Share

4. RAJA KETIGA DAN PESTA PERAYAAN

“Yang Mulia Raja Arsyanendra memasuki aula. . .” 

Pengumuman kencang yang diucapkan oleh pembawa acara yang tidak lain adalah juru bicara istana berhasil membuat aula istana yang ramai berubah menjadi hening dalam waktu singkat. Sorotan lampu yang tadinya menyebar ke seluruh bagian aula kini menyorot hanya satu arah saja, yakni ke arah Arsyanendra yang berdiri dengan pesonanya dan senyumannya yang menawan. 

Para hadirin dan tamu undangan dengan segera berbalik menghadap ke arah datangnya Arsyanendra dan segera menundukkan kepalanya memberikan penghormatan mereka kepada Arsyanendra. 

“Selamat malam, Yang Mulia. . .” 

Dengan serentak seluruh tamu undangan dalam pesta besar yang diadakan di aula istana segera mengucapkan salam mereka menyambut kedatangan Sang Raja Ketiga. Dan seperti biasanya, dengan senyuman Arsyanendra menjawab salam dari seluruh tamu undangannya, “Selamat malam, para tamuku.” 

Arsyanendra kemudian perlahan mulai melangkahkan kakinya memasuki aula istana masih dengan sorotan lampu yang mengikutinya. Arsyanendra kemudian mengangkat tangannya ke atas dan memberikan isyarat pada petugas istana untuk menghentikan sorotan lampu yang sedikit menyilaukan matanya itu. 

Surendra yang memahami isyarat itu segera memberikan perintah kepada bawahannya untuk menghentikan sorotan lampu itu melalui alat yang terpasang di kedua telinganya. 

“Hentikan sorotan lampunya.” 

Arsyanendra kemudian berjalan lagi ke tengah – tengah aula dan memberikan perintah kepada seluruh tamunya. Dengan nada bicara yang santai dan senyuman di wajahnya, Arsyanendra berkata, “Ini adalah pesta penobatanku, tidak bisakah kalian bersikap tidak terlalu formal? Kalian bisa mengangkat kepala kalian dan menikmati jalannya pesta.”

Mendengar perintah Rajanya, seluruh tamu undangan segera mengangkat kepala mereka dan menatap wajah Rajanya yang memberikan senyumannya kepada mereka. 

Satu dari salah satu tamu undangan kemudian berlari mendekat ke arah Arsyanendra dengan senyuman di wajahnya. Setelah menjaga jarak tiga langkah dari Arsyanendra dan memberikan penghormatannya dengan sedikit membungkukkan tubuhnya, pria muda bernama Osborn kemudian berkata, “Yang Mulia. Selamat untuk penobatan Yang Mulia.” 

Arsyanendra menatap pria muda bernama Osborn dengan senyumannya dan kemudian membalas ucapan selamat darinya. “Terima kasih banyak, Osborn.” 

Tidak lama kemudian, di belakang Osbron berdiri ayah dari Osborn yang bernama Ethan Bimasena yang merupakan satu dari sepuluh kepala keluarga kaum aristokrat yang bertugas menjaga perbatasan di bagian utara Negara Hindinia. 

“Selamat malam, Yang Mulia.” 

Ethan Bimasena berdiri di samping putranya dan kemudian menyapa Arsyanendra dengan penuh wibawanya. 

“Malam, Tuan Ethan Bimasena.” 

“Mohon maafkan kelancangan putra saya yang tidak pernah belajar tata krama ketika berdiri di hadapan Yang Mulia.” 

“Karena kami pernah bersekolah di sekolah yang sama, Tuan Ethan tidak perlu merasa khawatir dengan tindakan Osborn. Saya sama sekali tidak tersinggung justru saya sangat merasa senang. Setelah seharian harus berkeliling di ibu kota, saya sangat senang jika beberapa kawan lama saya menyapa saya seperti sebelum saya menduduki takhta ini.” 

Arsyanendra memang pernah bersekolah di sekolah yang sama dengan Osbron sewaktu masih berstatus menjadi pangeran, putra dari putra mahkota. Osborn sendiri berusia dua tahun lebih muda dari Arsyanendra. Tidak seperti ayahnya yang tenang dan penuh wibawa, Osborn memiliki tabiat yang banyak bicara dan tidak bisa diam. 

Tidak lama kemudian, para kepala keluarga dari kaum aristokrat satu persatu datang mendekat ke arah Arsyanendra dan kemudian mengucapkan kata selamat kepada Arsyanendra. 

“Selamat untuk Yang Mulia Arsyanendra. . .” 

Teriakan yang sedikit kencang itu terdengar mendekat dan Arsyanendra dengan jelas mengenali pemilik suara itu. Suara kencang itu adalah suara dari Ishwar Urvilla, satu dari sepuluh kepala keluarga kaum aristokrat yang bertugas untuk menjaga perbatasan di bagian selatan Negara Hindinia. 

Ishwar Urvilla kemudian mendekat dan memberikan penghormatannya kepada Arsyanendra. 

“Yang Mulia.” 

“Terima kasih untuk ucapan selamat dari Tuan Ishwar. Lama tidak bertemu, Tuan.” 

Arsyanendra membalas sapaan Ishwar Urvilla dengan senyuman santainya. 

“Kamu masih tidak berubah, Ishwar. Seperti biasa bicaramu yang kencang itu selalu saja membuat telingaku yang mendengarnya terganggu. . .” 

Ethan Bimasena yang masih berdiri di dekat Arsyanendra mengeluh ketika mendengar suara kencang dari Ishwar Urvilla. 

“Apakah suara saya yang kencang ini mengganggu, Yang Mulia?” 

Dengan bijak, Arsyanendra menjawab pertanyaan Ishwar Urvilla, “Tidak Tuan Ishwar. Saya tahu dengan baik bagaimana bekerja di lautan. Suara yang kencang yang biasa Tuan Ishwar lakukan adalah kebiasaan Tuan ketika banyak menghabiskan waktu Tuan untuk menjaga perbatasan di selatan.” 

“Lihatlah, Ethan Bimasena. Yang Mulia bahkan tidak terganggu dengan suaraku yang sedikit kencang.” 

Mendengar teriakan Ishwar Urvilla, dua kepala keluarga dari kaum aristokrat kemudian mendatangi Arsyanendra dan kemudian membungkukkan sedikit tubuhnya memberikan penghormatan kepada Arsyanendra dan secara bersamaan mengucapkan salam kepada Arsyanendra. 

“Selamat kepada Yang Mulia.” 

Kepala keluarga Narain yakni Ganendra yang merupakan penjaga perbatasan di bagian barat datang bersama dengan kepala keluarga Birendra yakni Gala yang merupakan penjaga perbatasan di bagian timur. Jika penjaga perbatasan utara dan selatan layaknya kucing dan tikus yang selalu beradu mulut ketika bertemu, lain halnya dengan penjaga perbatasan barat dan timur yang layaknya burung dan kerbau yang begitu bersahabat dan selalu bersikap tenang. 

“Terima kasih untuk ucapannya Tuan Ganendra Narain dan Tuan Gala Birendra. Di manakah kedua putra Tuan, saya tidak melihat mereka berdua ketika memasuki aula?” 

Arsyanendra membalas ucapan selamat dari Gala dan Ganedra dengan senyuman dan penuh wibawa. 

“Karena Yang Mulia adalah teman kuliah Tara, Yang Mulia harusnya mengerti bahwa Tara sangat membenci yang namanya pesta. Baginya pesta adalah pemborosan waktu dan uang.” 

Masih dengan tersenyum, Arsyanendra yang sudah mengenal baik Tara Narain menjawab ucapan Ganendra Narain. “Ya, memang begitulah Tara. Tapi saya sempat sedikit berharap dia akan datang kemari karena kami adalah teman sewaktu kuliah.” 

“Mohon maafkan kekurangan putra saya Tara, Yang Mulia.” 

Ganendra Narain segera membungkukkan tubuhnya ketika menyadari harapan yang terucap dari bibir Arsyanendra. Namun dengan cepat Arsyanendra menjawab perasan bersalah dari Ganendra, “Lain kali, aku akan mengajak putramu, Tara untuk berburu. Apakah Tuan Ganendra tidak keberatan?” 

“Sebuah kehormatan bagi kami mendapatkan undangan dari Yang Mulia.” 

Arsyanendra kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Gala Birendra dan kemudian mengganti perbincangannya. 

“Lama tidak bertemu Tuan Gala Birendra.” 

Dengan menundukkan kepalanya memberikan penghormatan, Gala Birendra kemudian membalas sapaan dari Arsyanendra, “Ya, Yang Mulia. Mungkin sekitar lima tahun lamanya kita tidak bertemu.” 

“Bagaimana kabar putramu Orion, Tuan Gala?” 

“Baik – baik saja, Yang Mulia. Orion masih sibuk menghabiskan hari – harinya dengan membaca banyak buku dan mempraktikkannya, Yang Mulia.” 

Arsyanendra mengingat benar Orion putra dari Gala Birendra yang sangat suka membaca buku dan segera mempraktikkannya. Arsyanendra benar – benar tertarik dengan kebiasaan Orion yang langka ini, karena buku – buku yang dibacanya tidak terbatas pada tema tertentu melainkan banyak hal kecuali novel dan komik. 

“Sampaikan salamku pada Orion, Tuan Gala. Aku ingin mengundang Orion, Tara dan semua calon penerus dari sepuluh kepala keluarga kaum aristokrat untuk melakukan perburuan di istana. Apakah itu memberatkan Tuan Gala?” 

Gala Birendra menundukkan kepalanya dan memberikan penghormatan atas undangan yang diberikan oleh Arsyanendra kepada putranya. Di belakang Gala, sembilan kepala keluarga lainnya yang mendengar ucapan Arsyanendra juga melakukan hal yang sama dengan Gala Birendra. Secara serentak sepuluh kepala keluarga kaum Aristokrat kemudian mengucapkan hal yang sama. 

“Sebuah kehormatan bagi kami dan calon penerus kami bisa hadis dalam acara itu, Yang Mulia.” 

Arsyanendra tersenyum mendengar ucapan dari sepuluh kepala keluarga Aristokrat dan kemudian dengan tangannya, Arsyanendra memberikan isyarat pada Surendra yang berdiri tidak jauh darinya. 

Musik klasik kemudian diputar dan beberapa pasangan dari tamu undangan kemudian turun dan berdansa bersama. Arsyanendra menyukai beberapa musik klasik peninggalan ayahnya, Davendra Balakosa. Di rumah pribadi milik ayahnya masih tersimpan beberapa piringan hitam milik ayahnya yang disimpannya dengan baik dan terkadang diputar oleh Arsyanendra ketika merindukan ayahnya. Sayangnya setelah membuat keputusan untuk memasuki istana, Arsyanendra menyimpan benda – benda peninggalan ayahnya jauh di tempat tersembunyi yang tidak akan bisa ditemukan oleh sepuluh keluarga kaum aristokrat. 

“Yang Mulia. . .” 

Kepala keluarga Widyanatha yang merupakan satu dari sepuluh keluarga kaum aristokrat datang menghampiri Arsyanendra. 

“Ya, Tuan Gyan.” 

“Perkenalkan ini putri saya, Variza.” 

Dengan senyuman yang memesona, Arsyanendra kemudian membalas ucapan Gyan Widyanatha

“Malam Tuan Gyan."

“Perkenalkan saya Variza Widyanatha, Yang Mulia.” 

Dengan membungkukkan sedikit tubuhnya, gadis muda putri dari Kepala Keluarga Widyanatha yang bertugas dalam mengurus ilmu pendidikan dan sosial budaya di Negara Hindinia menunjukkan penghormatannya kepada Arsyanendra. 

“Salam kenal, Nona Variza.” Arsyanendra membalas dengan senyumannya dan kemudian mengalihkan pandangannya kembali ke Gyan, Ayah Variza. “Tuan Gyan. . .” 

“Ya, Yang Mulia.” 

“Apakah Tuan keberatan jika saya mengajak putri Tuan untuk menjadi teman saya berdansa?” 

Dengan penuh rasa bangga yang terpancar dari wajahnya, Gyan Widayanatha kemudian menundukkan sedikit kepalanya sebelum menjawab permintaan Arsyanendra. 

“Sebuah kehormatan bagi keluarga Widyanatha, Yang Mulia.” 

“Terima kasih, Tuan Gyan.” 

Arsyanendra kemudian mengulurkan tangannya ke arah Variza dan dengan penuh rasa bahagia, Variza menerima uluran tangan itu. Arsyanendra kemudian menuntun pasangannya turun ke tempat dansa. 

Tamu undangan yang melihat Raja mereka hendak ikut berdansa kemudian secara serentak menghentikan dansa mereka dan memberikan ruangan gerak bagi Raja baru mereka. Semua tamu undangan ingin melihat siapa gadis beruntung yang dipilih oleh Raja Baru mereka untuk mendapatkan kehormatan untuk berdansa dengan Raja. 

Dengan meletakkan tangan kirinya lekuk pinggang Variza dan tangan kanannya yang menggenggam tangan Variza, Arsyanendra kemudian memulai dansanya bersama dengan Variza. Arsyanendra yang tahu betul putri dari Gyan Widyanatha sangat pandai berdansa, tidak kesulitan untuk melaraskan irama mereka dengan musik yang berputar. 

Melihat gerakan yang indah dari Raja mereka dan pasangan yang ditunjukkan semua tamu undangan yang melihat langsung terpesona. Mata mereka terus teruju pada Raja dan pasangannya dan tidak bisa lepas. 

Arsyanendra menyadari hal itu dan tersenyum melihat respon yang diinginkannya dari para tamu undangan. Dalam hatinya, Arsyanendra berbicara. 

Dengan begini. . . satu umpan telah siap dipasang. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status