Bella Salvatore is the daughter of a well-known Mafia Don, Arcano Salvatore. Following in her father's footsteps she decides to inherit her father's illicit business. Everything is going exactly as planned until she meets Sasha Petrov. A Russian detective with dark family history.
View More"Ugh!" Suara lenguhan panjang terdengar memenuhi ruang kamar saat Andi menyelesaikan permainannya.
"Enak," ucap Andi, merasakan nikmat yang tiada tara. Namun berbeda dengan Febby yang tidak merasakan klimaks sama sekali. Wajahnya menyiratkan kekecewaan mendalam. "Sudah keluar Mas? Kok cepet banget, ngga sampai satu menit. Perasaan baru masuk." Febby mengeluh sambil menghela napas panjang. Sudah sering dia mengatakan kalau dia tidak pernah puas dengan permainan suaminya. Dia juga tidak pernah merasa ada yang keluar dari bagian inti tubuh, yang menandakan dia belum mencapai puncak. Namun Andi seolah masa bodo. Yang penting nafsunya tersalurkan. "Aku lelah. Tadi itu aku udah berusaha untuk lama, tapi malah keluarnya cepet." Selesai melampiaskan hasrat, Andi berbaring di sebelah istrinya tanpa merasa bersalah sama sekali. Raut kesal dan kecewa terlihat jelas di wajah Febby, yang selama dua tahun menjadi istri sah Andi. Selama dua tahun itu dia tidak pernah merasakan klimaks saat berhubungan dengan suaminya. Kenikmatan hanya dirasakan oleh Andi, bahkan Andi tidak pernah membuatnya nyaman di atas ranjang. Andi juga kurang perhatian, hanya memikirkan diri sendiri. Pernikahan dua tahun terasa semakin hambar bagi Febby. Namun tidak ada yang bisa dilakukan. Toh Febby yang memilih laki-laki itu menjadi suaminya dan mereka sedang menjalani program kehamilan. Ya, Andi dan Febby sudah didesak oleh kedua orang tua mereka agar secepatnya memiliki anak, tetapi sampai detik ini tidak ada tanda-tanda Febby mengandung buah cinta mereka. "Kamu mau langsung tidur Mas?" tanya Febby pada suaminya yang baru saja pulang kerja dan meminta dilayani. Selesai dilayani, Andi berbaring di ranjang sambil memejamkan mata. "Iya, aku ngantuk. Kamu masak makan malam aja dulu. Kalau udah mateng semua, bangunin." Febby menghela napas panjang, turun dari ranjang lalu memakai pakaian satu per satu. Matanya melirik Andi yang terlelap, padahal baru saja kepala suaminya itu bersandar ke atas bantal. Tidak ada ucapan terima kasih. I love you. Atau gombalan yang keluar dari mulut Andi, membuat Febby merasa tidak dicintai sama sekali. "Mandi dulu dong Mas, masa langsung tidur." "Hem," sahut Andi datar. Selesai memakai pakaian, Febby melangkah mendekati pintu lalu keluar. Sedangkan Andi sudah jauh mengarungi mimpi. Langkah kaki Febby dihentikan oleh ibu mertua di ambang pintu dapur. Wanita paruh baya itu menatap wajah menantunya yang lesu sambil mengerutkan kening. "Kamu kenapa, Feb?" "Ngga apa-apa Bu," jawab Febby, pelan, melanjutkan langkah kakinya mendekati kulkas. Ratih mengikuti Febby ke dapur, membantu menantunya menyiapkan bahan makanan. Sejak kemarin wanita paruh baya itu menginap di rumah kontrakan dua kamar tersebut. Satu bangunan rumah yang baru dua bulan ditempati itu berada di komplek perumahan Melati. Rencananya Andi ingin mencicil rumah yang mereka tempati sekarang agar tidak bayar kontrakan lagi. "Suami kamu mana, Feb?" tanya Ratih. "Mas Andi tidur Bu. Katanya capek," jawab Febby seraya mengeluarkan bahan makanan dari dalam kulkas dua pintu. Beberapa jenis sayur dan ikan segar dia letakan di dekat wastafel untuk dibersihkan. "Kamu udah konsultasi lagi ke Dokter Kandungan?" tanya Ratih pada menantunya. "Udah Bu, katanya aku sama Mas Andi harus sering minum vitamin biar subur. Aku udah dikasih resep vitamin itu. Semoga aja ada kabar baik bulan depan." "Amin," ucap Ratih. "Selain berkonsultasi ke Dokter, kamu juga harus pergi ke Dukun beranak. Atau ke mana kek. Biar kamu cepet isi." "Udah Bu, tapi emang dasarnya belum dikasih aja. Kalau memang belum rejekinya, ya mau gimana lagi." "Kalau gitu, coba kamu konsultasi ke Dokter lain. Misalnya ke Dokter Dirga. Dia sepupunya Andi. Siapa tahu dia bisa bantu kalian. Kasih saran apa untuk membantu mempercepat kehamilan kamu." Febby terdiam. Sebenarnya sudah beberapa kali mereka gonta-ganti dokter, tetapi tidak ada perubahan sama sekali. Beberapa dokter juga menyarankan untuk memeriksa kesuburan satu sama lain, namun Andi selalu menolak dan mengatakan kalau dia sehat. Sementara, selama berhubungan Febby tidak pernah merasa puas. Bahkan durasinya hanya sebentar, tidak sampai tiga menit langsung crott. "Lebih baik kamu coba dulu saran Ibu," ucap Ratih yang selalu mendesak Febby agar cepat hamil. Andai kehamilan bisa dibeli, Febby akan membelinya agar bisa secepatnya memberi gelar ayah pada sang suami. "Kalau kamu ragu, mending komunikasikan dulu sama Andi. Biar kalian lebih yakin. Ibu sih percaya sama Dokter Dirga. Banyak kok pasien dia yang berhasil hamil." Febby menghela napas panjang. "Nanti aku coba bicarakan sama Mas Andi. Kalau dia mau, besok aku dan Mas Andi ke tempat praktek Dokter itu." Ratih tersenyum, "Nanti alamatnya Ibu kasih ke kamu. Kamu dan Andi langsung ke sana aja. Nanti Ibu bikin janji biar kalian ngga antri." "Iya Bu, makasih." Saat sedang berbincang, Andi datang mendekati kedua wanita di dapur. Pria yang memiliki tinggi 170cm itu duduk di depan meja makan dengan lesu. "Bikinin aku kopi," katanya memerintah Febby. "Tunggu sebentar Mas. Aku lagi masak." "Ck! Aku maunya sekarang!" Andi mengeraskan suaranya, membuat Febby terhenyak kaget. Ratih dan Febby saling tatap, Ibu mertuanya itu memutar bola mata meminta Febby menurut saja. "Biasa aja dong Mas, jangan marah begitu," sahut Febby kesal. "Kamu ini. Suami minta kopi malah nanti-nanti. Utamakan melayani suami dulu, baru yang lain! Gimana sih!" cecar Andi memarahi Febby. Ratih hanya diam, tak membela menantunya ataupun menasehati Andi. Baginya pemandangan seperti itu sudah biasa terjadi. Dia pun mengalami di rumah. "Sabar Mas." Terpaksa Febby menunda masakannya dan membuat kopi untuk Andi yang sudah tidak sabar. Dengan perasaan kesal, Febby meletakkan kopi hitam pesanan suaminya ke atas meja. "Mau apa lagi Mas? Sekalian aja, aku mau masak." Andi melotot, menatap istrinya seperti ingin menelan hidup-hidup. "Kamu ngga iklhas?" "Bukan ngga ikhlas Mas, aku kan cuma nanya sama kamu. Kamu mau apa lagi? Biar aku ambilin sekalian." "Ngga ada, aku cuma mau kopi." "Ya udah," sahut Febby pelan. Ia kembali melanjutkan memasak makan malam, meski perasaannya kesal. Sikap dingin Andi sudah berlangsung lebih dari satu tahun. Tanpa alasan yang jelas, Andi tiba-tiba jadi kasar dan bahasanya tidak pernah lembut seperti dulu. Febby curiga suaminya memiliki wanita idaman lain di luar sana, namun ia tidak pernah mendapatkan bukti apapun perselingkuhan itu. Suasana hening. Di ruang dapur yang tidak luas itu hanya terdengar suara dentingan sendok dan panci. "Mumpung ada Andi di sini. Ibu ngomong aja langsung sama kalian berdua." Ratih membuka pembicaraan di ruang sunyi itu. Andi mendongak, "Ngomong apa Bu?" tanyanya datar. "Ibu mau ngasih saran, gimana kalau kamu dan Febby konsultasi aja ke Dokter Dirga. Sepupu kamu itu. Dia kan Dokter kandungan terkenal. Kebetulan dia buka praktek di Jakarta. Kalian bisa ke sana. Kalau kamu mau, nanti Ibu bikin janji sama dia. Biar kalian ngga antri panjang. Maklum, pasien dia kan banyak." Andi manggut-manggut. "Oke, aku setuju. Aku dan Febby akan ke sana." Ratih tersenyum. Ia tatap menantunya yang tengah sibuk mengaduk sayur di dalam panci. "Kamu dengar kan. Suami kamu setuju. Kamu juga setuju kan?" tanya Ratih pada menantunya itu. "Iya Bu, aku setuju," jawab Febby.I sat in silence. The noise of the windshield wipers filled the empty car. I was waiting for Ayla and Neko to get out so we could go home. I had gone through enough human interaction for one day.My hands found their way to the radio button, the music filled the car leaving the noise of the windshield wipers behind. I sighed and closed my eyes. I leaned my head back against the headrest.The sounds of the doors to the car opening and closing made me painfully aware that someone had climbed in.Expecting to see Neko and Ayla in the car I was surprised when my eyes met my father’s. A scowl found its way to my face as I stared at him.“You can't hate me forever Tesoro.”
“Welcome Home Young Miss” Giovanni smiled as he bowed to me. “Giovanni” I acknowledged as I made my way inside. “Tesoro!” My father smiled as he walked down the hall. “Arcano, stop calling me that.” I sighed in annoyance. “Must you always be such a sourpuss?” My father grumbled as he pulled me into a hug. I placed my right hand on my father’s back, feigning a hug back. “Good Evening Neko” Arcano smiled as he let me go and pulled Neko into a hug. “Good Evening Mr. Salvatore” Neko smiled as I rolled my eyes at their interaction. Neko engulfed my father in a warm hug and almost seemed like they melted into each other. “Who is this?” “G-Good Evening Sir. My name is Ayla and I am Miss Bella's Slave.” Ayla smiled and bowed down to show my father respect. “You are such a sweetheart” My father smiled. “She is an Elven slave and as of right now, she is under Salvatore protection. Unless you have a problem with that Arcano.” “Not at all my Darling Tesoro.” “Very well sin
I watched as the slaves I bought were practicing their martial arts. The Lizardman was exceptional at close combat but the elven girl was falling behind and honestly that annoyed me. She was proving to be nothing but a nuisance. We were currently in the training arena that I had made on the property. It was small but with the money, I plan to make off of my new slaves and I would be able to expand the arena. “Master, someone called for you.” Neko smiled as she sauntered her way to me. I ignored her like always and picked up the phone from her hand. “What?” I questioned. “Tesoro!” my father shouted out in glee. I rolled my eyes and hung up and handed Neko the phone. “Wasn't that your father?” “Yes.” “Are you angry with him, Master?” “I don't have the energy to deal with him today.” The phone in Neko's hand started to ring once again. This time, however, Neko answered. “Hello?” “Oh yes, sir… Very well I will let her know” “Goodbye” Neko smiled as she hung up.
“Master! Your home!” Neko yelled as I opened the front door of the house and walked in. Nicoli who was with me walked in behind me and shut the door making sure to lock it. I could hear Neko running down the stairs as she stomped on each step. I thought cats had light footsteps. Nicoli and I walked into the living room and I simply sat on the couch. Nicoli followed and sat next to me. “Has the pantherean woman started to adjust to her role here in the home?” Nicoli questioned. “I would like to think so. So far she has cooked multiple meals and so far has kept the house clean.” I replied as I stood from my seat and walked towards the mini-bar I had in the living room.
“Starting today you will be living in this house with me. Your room is down the hall. If you have a specific food that you like please let me know so I can have it delivered here. I’ll order some clothes for you. Until then I’ll find you something to wear.” I spoke out nonchalantly as I walked into my home. “What should I call you?” Neko whispered. “Master,” I replied curtly and made my way to the kitchen. “Are there any specific skills that you have?” I questioned as I felt Neko following me. “I can play the piano.” “Anything useful?” I added in annoyance.
"Buon compleanno Tesoro" My father smiled at me as he wished me a happy birthday. "Thank you, Arcano" I simply replied. "Perché non mi chiami papà?" My father replied in a hurt tone. "You know why Arcano, and please stop speaking Italian, we both know very well you speak English," I replied nonchalantly. "Must you always be so serious?" "I was born this way and I shall die this way," I replied as I took a seat at the dinner table. “Where is everyone?” I questioned as I looked around the empty dining room. “They had errands to run, Tesoro.” My father smiled at me. “Stop It.” “Stop what?” “I know damn well you are planning a birthday party for me. I don’t do parties and you know it” I sighed in annoyance. “Don’t be ridiculous, I would never throw you a surprise birthday party.” “You are lying through your teeth Arcano.” I spat as I rose from my seat and headed out of the door in search of my father’s henchmen. “Nicoli! Giancarlo!” I yelled out looking for my fa
Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.
Comments