Share

Pengunjung Gila

“Neesa!”

Dengan menempelkan mulutnya ke sebuah celah antara papan-papan di depannya, itu akan membuat suaranya lebih kuat dari luar. Tak cukup dengan itu, tangannya juga mulai menggedor. Diulanginya beberapa kali, sampai suara yang cukup kecil menyahut dari lain tempat.

“Dia ada di sini ...!” 

Hanya sekali sahutan, ia segera mengarahkan senter ke sebelah kiri, sedikit berjalan hati-hati karena banyak sekali potongan-potongan ranting. Setelah sampai, didorongnya pelan pintu di depannya dan deritan pun terdengar. Kalimat yang sama lagi, “Dia ada di sini ...!”

“Uh ... Nenek? Kau di mana? Gelap sekali ....” Tak lama setelah mengeluh, sakelar lampu dinyalakan. Kemudian tampaklah sosok tua yang berjalan dari arah sebuah kamar, sedangkan seseorang yang ia cari, lelap di bawah lembaran selimut tebal, tepat di depan Televisi. 

“Tadi malam mati lampu, awalnya dia menolak untuk kuajak ke sini.”

“Pemadaman lampu? Pukul berapa, Nek?”

“Lebih dari pukul satu malam. Aku harus memastikan obor di depan sana menyala, jika saja dia sudah tidur, aku juga tidak akan membangunkannya.”

“Di jam selarut itu dia belum tidur, tidak biasanya ....”

“Dia membaca buku, itu alibinya,” tukas sang nenek, setelah terduduk di kursi anyaman rotan. “Bubur ini untukmu, makanlah. Untuk Nee biar kubuatkan lagi.”

Ia menolak dengan gelengan kecil, “Aku sudah makan.”

“Madame-mu menyiapkannya?” Dengan sedikit terheran, tangannya menutup kembali permukaan mangkuk dengan kertas. 

“Meea sering ke toko kelontong, jadi, aku menitip mi rebus.” Itu memang benar, bisa dikatakan bahwa Meea adalah penyuka makanan instan. Kantong kereseknya selalu menampung beberapa mi instan dan sosis dengan harga murah meriah. Hanya dibutuhkan waktu sebentar untuk mematangkannya. Penggunaan kompor gas memang memerlukan biaya dan itu dipotong dari gaji mereka sendiri. 

“Apa kau akan segera kembali?” 

“Em. Tiga puluh menit cukup untuk mandi dan berkemas,” sahutnya. “Ah ini ....” Mengeluarkan sesuatu yang mengembung di balik saku mantel, “Berikan ini padanya saat bangun nanti.”

Tidak ada rumah berpagar besi di area itu, jalan setapaknya juga sangat kecil, tidak ada roda dua boleh melintas. Jika memaksa, maka harus sangat pelan. Tidak diperbolehkan karena sangat membahayakan. Masih ditoleransi jika itu adalah sepeda kayuh.

Suasana cukup sepi karena sekarang masih pagi hari, orang-orang akan sibuk bekerja atau melakukan pekerjaan rumahnya. Wilayah sekitar sana memang tidak akan ramai oleh para penjual koran keliling ataupun pedagang asongan, tidak akan ada yang membeli. Justru, para penjual tersebut akan bilang, ‘Lebih baik simpan uangmu, sewaktu-waktu harga beras bisa naik’. Jika pedagang asongan atau penjual koran keliling tampak berangkat dari wilayah sini, maka itu masuk akal. Di sinilah kasta orang bawah berada, mereka didominasi oleh pekerja toko, penjaja keliling, buruh, dan sekelompok pengangguran.

Ruangan hanya seluas dua puluh lima meter persegi itu cukup rapi, menyimpan sofa usang tepat di depan pintu. Kemudian tak jauh di depannya adalah tirai yang memisahkan ruang utama tempat menerima tamu—meski sangat jarang—dengan kamar tempatnya berbagi satu kasur dengan Neesa. Ada almari, rak buku, meja tanpa kursi, karena mejanya kecil sehingga menggunakannya cukup dengan duduk di lantai. Neesa-lah pengguna langganan meja itu, dipergunakannya masa libur sekolah untuk banyak-banyak membaca buku. Buku bukanlah barang mahal, meski menyandang titel best seller sekalipun. Beberapa orang tak cukup mampu akan menukarkan sebuah buku dengan buku lagi. Itulah yang mereka lalukan agar bisa menjadi lebih pintar. 

Ia tak menuntun langkah hingga masuk ke kamar, kakinya justru mengarahkan untuk duduk di sofa, terdapat selimut yang belum dilipat. Ia hanya berdiam diri seraya mengedarkan pandangan. Menghela nafas beberapa kali saat tubuhnya menyender. Kondisi rumah masih cukup rapi sejak ditinggal kemarin. Besok adalah hari libur, sehingga nanti malam ia bisa kembali dan menemani adik semata wayangnya.

***

“Pengguna sosial media lagi-lagi menampik soal video amatir yang diberikan seorang anak kelas sepuluh. Dalam video itu, ia hanya berniat untuk merekam langit dari Hutan Eranest, guru memintanya membacakan puisi disertai visualisasi langsung tentang tema yang diangkat, yaitu, alam. Dikarenakan gerimis turun, ia lekas pergi agar kameranya tidak basah. Alih-alih mematikan dan meletakkan kamera ke dalam tas, ia malah menentengnya begitu saja dalam kondisi masih merekam. Bayangan sesosok bertubuh hitam pun tertangkap kamera tersebut, berjarak sekitar sepuluh meter dari bocah itu berlari." Suara dari radio menggelam pelan namun semua di ruangan tersebut bisa mendengarnya, berhenti makan dan berhenti berbincang adalah salah satu caranya.

“Bocah itu memang masih sekadar bocah, dia langsung mengunggah videonya di ruang percakapan kelas. Anak-anak lain mungkin lebih memperhatikan ...”

“Aku juga akan sama seperti anak itu jika melihat kejadian aneh. Ini masalah keselamatan umum juga, sangat wajib untuk disebarkan—“

“Dan membuat publik gempar?! Padahal ini bisa saja editan!”

Setelah meneguk minuman dan tandas di mulutnya, gelas tersebut terduduk di atas meja dengan sedikit keras. “Juga anak yang hilang saat camping itu editan? Apa otak warasmu sudah hilang?”

“Aku tidak bilang anak yang hilang itu editan!” elaknya, agaknya peri kemanusiaan wanita itu akan sangat terluka jika menyetujui kalimat yang dilontarkan untuknya, sehingga ikut berteriak.

“Dia hidup di hutan dan anak itu juga hilang di hutan! Jangan sampai saudaramu hilang baru kau akan menyesal!” Setelah membuang sisa isi di gelasnya ke lantai, juga menggebrak meja, dan meletakkan gelas dengan kasar, pria tersebut keluar. 

Sekonyong-konyong seorang paruh baya keluar dari ruang tengah, “Heh, Berandal! Kenapa kau pergi begitu saja?! Kau belum membayar! Kembali! Kembali!” Tubuh gempal yang berkacak pinggang, terus mengacungkan tongkat, “Hei kau!”

Wanita di depannya berjingkat karena punggungnya dipukul keras.

“Kau yang harus membayarkan makanan temanmu itu! Aku bisa rugi!”

“Aku tidak memakannya, kenapa aku harus membayar?!” teriaknya seperti hilang kendali. 

“Aku tidak peduli! Dia datang bersamamu maka kau harus membayar!”

“Tidak!”

“Bayar!”

“Aku bilang tidak!”

“Nona ... tolong bayar saja ...”

“Toko ini diisi manusia-manusia tuli ternyata. Menjengkelkan!” 

Mungkin benar jika persahabatan terjalin karena saling memiliki kesamaan. Sifat keduanya sangat mirip. Jika si lelaki memilih membuang sisa minumannya ke lantai dan nyaris memecahkan gelas, si wanita justru lebih terampil dengan menunjukkan lebih banyak kekuatannya; mendorong sang waiters hingga tersungkur ke tanah. Sekali lagi, mereka punya kesamaan, yaitu meninggalkan toko secara tidak sopan. 

“U-uh, kau tidak apa-apa?” Seseorang berkaos putih lengkap dengan celemek menggantung di pinggang, “Dasar manusia gila!” dumalnya menghadap pintu, kemudian, kembali membantu untuk berdiri. “Pasti bagian sini sakit ....”

Ia mengangguk, “Sepertinya terkilir.”

“Ke belakang sebentar, akan kubantu mengoleskan krim.”

“Kalian mau ke mana?!”

Matamu tidak melihat jika kakinya sakit?, sepertinya itulah yang akan dikatakan Meea. Matanya melotot, bibirnya berkedut. 

“Sudahnya, Mee, jam istirahat sebentar lagi.” Menilik jam yang tidak akan lama lagi baru mereka bisa meregangkan otot, tentunya cukup jauh dari jam istirahat para pekerja lain. Di saat para karyawan perusahaan besar atau pabrik-pabrik biasa istirahat, maka mereka justru harus siaga. 

“Nenekku lebih berwibawa dari pada dia. Nenekku tidak pernah merengek minta dipanggil Madame!”

Khanara terkekeh mendengar itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status