Berita mengenai penobatan Raja baru sudah didengar di seluruh penjuru negeri. Rakyat dari dua kaum yakni aristokrat dan proletar berbondong- bondong datang ke ibu kota yakni Kota Jako Arta. Terpisah jurang yang sangat besar, kerumunan rakyat dari dua kaum menjadi penonton dengan dua keadaan yang berbanding terbalik. Rakyat dari kalangan kaum aristokrat yang dikenal memiliki kedudukan di pemerintahan dan istana, duduk menjadi penonton dengan menyewa hotel – hotel dan kedai minuman di sepanjang jalanan yang nantinya akan dilewati oleh iring – iringan Raja yang baru.
Sedangkan untuk kaum proletar yang dikenal sebagai rakyat kelas bawah, hanya bisa berdiri berkumpul di pinggir jalanan yang telah diberi batas oleh pasukan istana. Meski begitu, meski kondisi yang dimiliki oleh kaum proletar terkesan menyedihkan, bagi kaum proletar bisa berdiri menatap wajah Rajanya secara langsung adalah sebuah kebanggaan tersendiri.
Ini perayaan kedua setelah dua puluh tahun lamanya sejak perayaan besar Raja Pertama Negara Hindinia yaitu Ekaraj Balakosa dinobatkan. Penobatan Raja Kedua diwarnai kontroversi dan pertikaian dikarenakan sebelum penobatannya, Raja Kedua lebih dulu melengserkan kakaknya, Devandra Balakosa dan merebut posisi putra mahkota. Berita mengenai perbuatan buruk Raja Kedua, Jahan Balakosa terdengar hingga ke seluruh penjuru negeri. Namun berita buruk tentang dirinya, tidak membuat Jahan Balakosa gentar untuk menduduki takhta dan memerintah Hindinia selama sepuluh tahun lamanya.
Namun kali ini, keadaannya berbeda. Bagi kaum proletar, Raja Ketiga yakni Arsyanendra Balakosa yang merupakan putra dari Davendra Balakosa adalah pahlawan. Arsyanendra dengan berani melawan pemerintahan Jahan Balakosa dan kemudian membunuh Raja Tirani itu sebelum menduduki takhta. Karena hal itu, tidak heran jika penobatan dan perayaan yang diadakan untuk Arsyanendra sangatlah meriah dan mendapat sambutan dari kaum proletar yang merupakan kaum dengan jumlah yang sangat banyak.
“Kudengar. . . Raja Ketiga memiliki wajah yang sangat tampan. . .”
Salah satu gadis dari kaum proletar berbicara kepada temannya sembari menunggu iring – iringan Raja Ketiga.
“Benar. . . itulah yang aku dengar. Di usianya yang masih 24 tahun, Raja Ketiga kita adalah Raja termuda dalam sejarah Hindinia. Tidak hanya memiliki wajah yang tampan, Raja ketiga Hindinia dikenal memiliki senyuman yang memesona dan penuh wibawa. Wajahnya yang tampan diturunkan dari ayahnya, Mantan Putra Mahkota Davendra Balakosa.”
Gadis yang sedang berdiri di dekat gadis – gadis yang sibuk berbisik itu mendengar perbincangan itu dan ikut mengeluarkan pendapatnya.
“Temanku yang bekerja sebagai pelayan Istana juga mengatakan bahwa Raja Ketiga yang sekarang ini memang sosok yang sesuai untuk menjadi Raja. Andai saja sepuluh tahun yang lalu, ayah dari Raja Ketiga tidak dihukum mati oleh Raja Kedua. Yah. . . apa yang seharusnya menjadi milik seseorang, akan kembali padanya meski sempat hilang atau direbut oleh orang lain. . .”
“Benar sekali. . . mengingat Raja Ketiga kita saat ini dulunya adalah Putra dari Mantan Putra Mahkota, sudah seharusnya Raja Ketiga kita yang duduk di takhta saat ini.”
Perbincangan itu semakin menyebar dan kemudian terdengar di telinga Narendra Balakosa yang duduk di salah satu balkon hotel mewah di pinggir jalanan. Narendra Balakosa yang berusia satu tahun lebih muda dari Arsyanendra Balakosa adalah sepupu sekaligus putra dari Raja Kedua, Jahan Balakosa. Dengan wajah yang penuh amarah, Narendra memukul pegangan kursi tempatnya duduk untuk melampiaskan amarahnya.
“Sial. . .” umpat Narendra dengan penuh amarah.
Karena perbuatan Arsyanendra itu, aku dilengserkan dari posisiku sebagai Putra Mahkota dan di cap sebagai pangeran terbuang.
Karena perbuatan Arsyanendra itu, aku gagal mewujudkan impianku untuk menduduki takhta itu.
Sial. . . sungguh sial.
Virya, adik dari Narendra yang melihat tindakan kesal dan mendengar umpatan kesal dari kakaknya hanya bisa tersenyum dan berkata, “Jaga sikapmu, Kakak. Banyak anggota dari kaum aristokrat di dekat sini, kakak sendiri yang bilang ingin melihat diam – diam perayaan hari ini.”
Narendra memandang kesal ke arah adik perempuannya yang berusia lima tahun lebih muda darinya.
“Kamu. . . kenapa sekali pun aku tidak pernah melihatmu marah atas perbuatan Arsyanendra kepada keluarga kita?”
“Kenapa aku harus marah, ketika perbuatan Arsyanendra dilakukan dengan tujuan untuk menyelamatkan rakyat dan Negara Hindinia?”
Dengan senyuman di wajahnya dan mata yang datar, Virya berbalik mengajukan pertanyaan kepada kakaknya, Narendra.
Virya tahu dengan benar, Kakaknya Narendra sejak kecil begitu membenci Arsyanendra karena orang – orang yang selalu membandingkan dirinya dengan Arsyanendra. Dari wajah yang dimiliki, kepribadian, pendidikan serta prestasi, semua orang baik dari kaum aristokrat dan proletar sejak dulu selalu membandingkan kakaknya dengan Arsyanendra dan hal itu menjadi pemicu kebencian yang dipendam oleh Narendra kepada Arsyanendra.
Jika Virya berpikir secara objektif, jelas kakaknya Narendra jauh berada di bawah Arsyanendra yang kini dinobatkan sebagai Raja Ketiga. Sikapnya yang tidak tenang dan mudah tersulut api kemarahan membuat kakaknya Narendra selalu berakhir di pihak yang kalah dan Virya menyadari hal itu.
“Arsyanendra yang kini dinobatkan sebagai Raja Ketiga telah membunuh ayah kita dan membuat kita turun status menjadi pangeran dan putri yang terbuang.”
“Apakah itu alasan Kakak marah?”
Virya berbalik bertanya lagi kepada kakaknya, Narendra.
“Tentu saja, adakah alasan lain kenapa aku harus marah terhadap Arsyanendra. . .” jawab Narendra dengan cepat. “Ah, tidak. Harusnya aku tidak menyebut namanya yang menjijikkan itu. Bagaimana aku harus menyebutnya mulai sekarang? Mungkin kata licik adalah kata yang pantas untuk menggambarkan Raja Ketiga itu.”
“Hentikan ucapanmu itu jika Kakak masih sangat menyayangi nyawa Kakak. Jika pihak istana dan kaum aristokrat mendengar hal ini, itu bisa menjadi alasan kematian Kakak.”
Virya berbicara dengan tenang dan nada datar seperti biasanya. Jauh di dalam hati Virya, dirinya tahu Kakaknya masih sangat marah atas kematian Ayahnya dan posisi istimewa milik Kakaknya yang kini telah hilang. Kebencian itu kian menumpuk dan kini membuat Kakaknya, Narendra berada dalam daftar hitam Arsyanendra, sepupunya yang kini telah menjadi Raja Ketiga Hindinia.
Teriakan rakyat dari kaum proletar terdengar begitu kencang tatkala iring – iringan Arsyanendra mulai keluar dari area istana. Dengan duduk di atas kereta kuda milik istana yang berwarna putih dengan dua kuda putih sebagai tenaga penariknya, Arsyanendra yang mengenakan pakaian serba putih dengan jubah merah duduk dengan penuh wibawa.
Tangannya melambai – lambai membalas teriakan para rakyatnya yang menyerukan namanya dan memuji dirinya. Senyuman menghiasi wajahnya membuat para gadis – gadis yang melihat terpesona dan jatuh hati ketika menatapnya.
Itulah Arsyanendra Balakosa.
Pria yang sepuluh tahun yang lalu memiliki sebutan Pangeran Terbuang dan menghadapi banyak jalan yang sulit selama kehidupannya.
Pria muda yang tetap bertahan meski telah kehilangan segalanya.
Pria muda dan Pangeran yang begitu mencintai rakyatnya.
Pria muda dan Pangeran yang telah membunuh Raja Kedua dengan tangannya sendiri.
Dan kini Pria muda itu telah berubah menjadi Raja Ketiga Negara Hindinia.
Virya tersenyum ketika melihat iring – iringan Raja Ketiga lewat tepat di depannya. Dan senyuman dari Virya tertangkap mata oleh Arsyanendra. Sang Raja Ketiga kemudian melemparkan senyumannya yang lebih lebar dari sebelumnya dengan tujuan membalas senyuman dari Virya.
Kini setelah semua yang menjadi milikmu kembali, Kak Arsyanendra.
Apa yang akan kamu lakukan setelah ini, Kak Arsyanendra?
Masih dengan tersenyum, Virya bertanya – tanya di dalam benaknya ketika menatap iring – iringan Raja Ketiga mulai menjauh dari hadapannya.
# # #
Arsyanendra menangkap senyuman adik sepupunya, Virya yang duduk di salah satu balkon hotel bersama dengan Narendra yang menyebalkan itu. Dalam benaknya, Arsyanendra selalu menanyakan hal yang sama ketika melihat Virya dan Narendra bersama.
Bagaimana kakak adik seperti mereka yang memiliki tabiat yang begitu berbeda bisa duduk bersama seakan tidak terjadi apapun?
Arsyanendra yang merupakan anak tunggal tidak mengerti akan hal itu. Arsyanendra tidak mengerti bagaimana koneksi yang terjadi antara kakak dan adik. Arsyanendra yang kehilangan ibunya sejak lama pun tidak mengerti koneksi yang terjadi antara ibu dan anak. Di dunia ini hanya ada dua hubungan yang begitu berarti bagi Arsyanendra.
“Yang Mulia. . . lihatlah kemari. . .”
“Yang Mulia tampan sekali. . . .”
“Yang Mulia adalah pahlawan kami. . .”
Di tengah teriakan para rakyatnya yang begitu memuja dirinya. Di tengah keramaian yang ada di sekeliling Arsyanendra dan di tengah seluruh mata rakyatnya yang tertuju pada dirinya, Arsyanendra yang duduk dengan tersenyum dan terus melambaikan tangannya merasa dirinya begitu kesepian.
Jalan ini begitu sepi.
Dua orang yang begitu berharga bagiku pergi lebih dulu dariku dan membuatku menempuh jalan ini seorang diri.
Seandainya saja. . . ada satu orang yang menemaniku. .
Bruk. . .
Hihik. . . Hihik. . .
Suara pekikan dua kudanya dan kereta kudanya yang berhenti mendadak membuat Arsyanendra yang melamun kemudian tersadar.
Arsyanendra menatap ke arah depan dan menyadari ada seorang anak laki – laki yang masuk ke dalam jalurnya dan nyaris tertabrak dan terinjak oleh kuda – kudanya. Di sampingnya, seorang gadis sedang memeluk tubuh anak laki – laki itu dan berusaha melindunginya dengan tubuhnya.
Wajah gadis itu terangkat dan membuat Arsyanendra dapat melihat dengan jelas wajahnya.
Kuharap. . .
Ucapanku yang berharap ada satu orang saja yang menemaniku bisa kutarik lagi.
“Yang Mulia, baik – baik saja?” Surendra segera berbalik dan bertanya ketika menyadari sesuatu yang tidak terduga terjadi dalam iring – iringan yang membawa Rajanya. Arsyanendra yang baru saja tersadar dari lamunannya, menarik napas panjang dan beberapa kali mengedipkan matanya memastikan apa yang sedang dilihatnya saat ini. “Yang Mulia. . .” panggil Surendra untuk kedua kalinya. “Apakah Yang Mulia terluka?” Surendra hendak meminta beberapa pengawal istana mendekat namun dengan cepat tindakannya itu dihentikan oleh Arsyanendra dengan jawabannya. “Aku baik – baik saja, Surendra. Aku hanya sedikit terkejut saja. Tidak lebih. Apa yang terjadi?” “Sepertinya anak laki – laki itu terdorong oleh kerumunan proletar dan terlempar masuk ke dalam jalur yang Yang Mulia lewati.” “Lalu gadis itu?” tanya Arsyanendra masih tidak bisa melepaskan pandangannya dari gadis yang memeluk tubuh
“Yang Mulia Raja Arsyanendra memasuki aula. . .”Pengumuman kencang yang diucapkan oleh pembawa acara yang tidak lain adalah juru bicara istana berhasil membuat aula istana yang ramai berubah menjadi hening dalam waktu singkat. Sorotan lampu yang tadinya menyebar ke seluruh bagian aula kini menyorot hanya satu arah saja, yakni ke arah Arsyanendra yang berdiri dengan pesonanya dan senyumannya yang menawan.Para hadirin dan tamu undangan dengan segera berbalik menghadap ke arah datangnya Arsyanendra dan segera menundukkan kepalanya memberikan penghormatan mereka kepada Arsyanendra.“Selamat malam, Yang Mulia. . .”Dengan serentak seluruh tamu undangan dalam pesta besar yang diadakan di aula istana segera mengucapkan salam mereka menyambut kedatangan Sang Raja Ketiga. Dan seperti biasanya, dengan senyuman Arsyanendra menjawab salam dari seluruh tamu undangannya, “Selamat malam, para tamuku.”
Seusai pesta dansa yang menakjubkan dan membuat para tamu undangan terpesona, para tamu undangan di bawa ke meja besar untuk menikmati hidangan khusus yang telah disiapkan oleh istana. Ini adalah kebiasaan yang dimulai sejak Jahan Balakosa memimpin Hindinia sebagai Raja Kedua. Kebiasaan buruk yang banyak menghabiskan banyak uang negara dan rakyat proletar dalam perjalanannya. Memaksa kaum proletar yang hidup serba kekurangan untuk membayar pajak dan menghabiskan keringat mereka hanya untuk makan bersama dengan kaum aristokrat yang sudah hidup penuh dengan kemewahan. Kalian semua busuk.Arsyanendra yang tersenyum melihat canda tawa kaum aristokrat yang duduk bersama dengannya di meja makan yang sama. Arsyanendra benar – benar menyembunyikan amarahnya, kebenciannya dan juga rasa ingin membunuhnya di balik senyuman dan pesona yang dimilikinya. Dengan mudahnya, Arsyanendra bahkan ikut bercanda bersama dengan beberapa kepala keluarga kaum aristok
Tiga hari kemudian. . .Selama tiga hari setelah pesta penobatannya, Arsyanendra disibukkan dengan beberapa kegiatan barunya sebagai Raja Hindinia. Selama tiga hari, banyak kunjungan penting yang dilakukan oleh Arsyanendra sebagai seorang Raja. Dari berkunjung ke beberapa sektor yang berhubungan dengan pemerintahannya seperti sektor hukum, ilmu pengetahuan dan pendidikan lalu ke sektor pertahanan di ibu kota.Tidak hanya berkunjung ke tempat di mana kaum aristokrat, Arsyanendra pun juga berkunjung ke tempat para kaum proletar. Melihat kondisi yang sangat menyedihkan dari kaum proletar, Arsyanendra berniat memperbaiki lingkungan hidup kaum proletar dan berusaha membantu kaum proletar untuk mendapatkan hak yang sama dengan kaum aristokrat. Sayangnya. . . apa yang diinginkan oleh Arsyanendra tidak semudah membalikkan tangan. Rencananya itu akan sangat sulit dilakukan saat ini dan bahkan akan banyak memicu pertikaian dari kaum aristokrat.
“Ingat Surendra ketika gadis itu nantinya datang, ambil sampel dari gelas minumannya dan periksa DNA nya. Wajah yang dimilikinya terlalu mirip dengan Indhira dan sebelum aku tahu identitasnya dengan benar, aku akan tidak akan bisa membuatnya menjadi salah satu pionku menghadapi kaum aristokrat.”Dua hari kemudian dengan wajahnya yang selalu tersenyum, Arsyanendra duduk menunggu di ruangannya kedatangan gadis yang sedang ditunggu dan berhasil menarik perhatiannya sejak pertama kali merekabertemu.Mungkin karena kesamaan wajah yang dimiliki oleh Ravania dengan Indhira, cinta pertamanya membuat Arsyanendra untuk sesaat membuat harapan kecil yang telah hilang dan kandas sepuluh tahun yang lalu. Kehilangan ayah dan kehilangan Indhira di saat yang nyaris bersamaan sepuluh tahun yang lalu membuat Arsyanendra berdiri di tempatnya saat ini, mengenakan pakaian kerajaan yang begitu dibencinya dan juga tinggal di istana yang begitu menyesakka
Arsyanendra yang duduk di ruang kerjanya sembari menatap langit malam yang dihiasi oleh sinar rembulan mendengar ketukan pintu ruangannya.Tok. . . tok. . .“Yang Mulia.”Arsyanendra mengenali suara kepala pengawalnya. “Masuklah.”“Nona Ravania sudah menunggu di ruang tunggu yang telah dipersiapkan, Yang Mulia.”“Baiklah, aku akan segera ke sana. Lalu perintahkan pelayan istana untuk mengantarkan jamuan makan malam ke tempat pertemuanku dengan Ravania.”“Saya mengerti, Yang Mulia.”Surendra kemudian memberikan perintah kepada pelayan yang berjaga di dekat ruang kerja Arsyanendra sebelum akhirnya mengawal Arsyanendra ke ruangan di mana Ravania sedang menunggu kedatangannya.Pintu ruang tunggu terbuka. Arsyanendra masuk dan langsung menyapa tamu yang sangat dinantikannya.“Selamat malam, Nona Ravania.”&nb
Ravania memandang tepat ke arah mata Arsyanendra dengan harapan dapat menemukan bahwa apa yang baru saja didengar oleh indra pendengarannya sesaat tadi adalah sebuah candaan semata. Sayangnya bagaimana pun Ravania menatap ke arah mata Arsyanendra, dirinya tidak menemukan sedikit tanda candaan di mata coklat keemasa Arsyanendra. Arsyanendra menangkap pandangan Ravania yang diarahkan kepadanya dan tersenyum lagi membalas tatapan Ravania pada dirinya. “Yang Mulia tersenyum?” “Tidak bisakah aku tersenyum, Nona Ravania?” Arsyanendra membalas pertanyaan Ravania dengan pertanyaan lain. “Saat ini Nona Ravania sedang memandangku dengan harapan bahwa perkataanku sebelumnya hanyalah sebuah candaan, bukan?” Ravania tersentak. Dengan segera kepalanya berusaha mengalihkan pandangannya ke arah lain ketika menyadari Raja Muda yang duduk di hadapannya dapat dengan jelas membaca pikirannya hanya dengan melihat raut wajahnya. “Aku a
Pukul sepuluh malam, akhirnya Ravania tiba di rumahnya. Dengan penuh kebahagiaan, Agni sahabatnya segera menyambut kedatangan Ravania. Sayangnya kebahagiaan di wajah Agni segera menghilang ketika menyadari Ravania melupakan janjinya untuk meminta tanda tangan Raja Arsyanendra Balakosa untuknya. “Maafkan aku, Agni. Sesuatu terjadi dan aku tidak sempat untuk meminta tanda tangan Yang Mulia Arsyanendramu itu. . .” Dengan wajah yang sangat lelah, Ravania meminta maaf kepada Agni dan kemudian meninggalkan Agni begitu saja dan segera berbaring di tempat tidurnya. Setelah seharian menghabiskan waktu di luar rumah, perlahan rasa lelah yang sempat dilupakan oleh Ravania menyerang tubuhnya dengan cepat. Bau tempat tidurnya yang nyaman dengan segera membuat mata Ravania kehilangan kekuatannya dan menutup, membawa Ravania tenggelam dalam rasa lelahnya yang begitu dalam. Di saat – saat sebelum matanya terpejam, Ravania memikirkan lagi ucapan Raja Muda Hi