Share

Hilang ...?

“Musim kali ini lebih menyebalkan, Na. Stok baju hangatku sudah habis.”

Tangannya menyelusup ke dalam baju, membenarkan posisi bra yang seperti ingin berlarian. “Apakah Madam tidak datang lagi malam ini?”

“Aku tidak tahu.” Pikirannya jatuh pada kejadian sore tadi, setumpuk kardus roti lolos dari tangannya. Tentu saja hiasan-hiasan akan koyak, menjadikan roti tersebut sepintas terlihat tidak layak makan. “Tolong di sini sebentar, aku ingin mengambil mantel.”

Masuk ke dalam ruangan sempit di bagian belakang toko tersebut, ia menghampiri kotak besar terbuat dari kayu, tempat meletakkan barang-barangnya. Atasan berbahan tebal dengan warna hitam keluar dari sana saat ditarik. Menepuk-nepuk agar benda itu bersih dari debu, lantas dikenakannya dengan mudah. 

“Sudah.” Saat gadis tersebut keluar dari bilik, tidak ada seseorang pun yang menggantikannya. 

“Aku baru mengambil minuman!” seru seseorang.

Gadis itu menghela nafas sedikit, kemudian mengangguk samar. “Kau membuat teh hangat?”

“Ya. Untukmu ada di sana. Sangat panas, tanganku sampai sakit.”

Ia paham, mengangguk lagi, “Aku akan mengambilnya sendiri.”

Waktu menunjukkan pukul delapan malam, tanda bahwa tidak akan ada pengunjung lagi, akan tetapi itu bukanlah sebuah kesimpulan paling benar. Terkadang, saat cuaca dingin begini, para pekerja yang bertandang pulang akan mampir sejenak. Melepas mantel, menyalakan lilin di atas meja, kemudian menyantap kue panas. Kenikmatan tersebut sangat didambakan. 

“Belum tutup?”

“Oh, eh. Belum. Masuklah.” Dia terlihat tidak siap dengan pengunjung yang baru saja berdiri tepat di sampingnya. Padahal, tentu saja lonceng dibunyikan saat ada seseorang masuk. Mereka biasa menyebut dengan pembeli atau pengunjung. Jika pengunjung, maka orang tersebut akan bertahan di sana selama beberapa saat. Jika pembeli, maka hanya membeli kue saja, lalu pergi.

“Minuman jeruk hangat, kepalaku sedikit sakit sejak tadi siang,” kata orang tadi. Rambutnya agak panjang bagian belakang, mullet istilahnya. Cukup cocok dengan warna kulitnya yang putih kemerahan dengan warna rambutnya yang cokelat kemerahan itu  

“Kau terlalu bekerja keras, Lim. Minumlah ... lalu lekaslah pulang.”

“Kenapa?”

“Neesa di rumah sendirian. Aku ....”

“Baiklah, aku akan segera pulang.”

“Terima kasih.” Bagai tidak ada kalimat lain yang dipikirkannya. Putaran jam dinding usang selalu menjadi atensinya sejak menyadari bahwa saat itu sudah terlewat pukul delapan. Pikirannya sedikit menjelajah, mengakibatkan ia melupakan kejadian kotak-kotak roti yang berjatuhan tadi.

“Pakai pakaian yang tebal, Na. Tulang kecil yang hanya terbungkus kulit tipis ini sangat kasihan,” katanya, sambil mengelus pelan ujung jempol milik gadis itu yang terjulur di atas meja. Pemiliknya mengangkat manik sehingga tatapan mereka lurus. Gadis itu hanya tersenyum kecil.

“Terima kasih.”

“Aku ... pulang. Jangan lupa untuk membawa senter saat melewati gang nanti.”

“Mm. Akan kuingat-ingat.” 

Laki-laki itu masih menyempatkan bibirnya meneguk sisa-sisa minuman jeruk langsung dari bibir gelas. Meninggalkan jejak di sana, sebab udara memang benar-benar gigil. Selesai dengan hal itu, laki-laki tersebut menerima saja saat dibantu memasang mantel ke tubuhnya. Berikut topi yang digeletakkan di atas meja. Sekali lagi, kalimat pamit diucapkannya secara lebih dalam. Menyisakan sesuatu yang aneh sampai lonceng kembali berdenting. 

Itu tandanya, toko kembali kosong. 

Sudah dikatakan bahwa pukul delapan malam sangat sukar untuk mendapat pelanggan. Apalagi, delapan malam adalah tadi sebelum laki-laki yang bekerja di salah satu perusahaan ekstraktif tidak jauh dari sana melintas dan mampir. Ini sudah berlalu banyak menit. Bahkan dua gadis yang masih berusaha memelototkan kelopak mata seperti enggan menengok jam. 

“Syukurlah aku tidak memiliki ponsel.” Ya  ponsel adalah alat elektronik yang mempunyai fitur penanda waktu, ada hari, bulan, dan tanggal di sana. Juga detik, menit, serta jam. “Apa ... kita langsung ke dalam saja?”

Ia menunduk sebelum menjawab, “Jangan, orang itu akan melapor—“

“Orang itu bahkan tidak ada, Na! Aku kedinginan setengah mati!” Wajah penyesalan ada di sana, sinar matanya meredup sedetik setelah emosinya meluap. Segera diturunkannya penutup kain pada jendela besar di dekatnya. Melirik sebentar ke arah orang itu sebelum pergi. 

Sedangkan dirinya yang ditinggal seorang diri, kembali menghembuskan nafas kedinginan. 

Mungkin tak apa untuk malam ini.

Para penjaga yang berkeliling di luaran sana memang tidak punya pilihan menolak jika telah diiming-imingi uang. Padahal, tidak merugikan bagi orang itu juga andaikan karyawan di toko roti tersebut memilih menutup toko lebih awal. Ini adalah kemanusiaan, karena dinginnya malam tidak lagi masuk akal. Demi menyelamatkan hidup, sudah sepatutnya mereka berada di kamar sekarang ini. Bukannya mematung di dekat jendela, membiarkan pipi dan lengan yang telanjang diselundup oleh angin.

***

“Kau tidak tidur semalaman?”

Hanya menjawab dengan seutas senyuman, “Aku harus pulang, semuanya sudah bersih.” Kala itu pun ia masih akan menutup pintu rak-rak yang dibuka sekaligus. 

Benar, perlu berkeliling dengan mata waras—yang sudah bebas dari gelayut kantuk. Kaca-kaca dinding mengilap, meski sudah tertutup lagi oleh embun. Lantai licin setelah disapu dan dipel, begitu pula dengan keadaan permukaan meja-meja. Barang-barang dekorasi juga tidak lagi menyembulkan debu. 

“Kau akan lama ....”

Kalimat tersebut menggantung karena lawan bicaranya sudah musnah ditelan pintu.

Di luar toko roti tersebut, ia memulakan langkah dengan saling menggosok-gosok telapak tangannya terlebih dahulu, hingga memerahlah kulit di sekitar sana. Kupluk menutup nyaris sebagian kepala atas, menyisakan sedikit poni yang dibentuk horizontal tepat di atas mata. Beberapa orang mungkin akan ikut merasakan sakit saat membayangkan maniknya itu tercolok, namun sepertinya tidak, gadis itu tidak pernah datang dengan mata merah. 

Setelah melewati gang dan jembatan kecil, bisa dilihatnya sebuah rumah bercat maroon dan putih. Pintu masih tertutup rapat, begitu pula dengan jendelanya. Diketuknya beberapa kali, tidak kunjung terdengar pergerakan dari dalam. Ia terus mencoba. Kali ini, sambil berteriak.

“Neesa!”

Sial, adiknya tidak ada!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status