Share

05. Tentang Luka

“Ya ampun La, aku gak usah ditemenin juga gak kenapa-napa,” ujar Kaluna yang sedang menuangkan soto ayam kuah bening yang tadi Ia beli kedalam mangkok.

Sepulang dari kantor Lila mengatakan bahwa dirinya akan menginap. Lila tahu jika hari ini dan tiga hari kedepan Kaluna sendirian di rumah karena Evan pergi olimpiade untuk itu sekitar jam tujuh malam setelah Kaluna sampai dirumah, Lila datang dengan rantang makanan buatan sang ayah. Malam ini makanan di rumah Kaluna melimpah.

“Aku takut kamu gak keurus,” cicit Lila.

“Enak aja! Aku mandiri tau,” elak Kaluna.

Lila hanya bergumam kecil mencibir Kaluna yang sok mandiri walaupun kenyataannya memang benar adanya. Mana bisa menyebut seorang Kaluna tidak mandiri padahal selama bertahun-tahun hidupnya hanya berdua dengan sang adik.

Kaluna masuk kekamar guna mengganti baju nya dengan piama. Lila yang sudah selesai menata makan malam mereka akhirnya berteriak karena bosan.

“Pakek piama yang aku beliin! Buruan!” teriak Lila.

Kaluna keluar dengan piama lengan pendek berwarna biru yang dibelikan Lila sebagai kado ulang tahunnya beberapa bulan lalu. Lila tersenyum tipis, Ia tahu alasan mengapa Kaluna selalu menggunakan baju lengan panjang dan celana panjang bahkan dihadapan sang adik. Kaluna tak pernah menggunakan baju yang memperlihatkan lengan dan kakinya. Ada banyak bekas luka yang harus Ia tutupi dari orang lain dan juga sang adik.

Kulitnya tak semulus kebanyakan perempuan, bahkan ada beberapa bekas luka yang menjadi hitam. Luka-luka itu menyimpan banyak sekali kenangan pahit. Luka dilengan kanannya sepanjang lima sentimeter Ia dapatkan saat jatuh sepulang dari sekolah ketika Ia ada di bangku SMP karena salah satu teman sekolahnya sengaja menabrak Kaluna hingga jatuh dari sepeda. Bekas luka di siku kiri nya akibat tindak bully yang Ia dapatkan saat sekolah dasar. Juga bekas luka yang sedikit hitam dikaki nya yang Kaluna dapatkan saat bekerja sebagai buruh pabrik dan saat dirinya bekerja menjadi buruh pemecah batu di sungai. Semua itu Kaluna lakukan untuk menyambung hidup semenjak ayahnya meninggal delapan tahun lalu.

“Kan kalau gini aku bisa lihat tanda-tanda penuh prestasi itu,” goda Lila.

“Dasar kamu!” seru Kaluna.

Lila tahu bagaimana perasaan Kaluna saat melihat luka-luka itu. Namun Lila selalu membuat Kaluna lebih sering melihat bekas lukanya, bukan untuk menyiksa Kaluna secara mental namun untuk melatih Kaluna agar bisa berdamai dengan kepahitannya itu walaupun semuanya pasti terasa lebih sulit daripada saat mendapatkan bekas lukanya.

“Aku tadi ketemuan sama Penulis Biru di café. Café nya bagus, kapan-kapan aku traktir disana,” ucap Kaluna.

“Pasti mas barista nya ganteng ya?” tebak Lila membuat Kaluna tertawa keras.

Memang sedari tadi selain sosok Anna yang mengusiknya, ada pula sosok Delvin yang membuatnya terganggu. Barista Café Naluna itu berhasil membuatnya tertarik padahal tidak ada suatu yang berarti di pertemuan pertama mereka.

“Mas nya gak seganteng Mas Gama, tapi gak tau kenapa kok dibelakangnya kayak ada cahaya gitu,” ujar Kaluna membuat Lila yang sedang menikmati kuah sotonya tersedak namun setelahnya tertawa terbahak-bahak.

It’s about cringe thing, ada cahaya terus zoom in diwajah si masnya backgroundnya ngeblur,” imbuh Lila masih dengan tawanya.

Kaluna ikut tertawa membayangkan hal itu meskipun sebenarnya tidak ada hal seperti itu tadi. Ia hanya menambahkan bumbu agar lebih seru saja.

Sebuah jam dinding di kamar Kaluna menunjukkan pukul satu dini hari namun mata Kaluna tidak juga terpejam. Ia masih khawatir akan kehadiran Anna tadi. Walaupun dirinya sempat lupa karena sibuknya pekerjaan dan juga kehadiran Lila disini, namun entah kenapa perasaannya tak enak.

Kaluna keluar dari kamar menuju kamar sang adik. Kamar Evan lebih rapih dari ukuran kamar laki-laki, adiknya itu tak suka berantakan sehingga setiap pagi selalu merapikannya. Kaluna menatap bingkai foto yang berada dimeja belajar adiknya, ada Ayah, Ibu, Kaluna dan Evan kecil yang sedang berjalan-jalan di danau yang indah. Danau yang mungkin tidak akan bisa mereka jumpai lagi.

“Sudah sepuluh tahun kita pindah dari sana, dan udah delapan tahun Ayah sama Ibu ninggalin Kaluna. Luna takut, tadi Luna ketemu Anna. Ayah pernah bilang kalau Luna bisa mempercayai keluarga Anna, ta-tapi setelah semua yang terjadi Yah, Luna gak bisa percaya sama siapapun lagi terlebih orang-orang dari kota itu,” ujar Kaluna.

Dikamar yang sepi itu, Kaluna mencurahkan isi hatinya pada sebuah bingkai foto keluarganya. Berharap sang Ayah bisa mendengar dirinya berkeluh kesah tentang ketakutannya dari tempat yang indah. Dan sekali lagi, Kaluna meredam tangisannya sekuat tenaga, dirinya tak boleh lemah apapun yang terjadi. Ia harus kuat demi adiknya.

Keesokan harinya Kaluna terbangun diatas kasur milik Evan. Mata nya bengkak karena semalam menangis, tentu saja kini dirinya bingung bagaimana harus beralasan pada Lila. Tak mungkin Kaluna memakai kacamata ke kantor, itu lebih tak masuk akal lagi.

“Mata kamu kenapa?!” jerit Lila tertahan.

Sekarang gadis itu terlihat memutari tubuh Kaluna guna melihat apa yang salah dari sahabatnya itu. Tadi pagi dirinya terbangun sendirian tanpa Kaluna disampingnya, melihat kamar Evan yang tadinya tertutup menjadi sedikit terbuka membuat Lila sedikit lega setidaknya Kaluna tidak mendahuluinya pergi ke kantor, Namun sekarang melihat mata sahabatnya itu terlihat mengerikan, membuat Lila berpikir banyak kemungkinan di otaknya.

“Kamu nangis?” tanya Lila.

“Enggak,” elak Kaluna sambil mengambil sepiring sarapan yang disediakan Lila.

Kaluna menyantap makanan nya dengan sedikit terburu karena tatapan Lila justru semakin membuatnya risau.

“Kamu teh beneran nangis ini,” tebak Lila entah sudah keberapa kalinya.

“Cuma digigit semut kok, kalau nggak paling di kencingin kecoak,” elak Kaluna tak mau kalah.

“Mana ada kecoak dikamar adikmu!” protes Lila.

Pagi itu keduanya menghabiskan sepanjang jalan kekantor dengan mulut Lila yang tak berhenti bertanya dan juga Kaluna yang terus-terusan mengelak.

***

“Loh mas, itu sampul bukunya seriusan pakai vector dari penulisnya?” tanya Kaluna untuk kedua kalinya.

Kini Kaluna dan tim divisinya sedang mengadakan rapat mengenai beberapa packaging novel yang akan mereka rilis dalam waktu dekat. Namun Kaluna masih ragu untuk menggunakan vector dari sang penulis, karena tidak ada kepastian tentang hak cipta desain tersebut yang digunakan sebagai cover cerita di platform digital.

“Penulisnya mau itu Na, katanya juga itu karya dia sendiri,” jawab Gama.

Akhirnya Kaluna memutuskan untuk mengikuti ucapan Gama walaupun sebenarnya Kaluna masih ragu karena sepertinya Ia pernah melihat desain yang sama namun tak menemukan buktinya. Dan juga novel tersebut harus terbit minggu depan juga karena sudah terlalu lama molor sebab penulisnya molor dari tenggat waktu yang ditetapkan.

Meskipun tim digital packaging tak pernah terlihat berada disebelah penulis dalam perilisan namun keberadaan tim ini cukup penting karena sampul utama yang dilihat dari sebuah buku lahir dari tangan kreatif mereka, begitu juga dengan desain pembatas buku dan juga perintilan lainnya.

Kaluna kembali mengecek beberapa foto polaroid yang akan dijadikan bonus untuk sebuah novel genre fantasi. Ia juga kembali disibukkan dengan permintaan penulis lain yang bonus novelnya menggunakan sketsa wajah yang digambar tanpa menggunakan digital painting dan tentu saja itu membuat Kaluna kembali pusing. Teman-temannya yang lain yang biasanya mengurusi ini sedang disibukkan dengan hal lain sehingga sekarang Kaluna tak bisa meminta bantuan siapapun untuk membantunya membuat sketsa pensil. Dari dulu sketsa pensil adalah kelemahan Kaluna. Gambarannya tak sebagus itu untuk sebuah sketsa.

“Au ah pusing!” keluh Kaluna sembari merebahkan kepalanya ke atas meja.

“Na, aku minta tolong buatin foto penulis Hello Future jadi vector ? orangnya gak mau wajahnya di publis nih,” tanya Lova selaku editor novel Hello Future yang akan terbit bulan depan.

“Sekarang Va?” tanya Kaluna.

“Bisa yah?” pinta Lova dengan mata melasnya.

“Aku usaha in kelar hari ini yah, fotonya kirim aja di chat,” ucap Kaluna.

“Makasih ya Na, emang paling baik Kaluna mah!” seru Lova kemudian perempuan itu meninggalkan meja Kaluna dengan perasaan riang.

“Ya Tuhan, makin kesini kenapa ketemu penulis yang aneh-aneh semua sih!” seru Kaluna di balik rasa stress nya.

“Kenapa Na?” tanya Lila yang netah datang dari mana.

“Ini nih, ada yang minta dibikinin sketsa pensil, ada yang minta wajahnya jadi animasi, belum juga yang request desain aneh, pusing aku,” jelas Kaluna.

“Sabar aja, namanya juga buku-buku pertama. Pasti penulisnya gitu semua,” ujar Lila yang tak membantu sama sekali.

Kaluna kembali sebisa mungkin menyelesaikan tugasnya, namun beberapa menit kemudian Lila kembali ke meja nya.

“Tapi Na, kamu bilang tadi lagi nyari yang bisa gambarin sketsa? Itu gambar di meja kamu bagus pasti bukan kamu yang bikin kan, minta tolong dia aja,” ucap Lila membuat seketika pikiran Kaluna tercerahkan.

Namun baru saja wajah Kaluna sumringah, beberapa detik setelahnya terlihat wajah murung Kaluna. Lila yang melihat itu hanya menatap bingung.

“Kenapa?” tanya Lila.

“Ketemua mas barista ganteng sih La, tapi takut ketemu setan disana,” ucap Kaluna ngawur.

“Mana ada setan siang-siang!” tandas Lila yang semakin membuat Kaluna menekuk wajahnya.

Lila tidak tahu saja kalau bisa saja saat dia bertemu Delvin, Ia bisa juga bertemu Anna. Bukan tidak mungkin sejak pertemuan kemarin Anna akan terus berkeliaran disekitar café tersebut. Sekarang Kaluna lebih bimbang, antara meminta tolong pada teman Delvin yang pintar gambar itu dengan presentase bertemu Anna yang tinggi atau memilih mencari orang lain dan memakan waktu lama. Kaluna mau hilang saja, habisnya pusing. Akankah bisa Kaluna melawan rasa takutnya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status