"Radit..."Untuk sesaat tak ada lagi yang bersuara setelah Sasha menyebut nama itu. Hanya deru hujan yang terus mengisi kekosongan di antara dua sosok yang kini membeku.Sasha tak tahu harus bagaimana menghadapi harapannya yang hacur tak bersisa setelah delapan tahun ia pupuk tanpa jeda. Malam ini ia menemukan apa yang ia cari bertahun-tahun ini, namun malam ini juga, di bawah hujan yang jatuh, ia kehilangan yang baru saja ia temukan. Lagi, ia menemukan hanya untuk kehilangan.Sedangkan Radit pun tak mampu berkata apa pun ketika dihadapkan pada sosok yang telah lama ia tinggalkan. Ia sudah lupa bagaimana Radit yang lama akan bereaksi saat sahabat perempuan satu-satunya terdiam di bawah hujan saat ia membawa payung di tangannya. Sebab kini ia bukan Radit lagi. Radit sudah lama mati, terkubur bersama jasad ibunya delapan tahun yang lalu. Kini ia adalah Saga. Seorang suami dari Kalania dan ayah dari... Sashachilla Hania... kecil."Sha..." gumam Radit, namun tak tuntas. Ucapannya disela
"Mas Gathan mau tambah lagi rotinya?" tanya Kinanti.Mas Gathan menggeleng. Kinanti pun hanya mengangguk kecil. Belakangan ini Mas Gathan jadi pendiam sekali. Dulu jika Kinanti menanyainya perasaan serupa Mas Gathan sering menimpalinya galak, seperti: "Saya punya tangan, bisa ngambil sendiri" atau "Kamu kira saya sarapan sebanyak apa, sih?". Namun kini—sejak mengamuk terakhir kali—Mas Gathan jarang sekali bicara, apa lagi marah-marah.Ternyata Kinanti lebih suka Mas Gathan yang galak dan sarkastis daripada Mas Gathan yang pendiam bagai orang yang tak selera hidup begini. Bahkan makan pun, Kinanti kira Gathan sama sekali tak merasakan apa yang dikunyahnya. Karena kemarin, Kinanti membuat nasi goreng dan menambahkan kecap, lupa bila Mas Gathan sangat tak suka kecap. Saat sudah disajikan, ia baru sadar, dan iti sudah terlambat. Pagi kemarin, ia sudah sangat siap diteriaki oleh Mas Gathan, apalagi—seperti hari ini—mimi Mas Gathan belum pulang karena sedang giliran sif malam dan penginapa
Fanala bangun dalam keadaan haus luar biasa. Segera saja ia duduk lalu menyambar segelas air putih di atas nakas dan menandaskannya hingga tak lagi bersisa, mengabaikan nyeri pada kerongkongannya. Setelah tak merasa haus lagi, ia mulai menyadari matanya yang terasa sangat berat dan sulit dibuka. Matanya pasti bengkak. Bagaimana tidak bengkak, ia menangis berjam-jam, hingga jatuh tertidur.Fanala mengacak-acak rambutnya frustrasi saat mengingat kembali bila semalam ia memperburuk hubungannya dengan Mama.Aish!Ia membentur-benturkan kepalanya pada bantal yang ada di pangguannya. Kenapa juga ia harus terpancing semalam? Tapi bagaimana ia tidak terpancing coba? Mama memojokkan Gathan. Ia tidak terima bila ada yang memojokkan Gathan. Gathan itu korban.Perhatian Fanala teralihkan oleh dering ponselnya. Menoleh ke sana kemari mencari keberadaan ponselnya yang semalam ia bawa tidur. Setelah mengangkat semua bantar dan melempar selimut ke lantai, akhirnya ia menemukan ponselnya di ujung kasu
Karina pulang lebih cepat dari kantor untuk datang ke acara syukuran ulang tahun Chacha. Sebelum pulang ia menyempatkan dirinya ke toko anak-anak terlebih dahulu, mencari hadiah untuk anak kecil favoritnya itu. Dan pilihannya jatuh pada boneka barbie bergaun merah muda.Sempat terpikir oleh Karina untuk menelepon Sasha dan bertanya apa dia ingin membelikan soesuatu untuk Chacha karena sejak kali pertama bertemu Sasha sudah sangat memuja Chacha. Namun saat ia sudah hendak menekan kontat Sasha, ia teringat pada kenyataan jika Chacha adalah anak Radit! Cepat-cepat ia mengurungkan niatnya.Hari ini Bandung cerah sekali. Bahkan pada pukul empat sore matahari masih bersinar sangat terik seperti pukul satu siang. Berbeda sekali dengan kemarin saat hujan turun sepanjang hari dan baru reda kenjelang pagi tadi. Seolah semesta berkonspirasi membuat pertemuan Sasha dan Radit —atau Saga—menjadi lebih dramatis sekaligus tragis. Bersama hujan yang jatuh, harapan Sasha pun luruh. Hiya! Seharusnya ia
Bab 63Kak Elma membawanya ke sebuah kedai kopi tak jauh dari komplek perumahannya. Memang tak jauh, tapi tetap saja. Fanala agak merasa pakaiannya ini agak kurang layak untuk duduk mengobrol di sini. Di mana orang-orang berpakaian rapi untuk bertemu dengan klien, teman lama, atau kekasih mereka. Sedangkan di sini Fanala nampak sangat lusuh dengan kaos gobrong dan celana pendek usangnya, juga sanda jepitnya yang sudah menipis. Apalagi wajahnya yang kusam setelah pingsan dan muntah-muntah di pasar malam dan belum mandi sejak kemarin sore. Belum lagi rambut lepeknya ini hanya dicepol asal, alhasil anak rambutnya yang berminyak keluar-keluar dari ikatan. Sungguh tampilan yang mengenaskan untuk kedai kopi se-fancy ini!"Mau ngobrolin apa, Kak?" tanya Fanala setelah menyesap sedikit cappuccino-nya. Setelah pasrah dengan penampilan kucelnya, Fanala hanya berharap asam lambungnya tak naik gara-gara minum kopi padahal belum makan sejak menyantap nasi goreng seafood semalam."Soal kamu sama Ar
"Kita mau makan di mana, sih?" tanya Fanala. Rasanya sudah lama sekali mereka berkendara tapi belum sampai juga. Lama yang dihitungnya tidak termasuk dengan waktu yang mereka habiskan saat terjebak macet, hanya waktu saat mobil bergerak saja. "Bogor? Atau Bandung? Atau jangan-jangan Jogja lagi!" seru Fanala histeris. Aneh sekali, tadi dia tak punya semangat hidup, tapi dua jam bersama sahabatnya membuatnya menjadi lebih berapi-api. Tapi setelah ia ingat-ingat lagi, sejak dulu dia memang begitu. Saat sedang sedih atau stres dan harus berhadapan dengan orang lain, ia cerderung pendiam dan bicara secukupnya, namun di hadapan Karel, ia cenderung makin berisik saat sedang stres atau sedih."La, lo lagi sedih, ya? Atau lagi depresi? Heboh banget," tanya Karel. Ia pun menyadari kehebohan Fanala merupakan sesuatu yang ganjil. Wajah saja sih, mereka berteman sudah lebih dari dua puluh tahun! Jika Arbii mengenali kepribadian dan kebiasaan Fanala dari mengamati, Karel mengenali kepribadian dan k
"Pakek, nih!" ucap Karel, melemparkan jas-nya ke pangkuan Fanala. "Biar gak kelihatan kucel amat. Rambut itu juga benerin, biar gak kelihat gembel amat."Fanala mendengus, namun tak urung menuruti ucapan Karel yang terkesan menghina itu. Ia membenahi cepolan rambutnya dengan bercermin pada spion tengah. Lalu ia mengenakan jas pinjaman Karel. Aroma jas Karel masih sama dengan aroma yang biasa ia hirup sejak laki-laki SMA."Lo gak pernah ganti parfum, ya?" tanya Fanala pada Karel yang dari tadi hanya memerhatikannya memperbaiki penampilan.Karel menggeleng. "Gue suka dan udah cocok sama bau. Bahkan kayaknya, bau parfum itu yang bercampur sama bau-bau lain di badan gue udah kayak indentitas gue.""Iya, sih, nyium bau yang nempel di jas ini aja gue udah langsung inget lo.""Iya, kan?" ujar Karel menegaskan."Ini parfum gue yang milihin, kan?"Karel hanya mengangguk santai. Nyaris semua barang yang ia pakai sejak remaja memang Fanala yang memilihkan. Mulai dari parfum, deodoran, pakaian, hi
"Radit?""Halo, Than," sapa Radit, membalas panggilan Gathan."Apa kabar lo?" tanya Gathan. Gaya bicaranya terdengar kaku. Bahkan suara Gathan yang sekarang tedengar lebih dal, berbeda dengan yang Radit ingat."Baik. Lo gimana?""Gue... lumayan."Lalu hening. Betapa canggungnya. Padahal dulu mereka bagai saudara. Begitu akrab. Dulu mereka tak akan ragu mengumpat satu sama lain, tak akan rikuh mencemooh satu sama lain, tak akan segan menendang bokong atau menoyor kepala satu sama lain, juga tak sungkan merangkul satu sama lain. Namun sekarang, bicara saja mereka kebingungan. Canggung luar biasa."Gue minta maaf, Dit," ujar Gathan setelah lama bungkam."Buat apa?" tanya Radit. Ia sebetulnya tahu untuk apa permintaan maaf Gathan itu. Namun ia sendiri tak merasa ada yang perlu dimaafkan, jadi ia tak tahu harus menanggapi permintaan maaf itu bagaimana. Kemarahannya pada Gathan dulu hanya kemarahan remaja yang tak tahu ke mana lagi ia harus menujukan amarahnya itu. Saat itu, ia hanya butuh