Share

06. Jalan Sudirman

Kaluna menatap cafe tersebut dari seberang jalan. Jalannya terhenti tiba-tiba dan rasa ragunya mulai menyerang. Karena sudah kepalang pusing dengan keinginan salah satu penulisnya, akhirnya dengan sedikit keberanian Ia memutuskan kembali ke Cafe Naluna sesuai usulan Lila. Namun saat sudah sampai disini, Kaluna malah enggan melanjutkan langkahnya.

“Mau nyebrang mbak?” tanya seorang laki-laki tinggi menjulang dengan aksen bicaranya yang sedikit unik, seperti ada aksen yang berbeda dengan orang daerah sini.

“I-iya mas,” gagap Kaluna.

“Hayuk, saya juga mau nyebrang,” ajak laki-laki itu.

Kaluna akhirnya hanya bisa menghela nafasnya, pasrah. Mungkin dirinya memang harus merecoki orang asing lagi. Tanpa disangka-sangka laki-laki yang tadi menyebrang dengannya juga ikut masuk ke cafe tersebut. Bahkan Kaluna bisa melihat Delvin menyapa laki-laki tersebut dengan akrab.

Kaluna menghela nafasnya. Dengan langkah pelan Ia menuju meja kasir guna memesan minuman. Delvin menerima pesanannya dengan tenang, sebuah fakta baru bagi Kaluna kalau laki-laki dihadapannya ini adalah tipe orang yang tidak terlalu banyak bicara.

“Permisi Delvin, saya boleh ajak kamu ngobrol sebentar?” tanya Kaluna.

Respon pertama yang Kaluna dapatkan adalah wajah bingung Dalvin, namun laki-laki itu segera mengangguk.

“Tunggu pesanannya jadi dulu di meja, nanti saya kesana,” ucap Delvin.

Kaluna mengangguk lalu memilih salah satu kursi kosong didekat jendela. Susasana cafe ini tidak terlalu ramai seperti biasanya, mungkin karena masih jam kerja. Kaluna mengeluarkan laptopnya dan mengerjakan sesuatu hingga fokus nya teralihkan saat segelas matcha latte dingin sudah tersaji manis dihadapannya lengkap dengan sang barista yang sekarang duduk dihadapan Kaluna.

Kaluna berdeham sedikit, netranya sedikit ragu-ragu untuk menatap laki-laki didepannya. Bukan tanpa alasan dirinya seperti ini, hanya saja Ia rasa ini tidak benar.

“Jadi gini, tentang orang yang suka gambar di kertas buram yang pernah kamu ceritakan. Saya boleh minta kontaknya?” tanya Kaluna.

“Buat?” jawab Delvin.

“Enggak, gak buat aneh-aneh kok!” seru Kaluna membuat Delvin tanpa sengaja tertawa kecil.

“Jadi gini, saya kerja di kantor penerbitan bagian desain packaging , kebetulan sedang mencari orang yang bisa gambar sketsa untuk salah satu buku cetakan kami. Saya bingung mau minta tolong siapa, siapa tahu kenalan kamu itu bisa bantu saya,” jelas Kaluna.

Kaluna pasrah, dia bisa saja ditolak karena privasi dan Ia tahu itu. Yang penting sekarang dia sudah mencoba.

“Kebetulan orangnya ada disini,” ucap Delvin yang disambut wajah cerah dari Kaluna.

Delvin pamit sebentar untuk memanggilkan orang tersebut. Kaluna kaget saat Delvin kembali membawa sosok laki-laki yang tadi menyebrang bersamanya. Ia tak menyangka kalau laki-laki tinggi, dengan rahang kokoh, senyum smirk dan penampilan khas bad boy itu merupakan orang yang dicari-carinya.

“Kaluna, kenalin ini Kama yang suka gambar di kertas buram,” ujar Delvin.

Kaluna pun berkenalan dengan sosok Kama tersebut. Meskipun otaknya menolak untuk percaya bahwa gambar cantik bisa keluar dari tangannya, namun mau tak mau Ia harus percaya karena sekarang hanya Kama lah yang bisa membantunya.

Kaluna pun menjelaskan maksud kedatangannya dan langsung diterima baik oleh Kama. Obrolan keduanya berlangsung lama bahkan Kaluna tak sadar kalau jam makan siang sudah selesai dari tadi. Keraguan Kaluna sirna saat Kama bisa membuktikan bahwa sketsa buatannya memang bagus, tapi entah kenapa ada yang berbeda dari hasil gambar Kama dengan gambar yang ada di kertas buram yang Kaluna bawa. Serupa namun tak sama, entah dari mana Kaluna bisa melihatnya, yang pasti untuk sekarang Ia tak terlalu memusingkannya. Kama orangnya asik, sehingga Kaluna mudah akrab dengannya.

“Kalau begitu sampai bertemu seminggu lagi ya Kama, makasih banget udah mau bantuin,” ujar Kaluna.

“Iya, Na. Santai aja. Kamu pulang naik apa?” tanya Kama.

“Kayaknya naik taksi online deh,” jawab Kaluna.

“Sama Delvin aja, dia juga mau pulang, udah mau sore juga Na,” usul Kama.

Tentu saja hal itu mengundang raut wajah tak enak dari Kaluna, dirinya sudah merepotkan dua orang itu hari ini, masa sekarang pulang saja harus nebeng. Kaluna dengan halus menolak ajakan tersebut terlebih di depan meja kasir sosok Delvin yang sudah lengkap dengan jaket dan tasnya menatap Kaluna dan Kama dengan seksama.

“Saya antar, kebetulan saya juga mau pulang,” ucap Delvin.

Bisa terlihat raut wajah Kaluna merasa tak enak sedangkan Kama tersenyum menang. Kama menjelaskan bahwa semuanya akan baik-baik saja jika ada Delvin, dan Kaluna hanya bisa terdiam.

“Mau mampir makan? Saya lihat tadi kamu skip jam makan siang,” tanya Delvin.

Keduanya kini sudah duduk manis diatas motor milik Delvin. Motor Delvin bukan motor moge ataupun motor berharga puluhan juta, hanya ada motor matic keluaran tahun lalu berwarna biru yang nyaman dikendarai.

“Ah iya boleh,” jawab Kaluna.

Kaluna sendiri lupa kalau dirinya belum kemasukan makanan sejak tadi pagi. Ia hanya sarapan sedikit, pantas saja perutnya sedikit tidak enak.

Delvin melajukan motornya kearah jalanan sudirman. Jalan ini dipenuhi dengan pedangang warung kaki lima dan juga ada area seni jalanan yang terlihat disepanjang jalan. Area seni jalanan sudirman ini tentu saja sudah terkenal didaerah ini, sepanjang jalan sudirman dipenuhi dengan lukisan di dinding-dindingnya, juga dengan para pelukis jalanan, ada juga beberapa anak muda yang membuat pertunjukan musik di ruang terbuka. Tak jarang tempat ini menjadi pusat berkumpulnya para anak muda dikota ini.

Kaluna jarang kesini karena memang tempatnya cukup jauh dari kontrakan, Ia akan kemari jika Evan sudah merengek untuk minta ditemani membeli komik bekas di ujung jalan ini.

Delvin memberhentikan motornya disalah satu warung makan soto ayam yang cukup ramai. Kaluna turun dan segera mencari tempat duduk sedangkan Delvin memesan makanan. Jalan sudirman memang sudah ramai bahkan sebelum malam tiba. Ini masih jam tiga sore tapi setiap tempat sudah ramai dengan pelanggannya sendiri-sendiri.

“Gak papa kan makan disini?” tanya Delvin.

Kaluna tersenyum dan mengangguk.

“Saya bukan orang hedon, makan di pinggir jalan kayak gini udah jadi kebiasaan saya,” jelas Kaluna.

“Kamu sering main kesini?” tanya Kaluna.

Delvin tidak langsung menjawab melainkan menatap jalanan dengan tenang, Kaluna juga tidak mendesak, Ia menunggu.

“Sering, sampai bapak-bapak yang disana kenal saya. Ibu-ibu yang sedang menggoreng gorengan itu juga kenal saya, bahkan pemilik warung soto ini sepertinya tau kisah hidup saya,” jawab Delvin yang disambut tawa manis dari bibir Kaluna.

Kaluna menatap kearah bapak-bapak yang dimaksud Delvin, seorang pria tua yang berjualan camilan tradisional. Hati Kaluna terenyuh, hatinya seakan diremas kuat-kuat melihat bapak tua masih mencari nafkah di saat usia sudah mengikis tenaga dan juga raganya.

“Jangan dilihat gitu, kalau bapaknya tahu bisa-bisa kamu dimarahin,” kata Delvin.

Kaluna menatap Delvin bingung.

“Kenapa?” tanya Kaluna.

“Kurang tahu karena beliau gak pernah cerita sama saya, tapi yang pasti dia paling gak suka ditatap seperti itu,” ujar Delvin.

Percakapan keduanya terhenti karena makanan yang mereka pesan sudah tersaji didepan mata. Keduanya menyantap soto ayam tersebut dengan lahap. Kaluna menikmati suasana sore itu, suasana jalan sudirman yang hangat dengan bunyi klakson dan para musisi jalanan serta semangkuk soto ayam murah meriah yang rasanya enak sekali. Rasanya sudah lama Kaluna tidak menikmati waktu-waktu seperti ini, dan anehnya Ia justru melakukan hal ini dengan Delvin yang adalah orang baru dalam hidupnya.

Kaluna menghabiskan makannya terlebih dahulu, karena kini Delvin masih sibuk dengan piring keduanya. Ia memutuskan untuk membeli beberapa camilan untuk Lila disekitar sana sembari menunggu Delvin selesai dengan makanannya. 

Ia memutuskan membeli beberapa crepes, sambil menunggu Kaluna juga sempat memotret beberapa hal karena menurutnya menarik. Kegiatannya terhenti kala seorang anak kecil mendatanginya dengan beberapa lembar kertas.

"Kakak, mau beli gambar ayahku? biar aku bisa cepat pulang dan Ayah juga dapat uang,"ucap anak laki-laki itu.

Kaluna merendahkan tubuhnya setara dengan tinggi anak itu dan melihat gambar-gambar tersebut.

"Berapaan?" tanya Kaluna dengan senyum manisnya. 

Melihat anak kecil itu membuat Ia kembali teringat dengan masa lalunya. Ada sosok kaluna kecil disana, bedanya Ia harus bertahan sendirian sedangkan anak ini masih ada orang tua dibelakangnya.

"Lima belas ribu aja kak."

Kaluna mengeluarkan selembar uang seratus ribu lalu memberikannya pada bocah laki-laki itu dan mengambil satu buah gambar untuknya.

"Kakak ambil satu yah, gambarnya bagus,"ucap Kaluna.

"Gak ada uang kecil kak?"

"Kembaliannya buat kamu aja," ujar Kaluna.

Wajah bocah laki-laki itu langsung senyum sumringah dan berlalu pergi membuat Kaluna juga tak bisa menahan senyumannya. 

Namun baru saja hendak pergi dari sana, seorang pria paruh baya datang menghampirinya.

Bapak tersebut memberikan beberapa lembar gambar pemandangan dan berujar, "Saya gak bisa menerima kembalian sebanyak itu mbak, saya tahu maksud mbak nya baik dan saya berterima kasih tapi saya juga gak enak sama mbaknya. Boleh ya mbak bawa saja beberapa gambar saya kalau gak keberatan."

Kaluna tentu menolak, niat dirinya memang untuk membantu mereka tapi sepertinya bapak ini keberatan dengan tindakan Kaluna. 

"Saya gak bermaksud pak," jelas Kaluna tak enak hati.

Bapak itu tersenyum ramah, "Saya tahu mbak, makannya tolong ambil saja gambar-gambar saya yang paling mahal biar saya juga dengan senang hati bisa menerima uang mbak. Anggap saja ini juga bentuk terima kasih saya."

Akhirnya Kaluna mengangguk dan mengambil dua gambar lagi kemudian anak dan bapak tersebut pamit pergi. 

Ternyata Delvin sedari tadi memperhatikannya, laki-laki itu tersenyum tipis dan berdiri disamping Kaluna yang masih menunggu crepes pesanannya jadi.

"Saya dulu juga gitu, maunya bantu mereka dengan uang lebih tapi malah pulang bawa banyak gambar. Gambarnya memang gak sebagus karya orang terkenal tapi cerita dibaliknya itu beragam," ujar Delvin.

"Kamu kenal mereka?" tanya Kaluna. 

"Anaknya namanya Doni dan bapaknya Pak Juna, saya ketemu mereka pas pertama kali kesini. Ceritanya hampir sama seperti yang kamu alami barusan," kata Delvin.

"Tindakan aku nyinggung mereka gak sih?" tanya Kaluna lagi.

Delvin menggeleng, "Enggak, mereka maklum karena kamu gak tau."

"Gimana?"

"Hampir semua seniman di sini punya pemikiran sama, gak semua yang terlihat miskin dan tidak punya apa-apa mentalnya pengemis. Mereka akan menerima sesuai apa yang mereka keluarkan. Prinsip jual beli, karena sekali lagi, mereka gak punya mental ngemis. Kembalian sekecil lima ratus rupiah bakalan mereka cari untuk dibalikin ke kamu," imbuh Delvin. 

Penjelasan Delvin sore itu berhasil membungkam Kaluna. Sepanjang jalan Ia terus memikirkannya. 

Bahkan orang yang tidak seberuntung Kaluna mempunyai prinsip demikian tegasnya, lalu seperti apakah Kaluna hidup selama ini? Apakah selama ini hidupnya berjalan tanpa ketegasan? 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status