah surut. Kenapa kau tidak mencoba berdamai dan kembali pada Bapa? Mungkin jawaban yang selama ini kau ca
Pemakaman Oliver telah diputuskan oleh Markus dan keluarga besar, mengambil tempat di Roger Pass. Keluarga Oliver tampak tabah dan menerima nasib putra mereka. Nina masih bungkam dan terdiam. Tidak ada sepatah kata pun terucap dari bibirnya. Namun itu bukan hanya terjadi pada Nina. Abigail, Elba dan Roth juga tampak tidak bisa menerima begitu saja.Ketika acara pemakaman selesai, Nina lenyap tidak lagi terlihat. Elba sudah bisa menebak kemana wanita itu pergi. Pasport dan tas Nina tidak ada di kamar.“Dia pergi membalas dendamnya,” ucap Roth lirih. Elba berdiri di depan kamar Oliver dengan bahasa tubuh yang rapuh. Abigail terisak dan berlari masuk kamar serta membanting pintu sekuatnya.***Hatinya terasa sakit dan memorinya bersama Oliver melintas, seperti sebuah siksaan yang tidak kunjung mereda. Katya begitu tega membunuh pria yang begitu berarti dalam hidup Nina Averin.Perjalanannya kembali ke Serbia adalah sebuah kunjungan penuh d
Abigail kembali dari sekolah dengan wajah muram.“Kenapa?” tanya Elba dengan heran.“Sandwich yang Roth buat untukmu sangat tidak enak. Penuh dengan bawang bombay dan terlalu banyak mustard,” keluh Abigail dengan kesal. Elba meletakkan surat kabar dan mengusap wajahnya.“Besok aku akan meminta Lexi membuatkan untukmu,” janji Elba. Abigail terdiam. Ia berbaring di sofa dengan tatapan mata ke atas langit-langit. Matanya mengikuti pergerakan kipas angin yang berputar.“Sudah enam bulan ia pergi. Tanpa kabar dan berita,” cetus Abigail.“Ia akan kembali. Beri waktu untuk Nina menenangkan diri,” hibur Elba.“Ini terlalu lama,” protes Abigail tidak setuju dan ingin rasanya berteriak.“Apa yang bisa kita lakukan? Tanpa Oliver, kita tidak memiliki mata jeli untuk melacak. Aku dalam buron kelompok ayahku dan Roth belum cukup pintar untuk menjadi manusia!” seru E
Nina tampak berbeda dengan rambut potongan pixy. Semua memandang Nina dengan tatapan kagum.“Jangan memandangku seperti aku adalah alien,” keluh Nina.“Kau tampak jauh lebih gelap dan dewasa, matang maksudku,” ucap Elba. Nina tersenyum. Gelas whisky di tangannya berputar seiring dengan goyangan jarinya.“Kau benar, Elba. Timur tengah memang sangat menarik,” cetus Nina dengan senyum.“Aku dengar dari Ray, kau bergabung dengan sebuah gerakan yang dipimpin oleh Panther,” balas Elba. Nina menenggak whisky dan membenarkan dengan anggukan.“Kau mengenal dia?” tanya Nina.“Ya. Dulu aku cukup dekat dengan ayah Panther, Jetro. Patriot sejati dari Palestina.” Elba tampak meredup saat mengenang pria tersebut.Nina sangat paham, sementara Roth masih tampak ragu mengartikan perubahan wajah pada Elba.“Aku sangat ingin menghabiskan waktuku denganmu, tapi aku sudah
Elba tidak lagi beranjak dari depan penjara di labirin gua. Ia ingin mendampingi Nina yang selama setahun ini menjauh darinya. Sesekali Nina meraung dan mencoba menghancurkan gua dengan kekuatan yang maha dahsyat. Namun, mungkin karena jauh dalam hatinya ia masih menyimpan cinta untuk Abigail, Nina masih bisa menahan sebagian kekuatannya.“Berjuanglah terus bersamaku, Nina. Jangan pernah meninggalkan aku sendiri. Kau tahu, aku akan selalu ada untukmu!” seru Elba pada Nina. Gadis itu menoleh dengan wajah letih dan muka pucat.“Elba, minta pada Abigail untuk pergi sejauhnya diriku,” pintanya. Elba mencengkeram jeruji besi sekuatnya.“Itu tidak akan menghalangimu dari mengejar adikmu sendiri,” tukas Elba. Nina mencoba mengatur napas satu persatu.“Seandainya Oliver masih hidup, ia kan menuntunmu lebih baik dariku,” keluh Elba kalut. Nina menunduk dan melihat lantai gua yang berlumut.Kenangan akan Oliver kembali dan ia merasakan rindu yang m
Untuk pertama kalinya, Elba tidak memiliki solusi dalam menyelesaikan masalah Abigail dan Nina. Setelah menyelesaikan patroli, ia kembali ke rumah dengan wajah kusut. Belum sempat ia merenggangkan tubuhnya yang lelah, Roth langsung menghujaninya dengan pertanyaan mengenai berita dari Markus.“Sabar, Roth. Aku butuh whisky saat ini,” tahan Elba dengan wajah lelah.Roth menyilangkan kaki di kursi dan dengan satu jentikan jari, dua buah gelas melayang beserta botol whisky. Dengan sihirnya, Roth menuangkan cairan ke gelas masing-masing.“Wow. Hiburan segar,” ujar Elba tanpa semangat dan datar.Roth tidak menanggapi. Wajahnya jauh lebih serius dibandingkan Elba.“Ok, aku siap!” cetus Elba kini.Bibirnya kembali menyesap gelas dan tegukan yang mengalir masuk ke dalam tenggorokannya terasa hangat. Ia mulai bisa berpikir relaks.“Aku setuju dengan Markus. Abigail akan kembali bersama Coque d
Nina merasakan tubuhnya sangat membutuhkan toilet untuk segera buang air kecil. Ia membuka mata dan melihat suasana yang cukup asing dalam ingatan terakhirnya. Ruangan itu serba putih dengan dinding kaca bening. Matanya yang baru terbuka harus membiasakan diri dengan pantulan sinar lampu yang sangat terang.“Padamkan beberapa lampu!” seru seorang pria. Beberapa lampu menjadi redup.“Ray?” seru Nina seraya memicingkan matanya. Ray menoleh dan tersenyum dengan hangat.“Selamat datang kembali, Nona Averin!” sambut Ray.“A-apa yang terjadi? Di mana aku?” tanya Nina masih belum paham.“Cerita yang sangat panjang,” sahut Ray. Nina memandang pantulan kaca. Tubuhnya memakai baju seragam pasien rumah sakit.“Aku butuh ke toilet,” ucap Nina dan belum mampu menguasai diri. Kebingungan akibat terbius selama beberapa hari membuatnya linglung dan gagal focus.“Aku aka
Pagi itu, suster Lisbeth mengetuk pintu Elba dengan keras. Rasanya baru setengah jam yang lalu ia tertidur. Dengan tubuh penat, Elba bangkit dan membuka pintu.“Kardinal membutuhkan dirimu, Mustafa!” seru suster Lisbeth sedikit panik. Elba segera menyambar mantel tidurnya dan bergegas mengikuti langkah wanita tersebut.Tidak sampai sepuluh menit, mereka tiba di menara doa. Keduanya menaiki tangga yang meliuk panjang ke atas. Coque dengan dua orang pastor sudah bersiap di depan pintu dengan posisi doa. Suster Lisbeth meraih rosario dan turut bergabung bersama mereka.“Apa yang terjadi?” tanya Elba. Coque menoleh dan menunjuk dengan dagunya ke kamar.“Kardinal ada di dalam bersama Abigail yang sedang mengamuk,” sahutnya pelan. Pria klimis dengan tampang dingin tersebut hanya bersiaga dengan senjata api di tangannya. Elba mengumpat dalam bahasa Iran.“Aku akan masuk!” cetus Elba.“Ja-jangan, Kardinal mengatakan untuk tetap di sini!” tahan salah