Kaluna berusaha mengeringkan ujung lengan kemejanya yang tadi tidak sengaja terkena kopi milik Lila saat keduanya makan siang di Cafe Kreatif. Untung saja hari ini Ia tak memakai kemeja putih.
Kaluna terseyum sopan saat melihat Joan -editor- keluar dari bilik toilet.
"Udah makan siang Na?" tanya Joan.
"Udah ce," jawab Kaluna singkat.
Mata Joan menyipit kala melihat tangan Kaluna.
"Tangan kamu kenapa?" tanya Joan.
Kaluna segera membenarkan lengan bajunya yang tergulung.
"Gak kok ce," ujar Kaluna.
Joan sibuk memperbaiki penampilannya sedangkan Kaluna masih mengeringkan lengan bajunya.
"Kamu tuh kalau aku liat-liat gak pernah pakek kemeja lengan pendek ya Na?" tanya Joan tiba-tiba.
Kaluna menenggak ludah dengan susah payah. Joan dikenal sebagai seorang yang perfeksionis dengan penampilan dan fashion seseorang. Dia bahkan bisa mengomentari pakaian anak magang selama satu jam jika Ia kira hal itu perlu dibenahi. Hal itu pula yang membuat Kaluna sangat jarang berhubungan dengan sosok disebelahnya ini karena penampilan khas Kaluna memang selalu sebiasa ini.
"Gimana ce?" tanya Kaluna.
"Kamu itu kayaknya kalo pakek kemeja lengan pendek sama rok pasti juga bagus banget, coba lah Na sesekali. Jangan kayak pepes gitu apa-apa serba panjang. Mau panjang umur itu makan mi panjang umur bukan pakek baju panjang-panjang," omel Joan.
Kaluna hanya bisa menghembuskan nafasnya pelan dan tersenyum singkat, Ia tidak protes dan hanya menerima masukan Joan dengan lapang dada. Kalau dibalas dengan alasan bisa-bisa mereka baru bisa keluar toilet saat jam pulang kantor usai.
Akhirnya Kaluna bisa keluar setelah Joan keluar lebih dulu. Niatnya ia akan menghampiri Lila yang masih ada di cafe, namun langkahnya terhenti dan segera menyembunyikan diri di balik pilar.
Matanya menatap tajam sosok Anna yang sedang mengobrol dengan salah satu editor. Jika Kaluna nekat menghampiri Lila di sana, itu sama saja bahaya untuk dirinya. Akhirnya Ia memilih putar balik kearah tangga darurat dan kembali kekantornya tak lupa juga menghubungi Lila dengan alasan bahwa dirinya dipanggil oleh Gama.
"Kamu kenapa Na?" tanya Gama saat melihat Kaluna datang dengan wajah gusarnya.
"G-gak papa mas," elak Kaluna.
Kaluna mendudukkan dirinya di tempatnya lalu beberapa saat kemudian Lila datang menenteng dua cup kopi sambil mengomeli Kaluna.
Kaluna hanya bisa diam tak merespon, pikirannya masih berkecamuk seputar Anna yang ada di kantornya. Sekali lagi, dekali lagi Kaluna harap ini hanya kebetulan.
***
"Untuk set punya nya Penulis Biru udah siap semua kan?" tanya Gama sesaat setelah memulai rapat harian divisi mereka.
Kaluna yang ditatap hanya terdiam, entah dimana pikiran gadis itu sekarang. Bahkan matanya menatap lurus kearah tembok.
"Kaluna?" tanya Gama sekali lagi.
Ria yang ada disebelah Kaluna langsung menyenggol temannya itu sehingga sekarang Kaluna kelabakan dan bingung ingin berbuat apa.
"Ngelamunin apa?" tanya Gama.
Pandangan Gama tak tajam menusuk namun cukup untuk membuat Kaluna diam dan mengakui kesalahannya.
"Maaf mas," ucap Kaluna pelan.
Gama menghela nafasnya lalu menyerahkan air putih
"Sekali lagi gak bisa fokus, kamu keluar aja," tandas Gama tanpa ampun.
Kaluna pun menepuk pipinya kuat-kuat dan kembali fokus dengan rapat .
Setelah rapat selesai, Kaluna kembali pada pekerjaannya hingga jam kantor selesai. Lalu Ia bergegas ke sebuah percetakan kecil di dekat rumahnya, disana sudah ada Joni selaku pemilik tempat ini.
"Na, kebetulan kamu dateng ," ujar Joni.
"Kenapa mas?" tanya Kaluna.
"Ada pesenan desain undangan nikah sama undangan ulang tahun, kamu bisa selesai in sekarang gak? soalnya besok mau diliat."
Kaluna mengangguk lalu segera membuka komputer yang biasa Ia gunakan. Karyawan disini hanya ada satu orang yang bekerja selama sehari penuh bersama Joni sedangkan Kaluna hanya membantu sejak sore sepulang kerja sampai jam delapan malam.
Awalnya Ia hanya membantu Joni yang merupakan anak pemilik kontrakan mereka yang sedang kesusahan karena antrian yang menumpuk, lalu pada akhirnya Joni mempekerjakan Kaluna walaupun hanya 4 jam saja.
"Aku gak lihat Evan dari kemarin, kemana itu anak?" tanya Joni.
"Olimpiade di Jakarta mas," jawab Kaluna.
"Pinter banget, mainnya jauh."
Kaluna hanya tersenyum sebagai tanggapan. Adiknya memang pintar bahkan Kaluna akui jika dirinya kalah pintar dengan Sang Adik.
Walaupun nantinya banyak orang membandingkan antara dirinya dan Evan maka Kaluna akan dengan lapang dada mengakui jika hal seperti itu benar adanya, adiknya itu lebih baik dalam semua hal.
"Mas, ini udah jadi."
Kaluna mengirimkan beberapa desain untuk dicetak oleh Joni.
Laki-laki dengan rambut gondrong dan badan bongsor itupun memberikan sebungkus roti coklat yang tadi dibelinya kepada Kaluna.
"Na," panggil Pian, satu-satunya karyawan disini.
"Iya Mas Pian?"
"Kemarin aku lihat ada bapak-bapak nunggu di depan rumahmu lama banget, ada kali satu jam an," ujar Pian.
Kaluna mengerutkan dahi, Ia merasa tidak ada janji dengan siapapun kemarin selain dengan Lila. Tapi ini seorang bapak-bapak, Kaluna sedang tidak berurusan dengan orang tua karena kebanyakan laki-laki yang Ia kenal masih belum bisa dianggap bapak-bapak.
"Siapa ya mas? Aku gak merasa janjian sama orang tuh," jelas Kaluna.
Keduanya kembali terdiam sedangkan Joni hanya menyimak tanpa mau ikut campur.
Kaluna pulang dengan langkah pelan, pikirannya masih bertanya-tanya siapakan bapak-bapak yang dimaksud Pian. Baru sampai ujung gang langkah Kaluna berhenti. Wajahnya was-was menatap kearah rumahnya, kini Ia tahu siapa yang dimaksud Pian. Bapak-bapak yang masih sama itu sekarang sedang duduk di teras rumah Kaluna bersama seorang putrinya yang Kaluna sangat kenali.
Sudah terlambat untuk Kaluna menghindar, karena mereka bertiga telah saling mengetahui keberadaan masing-masing. Dengan langkah takut Kaluna menuju rumahnya. Tangannya sibuk meremas tali tas untuk mengurangi rasa khawatirnya.
"Kalian ngapain disini?" tanya Kaluna sebisa mungkin menahan emosi.
"Kaluna, apa kabar?" tanya bapak itu.
Kaluna memejamkan matanya, Ia berusaha menahan diri sebisa mungkin.
"Kita sudah gak ada urusan lagi, jadi saya mohon kalian pergi dari rumah saya dan jangan kembali. Kami sudah hidup bahagia," tandas Kaluna.
"Lun, Papa aku cuma mau ngomong sebentar sama orang tua kalian," ucap perempuan disamping bapak itu yang tak lain adalah Anna.
Kaluna meringis, bahkan mata nya mulai berkaca-kaca. Mereka menanyakan orang tua Kaluna yang sudah lama tiada.
"Ayah sama Ibu gak ada, dan gak ada yang harus dibicarakan lagi," jelas Kaluna.
Namun kedua orang itu masih kekeh dengan pendirian mereka. Mere masih mau menunggu.
Akhirnya Kaluna mengambil nafas dalam-dalam sebelum berucap.
"Mau kalian tunggu sampai kapan pun orang tua saya tidak akan kembali! Mereka sudah pergi jauh! Kalian terlambat!" seru Kaluna lalu segera masuk kedalam rumah dengan membanting pintunya keras.
Kaluna menangis dibalik pintu. Tangisannya pilu, bahkan sekarang dadanya terasa sesak. Satu persatu orang dari masa lalunya datang, Kaluna takut dan juga khawatir. Semuanya terlalu tiba-tiba untuk kehidupannya yang sekarang sudang nyaman. Kaluna takut, apakah dia bisa menghadapi semuanya? Apakah hatinya kuat untuk kembali menengok masa lalunya yang menyedihkan dan pahit?
"Ibu,Kaluna takut."
"Ibu," panggil Kaluna.Kaluna melihat sosok Ibunya tengah berdiri beberapa meter di depannya. Keduanya kini berada di sebuah danau yang tak asing. Danau yang sama dimana dulu keluarga mereka sering berkunjung. Namun kini ada yang berbeda, Kaluna sadar semua ini hanya khayalannya saja, mana mungkin Ibunya sekarang ada didepannya. Pasti ini mimpi."Kaluna gak kangen Ibu?" tanya Ibu Kaluna.Kaluna mengangguk pelan tapi raut wajahnya masih jelas terlihat bingung."Kaluna kangen Ibu sama Ayah," jawab Kaluna.Lalu sedetik kemudian hatinya terasa lebih ringan, Kaluna tiba-tiba merasa tenang entah karena apa."Ibu sama Ayah gak pernah tinggalin Luna sama Evan," terang Sang Ibu.Kaluna tersenyum, ingin rasanya segera berlari menuju Sang Ibu namun anehnya Ia sama sekali tak bisa melangkahkan kakinya. Ia terus memanggil Ibunya namun Sang Ibu justru pergi menjauhi Kaluna menuju ke sebuah cahaya. Sebisa mungkin Kaluna berte
Kaluna menghela nafasnya kasar. Sekali lagi Ia harus menahan emosinya mendengar para editor bergosip tentang dirinya, dibelakangnya. Ia bisa saja membungkam semua orang dengan kebenaran namun kebenaran itu hanya akan membongkar rahasia seseorang, dan Kaluna tak mau jadi orang yang selancang itu.Gama yang mengetahui semua kebenaran itu hanya bisa menyemangati Kaluna, Ia juga tak mengerti kenapa gosip murahan seperti itu bisa menyebar dengan cepat dalam dua jam padahal masih di jam kerja."Na, tolong hasil akhir layoutnya Penulis Biru kirim ke email ya," ujar Gama."Iya Mas, ini baru selesai langsung aku kirim," ucap Kaluna.Lila hanya bisa menatap sahabatnya dengan sendu dari balik meja, Ia tak bisa meninggalkan mejanya karena mata Bu Dian masih melihat kearahnya. Atasannya itu sepertinya menaruh dendam terlebih pada Lila entah karena apa.Efek dari gosip itu ternyata membawa perubahan yang pesat, tak ada lagi sapaan m
Kaluna melangkahkan kakinya tanpa gentar saat memasuki kantor. Ia sebisa mungkin menutup telinga atas semua omongan teman kantornya yang kian menggila. Banyak rumor yang dibumbui dengan garam membuat kobaran api semakin membara, namun hal itu bukan berarti menghentikan langkahnya, Ia harus bekerja untuk adiknya. Mereka yang mencaci Kaluna juga tidak membayar gajinya, jadi untuk apa didengarkan. Kaluna juga tak bisa menutup mulut semua orang, Ia hanya perlu menutup telinganya.Kaluna melakukan pekerjaannya dengan baik hari ini bahkan mendapat pujian dari Gama dan Bu Dian, namun pada dasarnya semua mata sudah tertutup dengan rumor yang membuat Kaluna justru dibenci bukannya ikut diapresiasi.Kaluna melangkah pergi dari gedung kantornya dengan langkah gontai. Ia harus segera pulang untuk menemui Sang Adik yang tadi siang tiba tanpa ada yang menyambut. Tak lupa Kaluna juga mampir ke warung nasi padang untuk makan malam mereka berdua.Hari ini dan hari-ha
Kaluna berpisah dengan Evan, adiknya itu ijin bermain basket bersama teman-temannya yang kebetulan sedang ada disana sedangkan Kaluna tetap bersama Delvin yang mulai membagikan kertas dan krayon. Kaluna duduk manis disebelah Nara yang sedang memilih warna.Delvin mengatakan bahwa tema menggambar hari ini adalah pemandangan yang biasa mereka temui. Tak hanya anak-anak ini saja yang menggambar, Delvin juga memberikan selembar kertas buram kepada Kaluna."Aku juga?" tanya Kaluna."Biar adil," jawab Delvin.Kaluna menerima dengan senang hati dan menggambar sebuah meja beserta perlengkapan kantor yang memang Ia temui setiap hari. Pemandangan paling membosankan yang membuat Kaluna terkadang berpikir mengapa Ia bisa betah bekerja disana.Kaluna berkali-kali dibuat tertawa oleh tingkah lucu anak-anak disana. Ada yang berebut warna, ada yang saling meledek atau sedikit tidak terima karena gambarannya hampir sama. Kaluna terseny
Kaluna menatap lurus kearah perempuan yang ada dihadapannya ini. Ia akhirnya memutuskan untuk bertemu dengan Anna di Naluna Cafe. Sebenarnya Kaluna juga tak ingin secepat ini, tapi Ia juga perlu untuk hidup lebih tenang meskipun tak ada jaminan bahwa itu akan terwujud."Kamu beneran gak mau ketemu sama aku lagi?" tanya Anna yang membuat Kaluna menghembuskan nafas berat."Kalau aku gak mau ketemu kamu, kita gak akan ketemu sekarang," jelas Kaluna.Tak ada nada bersahabat lagi dari bibir Kaluna. Tak ada lagi sapaan riang dan juga tawa manis yang keluar. Kaluna menjadi sosok yang berbeda dihadapan Anna dan hal itu membuat sekali lagi Anna merasa dunianya memburuk."A-aku cuma mau ketemu kamu Lun, aku gak tau salah aku apa sampai kamu setakut itu ketemu sama aku," ucap Anna lirih."Kamu gak salah apa-apa, masalahnya ada di aku. Aku gak mau lagi berurusan dari orang-orang kota itu termasuk kamu sekalipun," cecar Kaluna.&nbs
Evan menatap teman sekelasnya itu dengan tatapan sinis. Ia tak tahu jika kedatangannya kembali ke sekolah justru disambut dengan hal-hal yang tidak mengenakkan. Yang dirinya takutkan bukan masalah padangan teman-temannya namun kakaknya. Kakaknya dipanggil ke sekolah karena dirinya bertengkar dengan Logan. Evan tahu dirinya salah namun Logan pantas mendapatkan pukulan darinya."Evan, bisa kamu jelaskan awal masalahnya?" tanya Bu Darini selaku wali kelas dan guru bimbingan konseling.Evan hanya diam, Ia tak mau menjelaskan apapun. Namun Logan yang memang cerewet dari sananya malah mendecih keras membuat Evan lagi-lagi tersulut emosi."Ibu kan sudah saya bilangi, dia tuh nonjok saya cuma karena saya baca berita tentang masa lalu dia. Padahal kan seluruh sekolah juga baca, kenapa cuma saya yang ditonjok, harusnya tuh dia juga nonjokin anak-anak lain biar sekalian dikira orang gila," cecar Logan dengan nada sengak.Evan hanya diam tak m
Kaluna mempercepat langkah kakinya menuju lantai dua. Saat tiba di ruangannya yang bisa Ia temukan hanya Lila da Gama yang sepertinya menunggu dirinya. Kaluna panik namun sebisa mungkin memenuhi pikirannya dengan hal-hal yang positif meskipun sekarang kenyataannya tak seindah realita, terlalu banyak pikiran negatif yang ada dipikirannya sekarang. "Kamu kemana aja sih!" seru Lila. Sahabatnya itu segera berlalu dan pergi ke runag rapat meninggalkan Kaluna dan Gama yang masih ada disana. "Mas, gimana nih?" tanya Kaluna yang masih panik. "Ya gimana lagi Na, Pak Bos sendiri yang minta dan kamu harus siap dengan semua hal yang terjadi setelah ini," ujar Gama. "Biasanya bapak gak pernah mau ikut rapat besar sama karyawan mas, biasanya dia mau rapatnya sama petinggi aja kan kenapa tiba-tiba?" tanya Kaluna. "Gak tau Kaluna, kamu siapin diri ya." Jawaban Gama sama sekali tidak memberi ketenangan apapun. Kaluna menghirup nafas
Kaluna telah sampai di lantai tiga, dihadapan pintu terbesar yang ada di lantai ini. Ia memantapkan hati dan masuk dengan pelan-pelan.Benar saja, Pak Bos telah menunggunya dengan senyuman paling lebar. Kaluna yang melihat itu hanya bisa mendengus kesal. Semua tingkah laku Bosnya hari ini benar-benar membuatnya tak habis pikir."Gimana kejutannya Nak?" tanya Pak Bos."Iya pak, sangat mengejutkan, Luna gak habis pikir kalau Pak Bos akan ungkapin semuanya," ucap Kaluna membuat pria paruh baya dihadapannya itu tertawa renyah."Kenapa gak bilang kalau kamu di bully satu kantor karena foto itu?" tanya Pak Bos."Ya karena gak perlu dibesar-besarin juga, Luna gak dibully cuma-""Cuma dijauhin dan digosipin, gitu?" potong Pak Bos.Kaluna menghembuskan nafasnya kasar. Benar-benar sesuatu orang dihadapannya ini. Bahkan dipertemuan pertama mereka orang tua ini sangat ajaib di mata Kaluna.Kaluna saat itu sedang pulang da