Share

First Kiss

“Jangan mengingat-ingat kejadian tadi.”

“Tidak.” Apakah gadis itu kurang puas dengan jawaban dan lebih memilih penalarannya sendiri? Agaknya memang begitu. Soalnya, pertanyaan yang sama sudah dilayangkan beberapa kali. 

“Aku muak melihatnya tersenyum seperti itu.”

Khanara mencari tahu siapa yang dimaksud, yang didapati adalah manusia-manusia berjas, Khanara mengerutkan alis. “Mereka fokus makan,” gumamnya.

“Bukan, tapi si Nenek Sihir!”

Seakan menepuk jidat dengan telapak tangan, ia membeliak. Harusnya cukup paham dengan siapa yang dimaksud. Lansia yang dipanggilnya sebagai Madame memang selalu terlihat lebih riang saat tokonya penuh. 

“Na ...”

Khanara menoleh, lantas mengikuti lagi arah pandangan temannya itu. Kali ini sungguh memandangi manusia-manusia berjas. Kebanyakan dari mereka memesan roti keju panas dan coklat panas, meski banyak juga yang memesan teh panas. 

“Apa mereka juga tahu soal Slander Man?”

“Bukankah di tempat mereka bekerja justru tersedia akses internet? Menurut berita, foto makhluk itu tersebar di internet.”

“Ya ... adikku pernah memperlihatkannya kepadaku. Sungguh, aku tidak tahu apa itu Slander Man jika tidak ada berita konyol ini,” keluhnya tampak sedih, “aku rasa, aku ini manusia paling penakut, bahkan jantungku selalu berdegup cepat saat harus pulang larut, dan lihat, apa ini sekarang ...?”

“Aku bisa menemanimu—“

“Jangan aneh, Na! Kau tak perlu jadi pahlawan untuk sekarang ini ... biarlah aku pulang sambil mempertaruhkan nyawaku—“

“Tak apa, Mee. Aku akan mengantarmu,” potongnya lembut dan yakin, juga rematan yang ia berikan di tangan Meea, itu menunjukkan kesungguhan.

“Baiklah jika kau memaksa.” Meea tergugu, namun senyum di wajahnya tetap lebih mendominasi. “Sebagai imbalan yang tak seberapa, bawalan minyak gosok ini. Rasa panasnya akan membantu meredakan rasa nyeri.”

***

Jalanan Handini memang tersohor dengan keramaiannya. Di sana sering didirikan pasar malam yang cukup menyegarkan hari. Pedagang keliling akan berdiam di sana selama beberapa waktu, menjajakan makanan yang masih mengepulkan asap. Sangat lezat, apalagi jika itu adalah cilok. Pilihan lain selain makanan murah, bersaus, dan kenyal adalah martabak. Martabak ada dua jenis, telur dan manis. Manis karena terdapat gula, mesis, atau keju di atasnya. Jika memilih martabak telur maka seluruh mulut akan berbau daun bawang, tetap lezat dan mengenyangkan. 

Kerlap-kerlip lampu dari wahana-wahana juga menjadi bentuk sederhana dari bintang-bintang, menandakan bahwa lokasi tersebut memang dibuat untuk meramaikan kota yang suram dan membosankan.  Meski tak akan para pria berjas mampir sekalipun anak gadisnya merengek minta dibelikan gula kapas. Lebih baik—kata mereka—mampir saja ke Mall besar, menemui varian nasi putih yang dibentuk melingkar, ditemani ayam goreng tepung. 

'Kau tak apa pulang sendiri ...?'

Masih terngiang, kala itu ia bingung harus menjawab bagaimana. Bukan karena berani juga ia mampu menawarkan diri. Ternyata, gelap malam memang tidak main-main. Apalagi setelah memandangi taman kota yang senyap—tak seperti dulu kala. 

'Salah satu pengunjung di sana kepalanya digorok oleh Slander Man.'

Lagi-lagi, kenapa justru suara-suara seperti itu yang muncul?

Khanara meneguk saliva. Ia tak tahu jika waktu akan sangat lambat bergulir, jalanan aspal terlihat begitu licin jika harus memilih berlari, lampu-lampu jalanan bagaikan bernyawa. Oh, Tuhan ...

Dari balik pundaknya, seperti melintas seseorang. Ia yakin sangat hafal dengan siluet itu.

“Lim ...?”

Orang itu berhenti sebentar, memastikan apa yang dilihatnya adalah benar. “Khana ...? Itu kau?”

“Y-ya! K-kau dari ... dari mana?”

“Aku harus membeli paket data,” jawabnya dengan wajah tidak senang, “kenapa kau masih di sini?”

“Aku harus mengantar Meea dulu, dia tidak berani pulang.”

Pertama, wilayah tempat tinggal Meea memang tidak dekat, bahkan ia harus memutar arah. Belum lagi, perlu menyeberang jalan raya sebanyak dua kali atau harus berjalan lebih jauh. Pantas saja jika waktunya tergerus banyak.

“Sebentar lagi hujan, ayo ...!”

Lim adalah kawan SMA-nya dulu, anak itu bernasib mujur karena tanpa melanjutkan pendidikannya ke jenjang lebih tinggi, pamannya yang seorang bos di sebuah perusahaan tentu akan dengan hati membawa keponakannya kepada nasib baik. Lim juga merupakan lelaki yang tempo hari mengobrol dengannya di toko roti. Mereka memang cukup dekat. 

“Bawakan ini untuk Nee.”

Kantung plastik hitam. Dari baunya, sudah ketahuan bahwa isinya adalah bakso. 

“Em, Lim ....”

“Uh?”

Pikirnya, ia hanya perlu mengucap syukur banyak-banyak karena sudah mendatangkan Lim di saat yang tepat. Kebetulan paling melegakan. Lim selalu menjadi tetangga sekaligus sahabatnya, bahkan dalam kondisi mendesak sekalipun. 

Bisa dikatakan bahwa Khanara memang sedikit suka mencari gara-gara, bukannya bersujud mengucap syukur saja, ia justru terpikirkan dengan apa-yang-ada-di-sosial-media. Ia tidak pernah mencapai dunia maya tersebut. 

“Ada apa, Na?”

“Berapa harga warnet untuk satu jam?” tanya buru-buru.

Setelah diam cukup lama, Lim agak tersenyum, sedikit sekali. “Sepuluh ribu. Kau ingin menggunakan internet?” tanyanya, kali ini tersenyum lebih lebar. “Kau bisa menggunakan ponselku, dari sini juga dapat mengakses internet—“

“Tapi Mee yang mau memakainya. Jadi ... jadi aku tidak mungkin meminjam ponselmu.”

“Ah begitu.”

“Y-ya.”

Entah kenapa matanya melirik ke arah pagar di sebuah rumah besar, di sampingnya adalah gang menuju area rumahnya. Rumah itu selalu ramai, paling tidak ada beberapa penduduk yang berjaga malam. Biasanya hanya diisi oleh satu atau dua orang, namun sejak berita tentang Slander Man merebak, gotong-royong dalam satu titik seakan dijunjung lagi. Kali ini, entah kenapa sepi, mungkin para penjaganya tengah berkeliling.

Gang. Matanya sekarang mengarah ke sana. Sangat sempit dan gelap. Ia menggelengkan kepala, ingat saat sebuah jemari menyentuh bibir bawahnya dengan gerakan pelan. Itu aneh.

“Na ...?”

“K-kau duluan saja.” 

Benar saja, laki-laki bertubuh tinggi dengan kulit putih itu berjalan lebih dulu. Satu-satunya laki-laki yang memiliki potensi dan bisa menyalurkannya, juga dikaruniai wajah cukup tampan lengkap dengan gesture sopan, membuatnya cukup disegani. 

“Na ... apa kau merasakan sesuatu saat berdua denganku?”

“Me ... me ... bagaimana?”

“Kau gugup, Na. Kau masih ... ingat?” 

Tubuh Khanara berhenti, bukan karena dihentikan. Jalan laju kakinya dihalangi oleh orang yang saat ini tengah bersamanya. Gang. Gang. Gang. Tempat kedua kali tubuhnya menjadi patung hidup yang berharap bisa mati hanya pada malam ini. Sekarang, tubuhnya dirapatkan ke sebuah benda menjulang. Tembok, apa lagi?

“K-kau—“

“Na ... aku ....”

Tinggallah mata yang melotot, namun itu tidak bertahan lama, sebab selanjutnya ia justru ingin memejamkan mata. Ia tidak kuasa melihat langit, tidak kuasa melihat tembok di sekelilingnya, tidak berani melihat pelipis orang yang tengah menyeruput bibir luarnya. Cukup lama dan makin dalam, apalagi saat tangan dingin mulai terasa membelai tengkuknya. Mengelus pelan dan menekan beberapa kali. Kemudian, tangan tersebut terasa turun ke atas dadanya, mencari celah.

“L-Lim ... s-sudah ...!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status