"Aina bangun! Bangun! Kamu kenapa?" Nilam menggoyang-goyangkan bahu anaknya ini.
Kini ia jadi sorotan orang banyak, dengan rambut yang benar-benar berantakan. Aina yang terbangun terus memperhatikan di sekitarnya, menggaruk-garuk lehernya, menyentuhnya, dan terus merabanya.
"Apa yang terjadi?" batin Aina.
Semua orang berbisik memperhatikannya, Nilam yang benar-benar kalut, menarik tangan Aina dan membawanya ke kamar.
Aina yang bingung terus memperhatikan di sekelilingnya, dengan tatapannya yang begitu kosong.
"Aina! Kamu kenapa? Kenapa kamu teriak-teriak tidak jelas, hah!" ucap Nilam heran melihat sikap Aina yang begitu aneh.
"Bunda, Aina dimana?" sahut Aina.
"Dimana? Kamu di tempat uncemu," sahut Nilam yang begitu panik.
"Gak! Ini gak mungkin! Arghhhh," Aina memukul-mukul kepalanya, dan menangis tak karuan.
Nilam yang bingung langsung mencoba menenangkan anaknya ini, dan langsung memeluknya. Ia pun meminta maaf ka
"Hai!" Neo menunjukan gigi putihnya yang rapi. Aina terbengong dengan mulut yang terbuka, dengan mata yang melotot heran, ditambah jantungnya yang sudah seperti adu balapan, Aina semakin menunjukan detik detik kecurigaan, Aina mencengkram kuat gaunnya, dan terus memperhatikan orang di depannya ini. Aina memundurkan langkahnya pelan, apa yang mengganggu pikirannya sekarang membuat jantung Aina beralun tak seirama, tangan kanannya mencoba menggapai sesuatu di belakangnya, namun nihil, jaraknya terhadap benda di belakangnya terasa amat jauh. Aina tak bisa berkedip melihat Neo sekarang. "Apa Neo selama ini yang menerorku," batin Aina terus berkata-kata. Neo yang merasa risih di lihat oleh Aina seperti ini mengikuti langkah Aina yang pelan, dan berulang kali menegur Aina, namun Aina terus melangkah mundur dengan diam, keringat mengalir membasahi dahinya bak biji jagung yang bermunculan. Keheningan yang terjadi sekarang, hanya meyisakan mereka berdu
Malam ini hujan membasahi kota, lampu kelap-kelip layaknya kunang-kunang malam berwarna kuning merah kejinggaan. Lalu lalang mobil memandikan tubuhnya menyusuri jalan yang sudah basah tak tertahan. "Jika teringat tentang dikau jauh di mata dekat dihati," suara pengamen jalan menghiasi malam halte sekarang. Dengan payung kecil ini, membuatnya sudah bersyukur bisa tiba di sini jauh dari keterlambatan. "Adek, ini buat kamu," ucapnya. "Terima kasih kak," ucap anak berusia 8 tahun tersebut lalu pergi dengan temannya yang dilihat tak jauh umurnya darinya dengan garis wajah yang begitu girang. "Kamu harus tahan, dan kuat sebentar lagi bayi kita lahir, sayang," ucap pria yang sedang mengelus perut buncit wanita di sebelahnya. Malam ini suasana begitu kompleks dengan kehidupan para anak manusia, hujan memberikan ketenangan akan damai, menyejukan pikiran yang awalnya panas kini sejuk dan ternyata. "Tolong!!!!" Tak jauh be
"Kamu gak papa?" tanya Aina pelan. "Ai." Dea langsung terisak tak sanggup berkata lagi. Aina pun langsung memberikan sambutan sebuah pelukan hangat kepada sahabatnya ini. "Ai ada yang ingin aku omongin sama kamu," ujar Dea menyeka air matanya. "Apa itu Dea?" jawab Aina. Obrolan me
Sekali lagi mendongakkan wajahnya di depan cermin besar, menarik napas pelan dan menghembuskannya perlahan. Tas yang sudah bertengger di atas meja belajar, ia ambil dan bergegas turun ke bawah. Anak tangga yang lumayan banyak, membuat ia tak kuasa menahan lapar aroma nasi goreng yang sudah tersaji di atas meja makan. “Aina! Makanan sudah siap sayang, ayo sarapan,” panggil bu Nilam. Gadis berusia delapan belas tahun ini bernama Aina Zeira Clarista, anak semata wayang dari pasangan suami istri pak Hilman dan bu Nilam. Terlahir dari keluarga yang sempurna dan berkecukupan, namun seperti yang diketahui Aina adalah anak yang sangat jarang bergaul, dan betah di rumah, lingkungan pertemanan begitu jauh baginya, hari-hari Aina, ia habiskan hanya untuk membaca dan menulis. “Per
Napas Aina berlarut pelan. Membuat Aina menyunggingkan senyum kecil di bibirnya. Ia memejamkan matanya beberapa detik. Ia baru ingat, kalau hari ini ia ditugaskan untuk mencatat di kelas. Meski sakit kepalanya masih tidak sepenuhnya hilang. Aina berlari melewati koridor dengan cepat menuju kantor guru, karena tersisa satu menit lagi maka bel akan berbunyi. Aina mendengus napas kasar, merunduk lelah berlari melewati koridor sepanjang ini. Masih pagi, tapi keringatnya sudah bercucuran kesana kemari. Tepat beberapa langkah dari keberadaannya, Aina seperti mengenali perempuan yang sedang duduk di anak tangga depan kantor. Aina berlari kecil menghampirinya. "Kamu Dea?" Aina menebak seorang perempuan yang sedang duduk santai di bawah anak tangga ini.
“Iya gak papa,” ujarnya dan berlalu pergi.Aina terus melihati langkah orang tersebut, seperti seumuran dengan mereka, tapi ia tidak mengenakan seragam, apakah dia guru baru? Aina menerka-nerka orang yang ia tabrak itu.“Ai, ayo! Kamu kenapa masih bengong di situ,” kejut Dea dan membuyarkan apa yang Aina pikirkan.Aina bangkit dan mereka pun melangkah cepat menuju kelas, lagi ketika Aina menoleh ke belakang, pria tersebut sudah tidak ada, langkahnya begitu cepat sekali padahal tidak sampai semenit Aina menoleh ke arah Dea di depannya, ia sudah menghilang bak kecepatan cahaya. Lagi-lagi kepala Aina kembali nyeri.Pikiran Aina langsung linglung, bukankah ditolong seseorang itu biasa saja, tapi kenapa Aina begitu dihantui rasa penasaran, pertanyaan s
Aina terdiam, sebenarnya ia ingin menceritakannya, tapi ia takut jika Dea menjauhinya, apalagi melihat kejadian hari ini di luar akal sehatnya. “Aku tadi cuma mimpi buruk aja Dea, gak kenapa-kenapa kok,” ujar Aina.Rasa penasaran Dea, membuat Aina merasa kalau Dea begitu peduli dengannya, Dea yang duduk manis langsung di pegang Aina pundaknya, bentuk ucapan betapa berterima kasihnya ia karena Dea telah mau berteman dengannya.Lagi-lagi Aina tidak mampu menahan air matanya, sakit di masa lalu, masih terasa jika ia mengingatnya, perlakukan teman-temannya rupanya menggerogoti kenyamanan Aina selama ini. Sudah ada Dea yang mau berteman dengannya, tetap saja Aina terus di hantui rasa takut jika Dea akan ikut meninggalkannya. Dengan cepat ia mengusap air mata ini, takut jika Dea melihatnya seperti ini sekarang.
“Gak papa kok sayang, mungkin bunda hanya kelelahan saja,” sahut bu Nilam. “Ya udah bunda mau melanjutkan membersihkan ruangan bawah tanah dulu,” lanjut bu Nilam yang diangguk Aina, dan ia pun ikut menyusul untuk membantu.Karena dirasa tidak terjadi apa-apa dengan Aina, bu Nilam pun kembali melanjutkan bersih-bersih ke ruangan bawah tanah dibantu oleh Aina sendiri. Sebenarnya ia cukup lelah tapi mengingat tiga hari lagi ruangan ini akan di jadikan tempat penyimpanan bibit bunga mawarnya, apalagi ruangan ini sangat berdebu sekali, tentu sangat tidak nyaman jika dilihat.Sebenarnya bu Nilam bisa saja menyuruh orang untuk membersihkannya, tapi bu Nilam terlalu tidak biasa pekerjaan rumah yang menurutnya masih bisa ia kerjakan tapi malah meminta bantuan orang lain. B