Share

The Siblings
The Siblings
Penulis: Atina Fathia

Perkenalan

Suara riuh terdengar dari lantai dua balkon rumah. Ada tiga anak muda bersuara emas bernyanyi merdu seirama petikan gitar.

Tak lama, suara tepukan tangan membahana. Seorang perempuan muda dengan rambut kuncir kuda, berkaos abu-abu dengan celana hitam selutut melangkah maju dan duduk santai bersama mereka.

Perempuan muda itu adalah aku, Suri Nafisa. Satu-satunya anak perempuan di keluarga ini. Usiaku tahun ini delapan belas tahun, meninggalkan sweet seventen yang ternyata biasa saja, tidak semanis gula.

Aku adalah anak ke-empat dari lima bersaudara. Kata Tante Mira, tetangga depan rumah, seharusnya aku jadi anak bungsu, kalau saja Juna adikku tidak lahir bertepatan di ulang tahunku yang kedua.

Seperti yang kubilang tadi, aku satu-satunya perempuan di antara empat saudaraku yang kesemuanya berjenis kelamin laki-laki. Terkadang aku hampir kehilangan jati diriku sebagai perempuan jika sudah bertengkar dengan mereka. Gaya bicara, cara berjalan dan kelakuan tomboyku mirip anak laki-laki kata teman-teman sekolahku. Andai saja rambut panjang sepinggangku ini dipotong pendek dan rok sekolahku diganti celana panjang, mungkin saja aku benar-benar tampak seperti sahabatku Andre, sang ketua OSIS yang tampan dan maskulin.

Sejak SD aku belajar taekwondo, yudo, karate, dan silat walau tidak pernah sampai sabuk hitam. Awal belajar bela diri hanya sebagai pelampiasan, karena sering kesal dengan tingkah kekanakan saudara-saudaraku kalau sudah keterlaluan bercanda denganku.

Walau ada kalanya mereka bertindak sebagai abang yang protektif saat kami masih kecil dulu. Masih lekat di memori otakku, ketika ada anak lelaki tetangga yang hampir setiap hari iseng menarik rambut panjangku, mereka melayangkan tinju dan tendangan bayangan ala superhero kepadanya, sehingga aku merasa dibela sedemikian rupa. Namun, sering kali mereka juga menggodaku, kalau perempuan cantik itu harus wangi, sedang aku bau asem karena seharian mengikuti mereka berlari mengejar layangan atau bermain bola di lapangan. Bahkan, kakak ketigaku seenaknya mengganti namaku menjadi Suryo, jika aku mengerjakan sesuatu yang keren menurutnya, seperti memindahkan meja dan lemari ruang tamu, sampai mengangkat kasur tidur kamarku seorang diri. Mereka tidak akan berhenti menggoda jika tinjuku belum melayang ke udara. Jika sudah kulayangkan ke badan mereka, sudah pasti ketiganya serta merta lari terbirit-birit.

Kata orang, punya kakak laki-laki banyak itu enak, dilindungi bak bodyguard artis kenamaan, disayangi seperti bayi baru belajar jalan, dan dituruti segala kemauannya seperti tuan putri karena perempuan sendiri. Namun, pada kenyataannya aku bak upik abu yang selalu menjadi pelayan mereka di rumah. Mulai dari mengambilkan minum ketika mereka lelah dan kehausan sepulang kuliah atau bekerja, memasakkan makanan ketika mereka teriak kelaparan kala lauk pauk habis di tudung saji, menggosok semua pakaian, sampai menjadi tukang suruh mengambilkan handuk kalau-kalau mereka lupa membawanya ke kamar mandi.

Baiklah, aku ceritakan sedikit karakter saudara laki-lakiku, ya. Jangan sedih kalau mereka tidak sesuai dengan ekspektasi ajaib nan keren di benak kalian.

Kita mulai dari anak pertama dikeluarga ini, pria jangkung dengan tinggi 185 sentimeter itu akrab dipanggil Bang Chand. Nama lengkapnya Chandra Sailendra. Ia lahir dua puluh lima tahun silam di kota hujan, Bogor. Mama pernah cerita, ketika hamil Bang Chand, Mama sibuk bolak balik kampus sembari mengerjakan skripsi. Tepat sehari setelah wisuda, Bang Chand lahir. Anehnya, ketika bayi, Bang Chand selalu menangis kencang dan baru berhenti ketika Mama atau Papa mengetik komputer. Diyakini Mama, suara tuts keyboard terlalu akrab di telinganya sejak di dalam kandungan, sehingga sampai besar ia jadi terobsesi dengan koleksi berbagai macam jenis keyboard dari berbagai merk.

Lulusan fakultas teknik informatika ITB itu, kini sedang gigih merintis usaha software dengan dua orang teman programmernya. Hobinya selain main game online juga sesekali membuat konten di vlog channel YouTube-nya. Ia juga jago sekali bermain gitar dan piano. Bisa dikatakan, semua hobinya pasti berhubungan dengan keterampilan jari jemari yang lentik. Oiya, wajah Bang Chand sering dibilang mirip dengan Chanyeol EXO kata teman-teman sekolahku. Bedanya, badan Bang Chand lebih berisi dan pipinya lebih chubby, apalagi kalau sudah makan permen lolipop bareng Juna adikku.

Nah, sekarang giliran memperkenalkan kakak keduaku yang bernama Doni Saputra, usianya dua puluh dua tahun, tinggi badannya 174 sentimeter, matanya minus empat dan juga bersilinder, sehingga ia wajib menggunakan kacamata atau lensa kontak untuk membantunya melihat lebih jelas. Mas Doni juga merupakan anak laki-laki paling pendek di antara saudara kandungku yang lain. Pendeknya Mas Doni menurut Mama karena ia lahir di era krisis moneter 1998, Mama dan Papa yang baru merintis usaha kateringnya pada saat itu terkena imbas, sehingga ketika kecil Mas Doni tidak minum susu sebanyak Bang Chandra yang badannya kian hari tinggi menjulang.

Mas Doni kakak paling dekat denganku, kami berdua lumayan sering berada di dapur untuk masak jika Mama tidak ada. Mahasiswa tingkat akhir fakultas ekonomi dan bisnis UI ini juga hobi membaca buku. Hal yang paling menyenangkan ketika jalan bersamanya adalah aku tak perlu mendongakkan leher terlalu tinggi, karena tinggi badan kami hanya berbeda sepuluh senti, dan itu lebih nyaman dibanding berjalan dengan Papa dan kedua kakakku yang lain. Mas Doni juga satu-satunya kakak yang kupanggil dengan sebutan 'Mas' sejak SD, mengikuti kebiasaan tetangga yang asli dari Jawa memanggilnya, Mas. Karakter Mas Doni yang hangat, rajin, dan penurut ini jadi andalan kami kalau disuruh Mama mengerjakan pekerjaan rumah tangga di rumah. Kekurangan Mas Doni hanya satu, jika sudah marah ia akan cenderung diam. Membuat orang lain merasa tidak enak karenanya.

Sekarang beralih kekakak ketigaku yang lahir dua tahun tiga bulan di atasku, namanya Jerry Mahendra. Laki-laki paling aneh di keluargaku itu lahir dua puluh tahun silam, ketika drama Taiwan Meteor Garden dengan aktornya yang bernama Jerry Yan menghipnotis separuh lebih perempuan muda Indonesia kala itu. Dengan tinggi badan 181 sentimeter, ia selalu membanggakan dirinya karena lebih tinggi satu senti dibanding Papa. Ia diberi julukan magic jer oleh Bang Chandra, karena memang tingkah lakunya suka ajaib dan pikirannya hampir selalu out of the box.

Mahasiswa semester empat jurusan desain grafis IKJ ini amat akur dengan sulung keluarga ini kalau sudah main game. Bedanya, kalau Bang Chandra terobsesi memainkan jari jemarinya di keyboard, maka Bang Jerry bisa melakukan apa saja dengan mulut dan badannya yang super lentur. Ia pandai meniru suara hewan, memerankan dialog artis terkenal, bahkan bertingkah konyol dalam menggambarkan sesuatu.

Bang Jerry juga satu-satunya orang di dunia ini yang memanggilku Suryo. Tidak ada alasan, katanya hanya seru untuk menggodaku. Kata Mama, ketika mengandung Bang Jerry, hobinya makan lele dan belut goreng dengan sambal ekstra pedas dan lalapan timun hampir setiap hari. Jadi, tak ayal kini Bang Jerry tidak bisa diam kecuali kalau sedang tidur. Walau ketika tidur pun sebenarnya ia tidak bisa diam juga, suara mendengkurnya seperti suara kodok yang sedang memanggil hujan di malam hari. Kamarnya yang berada tepat di samping kamarku sangat berisik setiap malam, sehingga rasanya aneh jika pada suatu malam terasa sepi, ketika ia pergi menginap di acara kegiatan kampusnya. Aku aja merasa kehilangan, apalagi si bungsu Juna yang sekamar dengannya, pasti merasa sangat berbeda tanpanya.

Selanjutnya anak ke-empat di keluarga ini adalah aku sendiri. Nama lengkapku di akta lahir adalah Suri Cinta Nafisa. Lahir di masa Rangga dan Cinta di film AADC (Ada apa dengan cinta) mengudara dan menghebohkan jagad raya perfilman Indonesia. Mama yang saat itu hamil besar memutuskan kalau anaknya lahir laki-laki harus ada nama Rangga, kalau lahir perempuan harus ada nama Cinta. Karena aku terlahir perempuan, jadilah namaku ada Cinta-nya. Satu-satunya nama yang paling ingin aku sembunyikan seumur hidup. Rasanya aneh dipanggil 'Cinta' walau itu anggota keluargaku sendiri. Maka, sejak masuk SMP aku pun menyingkat namaku menjadi Suri C. Nafisa.

Karakterku tomboy dan apa adanya, bahkan kadang aku merasa bukan perempuan sesungguhnya karena aku tidak seheboh teman-teman perempuanku yang mengidolakan artis tampan multitalenta seperti si golden maknae BTS, Jeon Jungkook dan lain sebagainya. Sepertinya keberadaan empat saudara laki-lakiku yang super duper heboh itu, membuatku terbiasa berhadapan dengan laki-laki tampan nan rupawan.

Terakhir, kuperkenalkan anak ke-lima sekaligus bungsu dari keluarga ini, ia lahir di bulan Juni, makanya namanya Juna Mahesa. Dia satu-satunya adik lelaki yang bisa kuusili. Usianya baru enam belas tahun, tetapi tinggi badannya sudah melebihi Mas Doni. Ia kini kelas satu SMA di sekolah yang sama denganku.

Di sekolah, aku tak pernah memberitahukan orang-orang kalau aku adalah kakak kandungnya. Juna juga sudah kuwanti-wanti agar tidak memberitahukan pada siapapun kalau kami bersaudara. Bukan tanpa alasan aku begini. Pasalnya sejak dulu, teman-teman perempuanku selalu mendekatiku karena mereka ingin kenalan dengan ketiga kakakku.

Sekolah yang gedungnya satu lokasi dari TK sampai SMA ini merekam jejakku sebagai Suri si adik perempuan satu-satunya para bintang sekolah serupa Bang Chandra, Mas Doni dan Bang Jerry yang selalu menerima banyak cokelat setiap pertengahan Februari dari fans mereka. Siapa lagi perantaranya kalau bukan aku, apalagi jika mereka bertiga sok jual mahal menolak semua pemberian coklat disertai surat pernyataan cinta.

Bahkan dulu ketika SMP, Ratu, teman sebangku yang kuanggap sahabat begitu mengidolakan Bang Chandra yang saat itu sudah SMA. Ia memproklamirkan diri sebagai calon kakak iparku. Rasa persahabatannya denganku tidak tulus ketika Bang Chandra menolak surat cintanya, tak lama ia pun menjauhiku dan menyebarkan gosip tentangku yang katanya jahat, munafik, dan lain sebagainya.

Sungguh memusingkan, bukan?

"Sur, pegangin kamera, ya. Videoin kita lagi nyanyi, lumayan buat jadi konten channel Abang," pinta Bang Chandra sambil menyerahkan kameranya kepadaku.

"Jangan Suryo, Bang! Nanti dia megangnya gemeteran. Sayang 'kan, gue udah nyanyi bagus tapi nanti ngambil videonya amburadul ama tremornya bocah," ujar Bang Jerry dengan mimik sok serius.

"Udah nggak apa. Fisa udah expert. Kemarin ngadonin donat gue juga aman, mulus, buletnya sempurna," bela Mas Doni, satu-satunya orang di rumah ini yang memanggilku Fisa.

Ah, aku jadi ingat asal muasal Mas Doni memanggilku Fisa dengan alasannya yang sangat tidak masuk akal. Katanya melihatku cemberut mengingatkannya pada ikan koi cantik peliharaan Papa yang mati karena dia sering memberinya makanan kucing kami yang sudah expired. Nama ikan koi yang mati itu Fisa, singkatan dari namanya. Edan, kan?!

"Assalamu'alaikum ... Juna datang!" teriak anak laki-laki ABG yang baru saja membuka pintu garasi.

Aku, Bang Chandra dan Mas Doni menyambut kepulangan si bungsu dengan senyuman dan lambaian tangan. Namun, tidak dengan Bang Jerry. Ia berteriak kegirangan menyambut si bungsu yang juga sekaligus teman sekamarnya yang baru pulang belanja dari pasar bersama Papa dan Mama.

"Junaaa, adikku tersayang ... bawa titipan pecel Abang, 'kan???" katanya seraya melompat dan merosot turun ke garasi melalui tiang yang menghubungkan lantai satu dan lantai dua rumah. Aksi konyolnya mirip stuntman yang melakukan aksi berbahaya sebagai superhero, tetapi Bang Jerry melakukannya demi sebungkus pecel Madiun beserta gorengan favoritnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status