Share

3. RAJA KETIGA DAN PERTEMUAN YANG TIDAK DIHARAPKAN

“Yang Mulia, baik – baik saja?” 

Surendra segera berbalik dan bertanya ketika menyadari sesuatu yang tidak terduga terjadi dalam iring – iringan yang membawa Rajanya. 

Arsyanendra yang baru saja tersadar dari lamunannya, menarik napas panjang dan beberapa kali mengedipkan matanya memastikan apa yang sedang dilihatnya saat ini. 

“Yang Mulia. . .” panggil Surendra untuk kedua kalinya. “Apakah Yang Mulia terluka?” 

Surendra hendak meminta beberapa pengawal istana mendekat namun dengan cepat tindakannya itu dihentikan oleh Arsyanendra dengan jawabannya. 

“Aku baik – baik saja, Surendra. Aku hanya sedikit terkejut saja. Tidak lebih. Apa yang terjadi?” 

“Sepertinya anak laki – laki itu terdorong oleh kerumunan proletar dan terlempar masuk ke dalam jalur yang Yang Mulia lewati.” 

“Lalu gadis itu?” tanya Arsyanendra masih tidak bisa melepaskan pandangannya dari gadis yang memeluk tubuh anak laki – laki itu. 

“Gadis itu spontan melompat ketika menyadari anak laki – laki itu membuat kuda – kuda penarik kereta kuda terkejut dan hendak menginjaknya. Untung saja, kusir bertindak cepat dan menenangkan kuda – kuda ini.” 

“Baguslah kalau begitu. Aku ingin turun sebentar, apakah aku bisa melakukannya?” 

Arsyanendra masih tidak bisa melepaskan pandangannya dari gadis itu. 

“Tentu saja, Yang Mulia.” 

Arsyanendra turun dari kereta kudanya dan membuat jubah merahnya menyentuh jalanan kota. Spontan para pengawal istana berusaha untuk membantu Arsyanendra, namun dengan cepat Arsyanendra menghentikan niat para pengawalnya dan memintanya untuk membiarkannya berjalan sendiri. 

Tindakan Arsyanendra itu memicu histeria dari para rakyat proletar yang berdiri di pinggiran jalan yang telah diberi pembatas dan dijaga oleh pengawal istana. Arsyanendra melemparkan senyumannya ke arah rakyatnya dan menyapa mereka dengan pesonanya.

“Salam rakyatku. . .” 

Sapaan Arsyanendra itu berhasil membuat rakyatnya yang histeris semakin histeris.

“Yang Mulia. . .” 

“Yang Mulia. . .” 

Teriakan itu terdengar di telinga Arsyanendra. Namun Arsyanendra tidak kehabisan akal. Dengan jarinya yang menyentuh ke bibirnya, Arsyanendra memberikan isyarat kepada rakyatnya untuk sedikit tenang dan rakyatnya melakukan hal yang diperintahkannya. Dalam sekejap, beberapa teriakan histeris rakyat dalam radius seratus meter dari Arsyanendra terhenti. 

Arsyanendra berjalan penuh wibawa dan kemudian berlutut untuk menyamakan posisinya di depan gadis yang memeluk tubuh anak laki – laki itu. 

“Yang Mulia, mohon maafkan anak ini. Dia tidak sengaja membuat iring – iringan Yang Mulia terganggu.” 

Gadis itu menundukkan kepalanya sedikit ketika menyadari Raja Ketiga Negara Hindinia berlutut di depannya berusaha untuk menyamakan posisi mereka. 

“Siapa namamu, Nak?” 

Arsyanendra bertanya kepada anak laki – laki itu sembari mengelus lembut kepala anak laki – laki yang sedang gemetaran ketakutan itu. 

“Rio, Yang Mulia.” 

Anak laki – laki itu kemudian perlahan menatap Arsyanendra meski masih dengan sedikit gemetaran. Bahkan jawaban yang diberikannya kepada Arsyanendra diucapkannya dengan suara yang bergetar. 

“Rio. . nama yang bagus. Kamu tidak perlu takut, aku tidak marah padamu. Aku kemari karena ingin bertanya, apakah Rio terluka?” 

Mendengar suara lembut dari Arsyanendra, anak laki – laki bernama Rio itu kemudian tersenyum ke arah Arsyanendra. 

“Mohon maafkan kesalahan Rio, Yang Mulia. Rio baik – baik saja.” 

“Baguslah kalau begitu. . .” Arsyanendra menjawab dengan senyuman lembut di bibirnya. Arsyanendra kemudian mengalihkan pandangannya kepada gadis yang memeluk tubuh Rio. “Bagaimana dengan Nona? Apakah Nona terluka?” 

Masih dengan menundukkan kepalanya berusaha memberikan hormatnya, gadis itu kemudian menjawab pertanyaan Arsyanendra, “Saya baik – baik saja, Yang Mulia. Terima kasih atas perhatian Yang Mulia.” 

“Surendra. . .” 

Arsyanendra berteriak memanggil kepala pengawalnya dan dengan cepat kepala pengawalnya itu berlari mendekat ke arah Rajanya. 

“Yang Mulia. . .”

“Bantu Nona ini dan Rio berdiri. . .” 

“Baik, Yang Mulia.” 

Surendra kemudian membantu gadis itu dan Rio berdiri. 

“Karena kalian berdua baik – baik saja, aku bisa pergi dengan tenang.” Arsyanendra hendak berbalik dan berjalan kembali naik keretanya ketika teringat sesuatu yang penting. “Nona. . .” 

“Ya, Yang Mulia. . .” jawab gadis itu masih dengan menundukkan kepalanya. 

“Siapa nama, Nona?” 

“Ravania. Ravania Hargandi.” 

“Kalau begitu, berhati – hatilah dan sampai jumpa lagi, Nona Ravania. Untuk Rio, lain kali hati – hati, Nak.” 

Setelah mengatakan itu, Arsyanendra naik ke kereta kudanya diikuti oleh Surendra yang duduk di depan bersama dengan kusir. Kereta kuda yang membawa Arsyanendra berkeliling kota mulai berjalan lagi diikuti oleh teriakan histeris rakyatnya yang melihat kebaikan dan sikap terpuji Arsyanendra. 

Masih dengan tersenyum dan tangan yang terus melambai membalas histeria rakyatnya yang memanggil namanya, Arsyanendra kemudian memanggil nama kepala pengawalnya. 

“Surendra.” 

Dengan sedikit menolehkan kepalanya dan tetap menjaga jarak pandangannya bersikap waspada, Surendra menjawab panggilan Rajanya. “Ya, Yang Mulia.” 

“Gadis tadi. . .bisakah kamu menyelidiki membuatnya datang ke istana sekaligus menyelidiki latar belakangnya?” 

“Baik, Yang Mulia.” 

“Atur secepatnya dan aku ingin kamu melakukan hal ini dengan rahasia.” 

“Saya mengerti, Yang Mulia.” 

Perjalanan yang dilakukan Arsyanendra dalam perayaan penobatannya sebagai Raja Ketiga memakan waktu empat jam lamanya. Dalam empat jam itu, Arsyanendra terus memasang senyumannya dan terus melambaikan tangannya membalas histeria rakyat yang ditujukan kepadanya. 

Setelah empat jam lamanya berkeliling Ibu Kota dan akhirnya bisa kembali ke istana, kegiatan perayaan itu tidak sampai di situ saja. Begitu sampai di istana, para pelayan istana telah menunggu kedatangan Arsyanendra dan kemudian membawa Arsyanendra ke ruang ganti pakaian. Para pelayan kemudian membantu Arsyanendra mengganti pakaian yang dikenakannya dengan seragam militer yang biasa dikenakan oleh Para Raja sebelumnya. 

Perlahan matahari mulai tenggelam dan berganti tugas dengan rembulan. Arsyanendra yang telah berganti pakaian dengan seragam militer kemudian berjalan melewati lorong panjang di istana diikuti oleh Kepala pengawalnya, Surendra, beberapa pengawal istana dan pelayan istana. 

Surendra yang berdiri di depan bersama dengan sekretaris istana, Evan membawa Arsyanendra ke sebuah aula besar lainnya yang terhubung dengan taman besar istana. 

Begitu melihat pintu besar di depan Arsyanendra, dua pengawal yang berjalan di depan Arsyanendra segera berdiri di depan pintu dan membukakan pintu untuk Arsyanendra. 

“Yang Mulia. . .” 

Evan, sekretaris istana yang berusia sama dengan Surendra mulai berbicara memanggil Arsyanendra. 

“Ya?” 

“Malam ini adalah malam perayaan yang dihadiri oleh undangan – undangan tertentu yang berhubungan dengan pemerintahan, Yang Mulia,” jelas Evan dengan sedikit menundukkan kepalanya. “Apakah saya perlu menjelaskan setiap para undangan yang ada dalam acara ini?” 

“Tidak perlu, Eva. Aku mengenal dengan jelas setiap wajah yang ada dalam aula ini. Satu hal yang ingin aku tanyakan padamu, Evan?” 

“Silakan, Yang Mulia.” 

“Kenapa tidak ada satu pun perwakilan kaum proletar hadir dalam acara ini? Jelas kulihat bahwa yang ada dalam ruangan ini semuanya adalah keturunan kaum aristokrat.” 

“Mohon maafkan saya, Yang Mulia. Sejak Raja Kedua, Jahan Balakosa memerintah, Raja Jahan memberi perintah kepada kami bahwa tidak akan menerima kaum proletar sebagai tamu. Kaum proletar yang masuk ke istana hanya bisa dengan status pelayan dan pengawal.” 

Arsyanendra tersenyum mendengar jawaban dari Evan, sekretaris kerajaan. “Aku mengerti. Kalau begitu, mulai besok hapuskan aturan itu. Aku sebagai Raja Ketiga akan menerima Kaum Proletar sebagai tamuku yang sama derajatnya dengan Kaum Aristokrat. Bisa kamu lakukan, Evan?” 

“Akan saya laksanakan, Yang Mulia.” 

Arsyanendra melangkahkan kakinya masuk ke dalam aula diikuti oleh kepala pengawalnya dan beberapa pengawal istana, sementara para pelayan wanita menunggu di luar aula. 

Sepuluh. 

Sepuluh orang. 

Sepuluh kepala keluarga. 

Sepuluh pemimpin kaum aristokrat. 

Sepuluh orang busuk bawahan Jahan Balakosa. 

Sepuluh orang perusak Hindinia. 

Setelah Jahan Balakosa, kali ini giliran kalianlah yang akan menerima pembalasan. 

Dengan ini, aku sudah memasuki medan perang berikutnya. Kali ini tidak ada jalan kembali, baik dalam keadaan terluka atau pun sekarat; jika aku ingin hidup, aku harus bisa memenangkan peperangan ini. 

Arsyanendra kemudian mengedarkan pandangannya menatap ke arah Virya dan juga Narendra Balakosa. 

Lalu. . . masih ada dia. Yang selalu menganggapku saingannya meski aku sama sekali tidak ingin bersaing dengannya. Yang selalu menganggapku musuhnya meski aku sama sekali tidak berniat bermusuhan dengannya. 

Ya. . . yang pasti ada sepuluh musuhku saat ini berdiri di ruangan yang sama dan berkumpul di sini. Tersenyum layaknya seorang teman dan keluarga dengan membawa pisau di belakangnya dan siap menyerang ke arahku. 

Aku tahu dengan jelas, tidak akan pernah ada ketulusan di hati mereka. Bagi mereka kedudukan dan kekayaan adalah segalanya. 

Tersenyumlah dengan sangat lebar, ketika kalian masih bisa tersenyum. 

Tertawalah dengan kencang ketika kalian masih bisa tertawa. 

Karena setelah ini, kalian tidak akan pernah bisa melakukannya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status