Share

Tugas • 03

Seperti biasa, pagi ini Dipta datang paling awal. Pintu Ruang Protokol masih tertutup rapat pertanda belum ada staf yang datang. Tak lama setelah Dipta masuk, Yogi dan Raki menyusul masuk bersamaan.

Raki kembali keluar setelah mengambil kunci mobil Protokol yang tergantung di lemari. Kegiatan pagi Raki selalu seperti itu, menyalakan mobil untuk dipanaskan dan menggelap mobil sampai kinclong.

Saat sedang asyik membersihkan kaca mobil ia melihat 2 gadis yang kemarin baru saja memperkenalkan diri. Mereka berdiri di lorong yang menghubungkan koridor dengan mushola dan parkiran, terlihat mereka tengah ragu untuk melanjutkan langkah menuju Ruang Protokol.

Raki berjalan mendekati keduanya.

"Dek!"

Kedua gadis itu terkejut melihat Raki yang sudah berada di samping mereka.

"Magang di Protokol, kan?" tanya Raki meyakinkan.

Keduanya mengangguk malu karena tertangkap basah seperti ini.

"Ayo masuk! Kenapa berdiri di sini?" Raki keheranan.

"Takut, Mas." Raki terkekeh mendengarnya.

"Ayo! Tak anterin."

Raki berjalan mendahului keduanya tetapi, baru beberapa langkah ia berhenti saat merasa mereka tidak mengikuti di belakangnya. Ia berbalik. "Ayo! Gak ada yang galak, kok. Sini, masuk!"

"Mas Dip! Ini adik-adik magangnya dateng, nih."

Dipta mengangkat wajahnya dari tumpukan kertas. Di depan sana  2 mahasiswi berdiri di samping Raki.

"Selamat pagi!" sapa Dipta ramah.

Keduanya menjawab dan tersenyum canggung.

"Gak usah kaku-kaku, Dek. Udah duduk dulu." Dengan nada santai Dipta menyuruh keduanya untuk duduk.

"Duduk di mana, Mas?" tanya gadis dengan rambut sebahu.

"Duduk di genteng aja, Dek," sahut Mas Yogi dari belakang.

Mereka berdua tersenyum malu. "Bukan gitu, Pak. Takutnya kan udah ada yang nempatin kursinya," jelas gadis satunya. Entah siapa namanya karena Dipta masih belum hafal nama mereka.

"Jangan dipanggil Pak, panggil Opa aja dia." Raki terbahak mendengar Mas Yogi di sebut dengan sebutan Bapak. Sebenarnya memang tidak ada yang salah mengingat usia Mas Yogi sendiri hampir mendekati kepala 5, tapi ia suka saja menistakan orang tua.

"Di situ kan banyak kursi, tinggal pilih aja. Eh, kalo nggak duduk di situ aja."

Dipta menunjuk ke arah barisan meja belakang di mana Mas Yogi duduk.

Keduanya menuruti ucapan Dipta dan berjalan menuju tempat duduk mereka.

"Terima kasih, Pak," ucap mereka pada Dipta.

Raki kembali terbahak bersama Mas Yogi mendengarnya. Sedangkan Dipta mendengus.

"Jangan panggil 'Pak', Dek. Kalo Mas Yogi dipanggil 'Pak' gak papa, sesuai sama keningnya yang udah berkerut. Kalo saya kan beda."

"Halah. Terima aja kali, Mas, udah tua juga. Emang di sini yang muda cuma gue doang." Raki kelihatan begitu puas pagi ini setelah berhasil membuat kesal dua seniornya sekaligus.

"Gak usah formal. Panggil Mas aja. Kalo yang di pojok mau dipanggil Opa silakan."

"Orang sabar, umurnya panjang, Dek," celetuk Mas Yogi.

Rasa canggung yang semula dirasakan kedua gadis itu perlahan hilang mendengar ketiganya saling melempar ejekan satu sama lain. Hingga satu-persatu karyawan lainya mulai datang.

*****

"Duh, Mas Dip! Adiknya yang ini cantik banget."

Dipta tersenyum mendengar celetukan Vista. "Emang." Jawaban enteng Dipta mendapat sorakan menggoda dari yang lain.

"Siapa namanya, Dek?" tanyanya.

"Siapa, Pak? Saya?" tanya gadis yang menjadi bahan pembicaraan itu.

"Yah! Masih dipanggil 'Pak', Mas Dip," ejek Bimbim.

"Jangan salah! Bapak yang dimaksud Kiran itu bapaknya anak-anak kita nanti." Dipta tersenyum jumawa.

"Hilih, gombal mulu," cibir Raki.

"Adiknya yang cantik namanya Kiran, Mas. Kalo satunya, yang manis namanya Jani," jelas Mbak Hima yang sebelumnya sudah berkenalan dengan keduanya. Ia tidak ingin Jani merasa terabaikan, karena sedari tadi Karin selalu mencuri perhatian. Walaupun Jani sendiri sepertinya tidak keberatan, ia juga ikut tertawa sedari tadi.

"Salam kenal ya, Kiran."

"Iya, Pak Dipta," jawab Kiran manis.

"Eh, Jani juga," tambah Dipta.

Jani tersenyum canggung dan mengangguk ke arah Dipta untuk menanggapinya.

Terdengar suara keributan dari arah luar ruangan. Kemudian muncullah Bian, Zain dan beberapa staf pria dari Humas.

"Apaan nih, rame-rame ke sini?" tanya Bimbim.

Zain cengar-cengir di tempatnya. "Mau kenalan sama adiknya yang cantik."

Raki langsung berdiri dan membentangkan kedua tangannya, menutupi pandangan orang-orang Humas ke Kiran.

"Eitss! Gak boleh."

"Cuma mau liat doang. Mas Dip!" adu Bian.

"Gak usah maruk, Yan. Di Humas kan juga bisa liat adik-adik magang, di sini biar jatahnya Protokol."

"Tuh, dengerin kata Mas Dipdip."

Ingin sekali Dipta menyumpal mulut Bimbim setiap kali pria itu menyebutnya dengan panggilan Dipdip.

"Dek Kiran! Mau kasih info aja, Mas Zain lagi jomblo."

"Lo lagi obral diri, Zain?"

"Heh! Lagian di sini yang jomblo juga pada nungguin Kiran, ya. Gue, Mas Bimbim, Mas Dipta juga, tuh."

Perkataan Raki membuat semuanya menatap Dipta terkejut. Sedangkan Dipta menatap mereka dengan pandangan yang seolah berkata 'Apaan sih lo pada?'. Kemudian Zain kembali berubah.

"Usaha, Bim. Sewot banget sih, lo pada. Awas aja ntar kalo gue jadian sama Kiran, kagak gue traktir lo pada!"

Mereka menggelengkan kepala mendengar ucapan pria bertubuh tinggi itu.

"Dek Kiran, mau nggak punya pacar tukang halu kayak gitu?" tanya Vista.

Kiran tersenyum kaku, agak bingung dengan situasinya. Mereka semua sedang membicarakannya sekan-akan ia sedang tidak berada di sini.

"Saya hobinya ngehalu, Mas. Kalo masnya juga suka ngehalu, gimana jadinya nanti?"

"Jadi, pacarannya cuma halu," simpul Bimbim membuat gelak tawa terdengar di ruang itu.

Ruangan yang didominasi para pria yang jika tertawa menggelegar sampai terdengar hingga ruang kantor paling pojok itu terus berisik dengan candaan dan tawa hingga setengah jam kemudian seorang wanita paruh baya berbaju rapi masuk ke dalam ruangan.

"Heh! Lagi ngetawain apa, sih? Suara kalian kedengaran sampek pojok sana," tegur wanita itu.

"Eh, Bunda!" seru Vista.

"Lagi bicarain Bian yang jomblo terus, Bund."

Wanita bernama Asti Wistiasih yang menjabat sebagai Kabag Humas dan Protokol itu menggelengkan kepala menatap Raki.

"Ini acara jam 10 di Ruang Anjuk ladang siapa yang ikut?"

"Perlu MC gak, Bund?" tanya Mas Yogi.

"Gak tau. Tapi kayaknya belum, deh. Tapi buat jaga-jaga, Protokol bawa, aja."

"Ya udah buat MC nya Vista sama Mas Yogi," putus Dipta.

"Yang menghadiri siapa aja, Bu? Sama nanti nametag nya di taruh di kursi apa meja?" Kini berganti Mas Abi yang bertanya memastikan.

"Yang dateng sedikit, kok. Bapak, Kajari, Polres, saya kirim lewat wa aja ya listnya."

"Kalo yang dateng sedikit, ditaruh di meja aja, Mas," tukas Dipta pada Abi.

"Siap, Mas."

"Ayo cepetan siap-siap ke sana!" Setelah menyuruh mereka bersiap-siap termasuk Bian dan Zain yang menjadi dokumentasi, Bu Asti kembali berjalan ke ruangannya.

Bian dan Zain sudah kembali ke ruangan Humas untuk mempersiapkan peralatan mereka. Mas Yogi menyiapkan HT untuk di bawa. Raki yang mondar-mandir untuk mencari pin nametagnya yang entah berada di mana.

Mas Abi berjalan ke arah lemari kaca yang berisi tumpukan nametag untuk di bawa ke sana. Di bantu Bimbim ia mencari nametag dengan nama jabatan yang akan hadir nanti.

15 menit kemudian semua siap. Mas Yogi dan Vista yang akan menjadi MC jika pihak sana belum menyiapkan MC. Bimbim, Raki, dan Mas Abi akan membantu jalannya acara, dan mengatur tempat. Jika dibutuhkan nanti Mbak Hima akan menjadi penyambut tamu.

"Nanti kalo udah mau mulai kabarin gue," ucap Dipta sebelum keenam orang itu meninggalkan Ruang Protokol.

Di saat semuanya sudah keluar, 25 menit kemudian Dipta mendapat kabar bahwa acara akan dimulai. Dipta bersiap untuk menyusul ke Ruang Anjuk Ladang.

“Mas Angka, adik-adiknya nanti bisa di kasih tugas, ya,” perintah Dipta sebelum meninggalkan ruangan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status