Seusai pesta dansa yang menakjubkan dan membuat para tamu undangan terpesona, para tamu undangan di bawa ke meja besar untuk menikmati hidangan khusus yang telah disiapkan oleh istana. Ini adalah kebiasaan yang dimulai sejak Jahan Balakosa memimpin Hindinia sebagai Raja Kedua. Kebiasaan buruk yang banyak menghabiskan banyak uang negara dan rakyat proletar dalam perjalanannya. Memaksa kaum proletar yang hidup serba kekurangan untuk membayar pajak dan menghabiskan keringat mereka hanya untuk makan bersama dengan kaum aristokrat yang sudah hidup penuh dengan kemewahan.
Kalian semua busuk.
Arsyanendra yang tersenyum melihat canda tawa kaum aristokrat yang duduk bersama dengannya di meja makan yang sama. Arsyanendra benar – benar menyembunyikan amarahnya, kebenciannya dan juga rasa ingin membunuhnya di balik senyuman dan pesona yang dimilikinya. Dengan mudahnya, Arsyanendra bahkan ikut bercanda bersama dengan beberapa kepala keluarga kaum aristokrat saat makan bersama.
“Yang Mulia. . .”
Salah satu kepala keluarga kaum aristokrat yang bernama Jazziel Catra yang bertugas dalam mengurusi urusan sosial budaya di Negara Hindinia memulai perbincangannya dengan Arsyanendra yang sejak tadi hanya tersenyum sembari mengunyah makanannya menatap perbincangan di antara kepala kaum aristokrat.
“Ya, Tuan Jazziel. . .”
Arsyanendra meletakkan pisau dan garpunya kemudian menatap ke arah Jazziel Catra.
“Kalau saya tidak salah, usia Yang Mulia saat ini sudah mencapai 24 tahun sama dengan putra dari Tuan Ganendra Narain dan putra dari Tuan Jakti Yaksa. . .”
“Benar sekali Tuan Jazziel. Saya seusia dengan putra Tuan Ganendra Narain yang bernama Tara dan putra dari Tuan Jakti Yaksa yang bernama Wardana. Kami bertiga pernah satu sekolah dulunya.”
“Benar. . .” ucap Jakti Yaksa yang tiba – tiba ikut berbincang ketika menyadari namanya disebut – sebut. “Yang Mulia dulu pernah satu sekolah dengan putraku, Wardana. Sayangnya, hari ini Wardana tidak bisa hadir karena sedang sibuk menyelesaikan studinya yang sempat tertunda. Mohon maafkan Wardana, putra saya, Yang Mulia.”
Arysanendra memandang ke arah Jakti Yaksa dan kemudian membuat simpul senyuman di bibirnya secara perlahan.
Jakti Yaksa adalah salah satu dari sepuluh kepala keluarga kaum aristokrat yang bertugas dalam mengurusi segala hukum yang ada di Negara Hindinia.
“Tidak apa – apa, Tuan Jakti. Saya bisa memahaminya.” Arsyanendra kemudian mengalihkan pandangannya lagi ke arah Jazziel Catra dan mengajukan pertanyaannya yang belum sempat ditanyakannya. “Kenapa Tuan Jazziel menanyakan hal itu?”
“Mohon maafkan kelancangan saya ini, Yang Mulia. . . karena usia Yang Mulia yang sudah mencapai 24 tahun, sudah waktunya bagi Yang Mulia untuk mencari pasangan dalam membantu Yang Mulia memerintah Negara Hindinia ini.”
Arsyanendra memotong daging panggangnya dan kemudian memasukkannya ke dalam mulutnya. Arsyanendra mengunyah makanan itu dengan tenang sembari menjawab pertanyaan Jazziel Catra.
“Tuan Jakti Yaksa. . .” panggil Arsyanendra.
“Ya, Yang Mulia.”
Jakti Yaksa segera menghentikan kegiatannya yang hendak memakan potongan daging yang baru saja dipotongnya.
“Apakah putramu, Wardana sudah menikah?”
“Belum, Yang mulia.”
Arsyanendra kemudian memanggil kepala keluarga kaum aristokrat yang lain. “Tuan Ganendra Narain?”
Seperti yang dilakukan oleh Jakti Yaksa, Ganendra Narain yang hendak memakan potongan besar daging yang baru saja dipotongnya dengan cepat diletakkannya ketika mendengar namanya disebut oleh Arsyanendra.
“Ya, Yang Mulia.”
“Apakah putramu, Tara sudah menikah?”
Dengan cepat, Ganendra Narain menjawab pertanyaan Arsyanendra, “Belum, Yang Mulia.”
Arsyanendra kemudian mengambil potongan daging lagi menggunakan garpunya dan kemudian memasukkannya ke dalam mulutnya, mengunyahnya dengan santai sembari menatap ke arah Jazziel Catra. Setelah potongan daging yang telah dikunyahnya habis, Arsyanendra membuka mulutnya lagi dan kemudian mulai berbicara dengan mata yang menatap tajam ke arah Jazziel Catra.
“Tuan Jazziel Catra, jika aku tidak salah mengingat putramu yang merupakan calon penerus keluarga Catra, Yasa Catra seharusnya berusia 26 tahun saat ini.”
Tangan Jazziel Catra kemudian sedikit bergetar karena mengerti arah ucapan yang akan keluar dari mulut Arsyanendra.
“Ya, Yang Mulia. Benar sekali. Putraku tahun ini berusia 26 tahun.”
Jazziel Catra berusaha menyembunyikan getaran di tangannya dan dengan senyuman di wajahnya berusaha menutupi rasa gugupnya.
Arsyanendra tahu betul tabiat Jazziel Catra. Dari luar terlihat pandai bicara namun sebenarnya hanyalah pengecut belaka yang bersembunyi di belakang sembilan teman – temannya. Arsyanendra masih menaruh rasa hormat kepada lima pemimpin kepala keluarga yang bertugas menjaga perbatasan dan ibu kota karena meski mereka berbuat kesalahan yang cukup besar, tapi mereka berlima memiliki keberanian yang cukup besar untuk menjaga keamanan Negara terutama perbatasan.
Arsyanendra membuka mulutnya lagi dan berbicara, “Putra Tuan Jazziel yang sudah berusia 26 tahun masih belum menikah. Jadi Tuan Jazzile harusnya mencarikan pasangan untuk putramu lebih dulu, tidak perlu repot mengurusi pernikahan dan pasanganku.”
Ucapan tajam yang keluar dan tatapan mata yang tajam dari Arsyanendra kali ini benar – benar membuat sepuluh kepala keluarga kaum aristokrat bersama dengan para tamu undangan semuanya terdiam dan menghentikan kegiatan makan mereka. Dalam sekejap, suasana berubah menjadi sunyi senyap, bahkan untuk menarik dan mengembuskan napas pun para tamu undangan merasa sedikit ketakutan.
Melihat suasana yang berubah menjadi sedikit mencekam, dengan cepat Arsyanendra mengeluarkan tawanya.
“Hahahahah. . . .” Tawa Arsyanendra menggema di Aula karena keadaan yang sunyi. “Aku hanya bercanda, Tuan – Tuan dan Nyonya – Nyonya. Tak kusangka candaanku ini berhasil membuat kalian semua terdiam dan gemetaran. . .”
Arsyanendra tersenyum dan kemudian memotong daging di hadapannya dan kemudian memakannya.
Tawa salah satu dari kepala keluarga kaum aristokrat kemudian terdengar setelah tawa Arsyanendra dan kemudian diikuti oleh tawa seluruh tamu undangan. Danapati, satu dari sepuluh keluarga kaum aristokrat yang bertugas dalam mengatur perekonomian Negara Hindinia. Dipimpin oleh Shankara Danapati yang dikenal sangat licik dan pandai berbicara.
“Candaan Yang Mulia, benar – benar mampu menipu kami semua. . .”
Arsyanendra menelan daging yang dikunyahnya sebelum menjawab kalimat yang keluar dari mulut Shankara Danapati.
“Benar sekali. Bercanda adalah salah satu hobiku, Tuan Shankara.”
“Yang Mulia pasti tahun jika Tuan Jazziel Catra tidak berniat buruk kepada Yang Mulia. Tuan Jazziel Catra dan kami hanya berharap Yang Mulia memiliki pasangan yang tepat di sisi Yang Mulia yang dapat membantu Yang Mulia memimpin Negara Hindinia ini nantinya.”
Arsyanendra tersenyum mendengar ucapan Shankara Danapati. “Aku tahu hal itu, Tuan Shankara dan untuk itu aku sangat berterima kasih atas perhatian yang kalian berikan padaku. Aku akan mempertimbangkan hal ini tapi tidak akan kulakukan dalam waktu dekat. Masih banyak yang harus aku pelajari dalam pemerintahan sebelum kuputuskan untuk menikah. Bukankah Tuan Shankara memiliki seorang putri?”
Shankara Danapati membuat senyuman tipis di bibirnya dan Arsyanendra menyadari hal itu.
“Ya, Yang Mulia. Namanya Zhafiro, Yang Mulia.”
“Kalau begitu di antara sepuluh keluarga pemimpin kaum aristokrat yang memiliki putri hanya tiga di antara kalian bukan?”
“Ya, Yang Mulia,” jawab Shankara masih dengan senyuman di bibirnya. “Zhafiro putri saya, lalu Zia putri dari Tuan Yasawirya Pramanaya dan Variza putri dari Tuan Gyan Widyanatha yang tadi menjadi pasangan Yang Mulia ketika berdansa.”
Arsyanendra menganggukkan kepalanya seolah – oleh sedang menimbang – nimbang sesuatu. “Mungkin aku bisa mencari calon istri dari tiga putri kalian. . .”
Arsyanendra dengan sengaja mengatakan kalimat itu dengan nada santai sembari memakan potongan terakhir dari dagingnya seolah tidak peduli dengan siapa dirinya kelak akan menikah. Tapi jauh di dalam hatinya, Arsyanendra tahu bahwa sepuluh kepala keluarga kaum aristokrat yang mendengar ucapannya akan langsung saling menaruh rasa curiga dan waspada terhadap satu sama lain karena salah satu dari tiga kepala keluarga yang memiliki seorang putri memiliki kesempatan untuk menjadi mertua sang Raja nantinya.
Semua sesuai dengan rencana Arsyanendra.
Pesta penobatan dan perayaan dinobatkannya Arsyanendra menjadi Raja Ketiga Negara Hindinia pun akhirnya berakhir sesuai dengan skenario yang telah direncanakan oleh Arsyanendra.
Satu hari yang berat dan satu malam yang panjang pun berakhir. Namun, satu hari dan satu malam yang baru saja dilewati oleh Arsyanendra masih belum begitu berat dan panjang jika dibandingkan hari – hari berat dan malam – malam yang panjang yang akan dilalui oleh Arsyanendra nantinya.
Ravania yang baru bisa kembali seminggu kemudian setelah menemani Zia Pramanaya yang terluka, berharap bisa bertemu dengan Arsyanendra ketika kembali ke ibu kota. Namun bukan kebahagiaan yang didapatkan Ravania ketika kembali ke ibu kota.Ini tidak mungkin, pikir Ravania.Begitu tiba di ibukota, seluruh bendera hitam di pasang di sepanjang jalan. Bendera yang sama seperti bendera di mana Raja Pertama dan Raja Kedua dinyatakan meninggal.“Maafkan aku, Nona Zia. Aku harus segera ke istana. Yang Mulia, aku harus bertemu dengan Yang Mulia.”Ravania berlari lebih dulu menuju ke istana dengan harapan bahwa apa yang terlintas di dalam benaknya saat ini adalah salah. Ravania mengabaikan para penjaga gerbang istana yang menundukkan kepalanya ketika melihat Ravania tiba. Ravania terus berlari dan mengabaikan banyak pelayan istana dan pengawal istana yang menundukkan kepalanya kepada Ravania dan memberikan salamnya kepada Ravania.
Ravania bersama dengan Virya dan Narendra butuh waktu dua hari untuk memastikan seluruh pasukan bantuan datang, membaginya menjadi empat dan membawanya ke ibu kota. Dalam perjalanannya, pasukan bantuan yang dikomandoi oleh Narendra masih harus melawan pasukan milik empat dewan penjaga perbatasan Hindinia yang akan berangkat ke ibu kota.Untuk melawan pasukan perbatasan yang dipimpin oleh empat kepala keluarga kaum aristokrat, Narendra dan pasukan tambahannya membutuhkan waktu tiga hari untuk menjatuhkan semua pasukan perbatasan. Di hari terakhir, Narendra bersama dengan pasukan bantuannya berhasil menyelamatkan pasukan yang dipimpin oleh Zia Pramanaya yang ditawan oleh pasukan perbatasan milik empat kepala keluarga kaum aristokrat.“Nona Zia,” teriak Ravania.“Akhirnya kalian datang, meski sedikit terlambat. . .”“Jangan banyak bicara, Nona Zia. Luka – luka Nona bisa semakin parah karena Nona ber
Persediaan makanan yang semakin menipis, jumlah pasukan yang terluka yang semakin banyak serta suara ledakan dari perang di ibu kota terdengar oleh Arsyanendra bersama dengan Surendra yang terus menyusun pasukannya bersama dengan panglimanya.“Pasukan milik Nona Zia juga mengalami hal yang sama, Yang Mulia. Mereka tidak akan bertahan lebih dari tiga hari menahan pasukan perbatasan yang datang dari empat penjuru arah.”“Lalu bagaimana jika pasukan milik Zia berhasil ditembus, berapa lama lagi kita bisa menahan pasukan milik Arkatama dan pasukan milik perbatasan?”Arsyanendra memikirkan kemungkinan terburuk dalam peperangan yang akan terjadi beberapa hari ke depan.“Paling lama tiga hari setelah pasukan milik Nona Zia ditembus, Yang Mulia. Jumlah makanan yang semakin menipis, obat – obatan yang juga semakin banyak serta banyak menimbang jumlah pasukan yang tersisa bersama dengan jumlah granat dan p
Keesokan harinya, Ravania bersama dengan Ardizya, Virya dan Narendra Balakosa pergi keluar istana dengan menggunakan jalur rahasia yang tersembunyi di hutan istana.“Guru, apa benar jika kita meninggalkan Yang Mulia seorang diri?”“Ini perintah Yang Mulia. Apapun yang terjadi kita harus melaksanakan perintahnya. Terlebih lagi. . . aku dan Virya punya tugas khusus yang harus kami kerjakan ketika berhasil keluar dari Jako Arta.”“Tugas? Tugas apa itu?”“Membawa pasukan dari negara tetangga,” jawab Virya Balakosa.“Apa maksudnya dengan itu, Nona Virya??”“Selain kalah jumlah, pasukan milik Yang Mulia lebih banyak berisi kaum proletar yang tidak ahli dalam berperang. Jadi Yang Mulia sengaja mengirimku keluar untuk meminta bantuan kepada negara tetangga dan membuatku untuk bernegosiasi dengan mereka.”Mulut Ravania tertutup sembari m
“Bagaimana dengan pasukan kita, Surendra? Jika seandainya kita berperang dalam waktu dekat, apakah kita akan siap untuk melawan mereka?”Arsyanendra yang menyadari perang sudah dekat kemudian mulai menyusun strategi dengan keadaan pasukan miliknya.“Mereka siap, Yang Mulia. Meski pasukan kita mungkin hanya setengah dari jumlah pasukan milik kaum aristokrat, tapi pasukan di bawah pimpinan Yang Mulia sudah siap untuk berperang.”“Kalau begitu seperti taktik perang sebelumnya, masukkan semua pasukan kita melalui jalan rahasia yang terhubung dengan hutan istana dan biarkan mereka membangun tenda di hutan istana untuk persiapan perang. Lalu siapkan titahku untuk dibawa oleh Virya dan Ravania nantinya. Sebelum perang terjadi, kita harus sudah mengeluarkan Ravania dan Virya dari ibu kota jika kita ingin menang dalam perang ini.”“Saya mengerti, Yang Mulia.”Surendra hendak kelua
“Lalu ke mana Indhira Darmawangsa yang asli selama ini berada?” tanya Narendra. “Kenapa kau harus bersusah payah membuat kembaran dari Indhira Darmawangsa untuk menggantikannya membantumu dan membuat keadaan semakin rumit, Arsyanendra??” “Tuan Narendra,” sela Surendra untuk kedua kalinya. Surendra hendak membuka mulutnya untuk berbicara menggantikan Arsyanendra namun niat Surendra yang terbaca oleh Arsyanendra lebih dulu, dengan cepat dihentikan oleh Arsyanendra dengan mengangkat tangannya lagi dan memberikan isyarat kepada Surendra untuk kedua kalinya. “Tapi, Yang Mulia. . .” kata Surendra. “Harus aku yang mengatakannya sendiri, Surendra,” jawab Arsyanendra kepada Surendra. Setelah berusaha untuk menenangkan Surendra, Arsyanendra kemudian mengalihkan pandangannya kepada Narendra dan memberikan jawaban yang diinginkan oleh Narendra. “Indhira Darmawangsa sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu.” “Men
Setelah mempermalukan tujuh kepala kaum aristokrat di depan istana, Arsyanendra kemudian memerintahkan kepada Surendra untuk membawa Bagram ke dalam istana dan menyembunyikannya di kamar Ravania. Sementara itu, Arsyanendra bersama dengan Ravania kemudian menikmati pesta yang diadakan untuk penobatan Ratu Hindinia yang digelar oleh istana. Dalam pesta penyambutannya, Arsyanendra kemudian mengenalkan banyak orang kepada Ravania dari presiden negara tetangga, Raja dari negara tetangga dan perwakilan dari beberapa negara yang sengaja datang ke Hindinia hanya untuk mengucapkan selamat kepada Ravania. Setelah empat jam pesta lamanya digelar, Ravania yang sudah sangat merasa lelah dengan jadwalnya yang padat selama sehari ini kemudian diperbolehkan untuk kembali ke kamarnya dan beristirahat. “Aku akan mengantarmu, Ratuku,” ucap Arsyanendra yang tiba – tiba muncul di samping Ravania dan menggandeng tangan Ravania. “. . .” Ravan
Arsyanendra yang sedang duduk di takhtanya kemudian bangkit ketika mendengar bisikan dari Surendra.“Mohon maafkan saya, Yang Mulia. Tapi Tuan Narendra mengirim pesan bahwa sesuatu yang buruk mungkin sedang terjadi saat ini gerbang istana.”Berusaha untuk tetap tersenyum dan bersikap seolah tidak terjadi apapun, Arsyanendra kemudian bertanya kepada Surendra.“Apa yang terjadi?”“Delapan kepala kaum aristokrat menghadap Nona Indhira yang baru saja memasuki istana.”“Kita pergi ke sana. Sepertinya kaum aristokrat sudah berusaha untuk melancarkan rencananya untuk menjatuhkan ratuku dan berusaha untuk memberi tahu padaku jika aku tidak akan pernah bisa menang dari mereka.”Setelah membalas ucapan Surendra, Arsyanendra kemudian melangkahkan kakinya dan berjalan menuju ke luar aula di mana saat ini Ravania sedang bersama dengan Narendra menghadapi tujuh kepala kelu
“Bagaimana?” tanya Surendra dari luar ruang ganti Ravania ketika Ravania sedang mengenakan gaun untuk penobatan dan mencoba jubah kerajaan yang tidak berbeda dengan yang selama ini dikenakan oleh Arsyanendra. “Apakah Nona Indhira merasa kurang pas?”“Tidak, Tuan Surendra. Tuan bisa memberitahu pada Yang Mulia, jika semua pakaian yang harus aku kenakan besok telah sesuai dan cocok denganku.”“Baiklah kalau begitu, Nona. Setelah ini saya akan memberi kabar kepada Yang Mulia jika Nona sudah mencoba semua pakaian yang ada. Lalu, Nona. . .”“Ya, Tuan Surendra,” potong Ravania yang masih berada di dalam ruang ganti sembari mengganti pakaiannya kembali.“Saya hanya ingin memberitahu kepada Nona, jika besok Nona akan mendapatkan pengawal pribadi seperti saya.”“Siapa yang akan jadi pengawal pribadi, Tuan Surendra?” tanya Ravania penasaran.