Share

Reunite

"Baiklah, anggap saja balapan kita hari ini gagal. Akan tetapi, kita harus mengulanginya lain hari dengan taruhan yang sama," tegas Crow.

"Oke, aku setuju," putus Quentin sambil melirik Rosemary yang terus memandangnya. Dia lalu mengakhiri panggilan dan berjalan mendekat pada gadis yang terlihat begitu cantik itu.

"Apa kau memberitahukan pada Crow tentangku?" Rosemary tampak waspada. Mata indahnya menatap tajam pada Quentin.

"Kau dengar sendiri apa yang baru saja kubicarakan bersama Crow," sahut Quentin enteng. "Kami sama sekali tak membahas tentangmu."

"Apa dia ingin mengajakmu bertemu?" tanya Rosemary lagi.

"Itu sama sekali bukan urusanmu," jawab Quentin. "Beristirahatlah, aku akan memanggilkan dokter. Aku lupa bahwa aku harus memberikan laporan secepatnya jika kau terbangun."

Quentin mengulurkan tangan ke arah Rosemary. Sontak, gadis itu berjingkat menghindar. "Mau apa kau!" sentaknya garang.

"Ya, ampun. Tenanglah, aku hanya ingin memencet tombol ini," tunjuk Quentin seraya menekan sebuah tombol berwarna merah yang terletak di atas kepala ranjang.

Tak lama kemudian, seorang dokter dan beberapa perawat, masuk ke dalam ruangan sambil membawa catatan.

"Pasien sudah siuman, Dokter. Kira-kira lima belas menit yang lalu," jelas Quentin.

"Terima kasih untuk laporannya. Bisakah anda keluar sebentar? Kami hendak memeriksa Nona ini," pinta sang dokter sopan.

"Oh, tentu saja. Kebetulan aku hendak mencari makan di kafetaria rumah sakit," sahut Quentin. Dia tak menoleh lagi ke belakang dan fokus berjalan menuju lift yang akan mengantarkannya ke kafetaria di lantai paling bawah gedung rumah sakit.

Saat itu sudah lewat tengah malam. Namun suasana di tempat itu masih terbilang cukup ramai. Beberapa orang masih terlihat berlalu lalang. Ada juga yang sedang memesan makanan.

Begitu pula dengan Quentin saat itu. Sandwich dan secangkir kopi, cukup untuk menenangkan perutnya yang meronta. Dirasa aman, Quentin membuka maskernya.

Quentin duduk cukup lama di salah satu kursi kafetaria, seraya mengamati orang-orang yang lewat di depan dirinya. Hingga ekor matanya menangkap sesosok pria yang berjalan kesana kemari seperti orang kebingungan. Sikap orang tersebut cukup aneh, memantik rasa penasaran dalam diri Quentin.

Tanpa sadar, arsitek muda itu bangkit dari mejanya, lalu menghampiri pria tersebut. "Hai, apa anda baik-baik saja?" sapa Quentin.

Pria itu langsung menoleh dan mengambil sikap waspada. Kedua tangannya bahkan sudah mengepal dan terlihat siaga. Rautnya tampak begitu tegang, membuat Quentin semakin curiga.

"Hei, tenang saja. Aku tidak ingin mencari masalah," tutur Quentin ramah, jauh berbeda dengan karakternya selama di kantor.

"Apa kau sedang mencari seseorang atau sesuatu? Siapa tahu aku bisa membantu," tawar Quentin.

"Tidak usah! Aku tidak ingin merepotkan siapapun," timpal pria itu. Dia mengambil jarak beberapa langkah dari Quentin sebelum akhirnya berlalu.

"Orang aneh," gumam Quentin sembari kembali ke meja dan melanjutkan makannya yang tertunda. Setelah menghabiskan sepotong sandwich, Quentin menikmati kopinya sampai beberapa menti berlalu.

Dia merasa sudah terlalu lama meninggalkan Rosemary sendirian di kamar, sehingga dia harus buru-buru mengenakan masker dan kembali ke kamar perawatan. Akan tetapi, sesampainya di sana, Quentin hanya melihat ranjang dengan selimut putih yang tersingkap dan berantakan.

Selang infus beserta kantungnya, tergeletak begitu saja di atas lantai. Sedangkan tiang infus dalam posisi terjatuh. Quentin membutuhkan waktu beberapa detik untuk mencerna pemandangan di depan matanya, sebelum bergegas memencet tombol yang terletak di atas ranjang berkali-kali.

Tak berselang lama, seorang perawat datang dengan tergopoh-gopoh. "Saya harap anda tidak mempermainkan tombol darurat ...." Seketika kalimat perawat itu mengambang tatkala melihat keadaan kamar yang berantakan.

"Astaga! Apa yang anda lakukan, Tuan?" seru sang perawat panik. "Di mana pasiennya?"

"Hal yang sama juga ingin kutanyakan pada anda. Aku baru kembali dari kafetaria dan tiba-tiba saja keadaannya sudah seperti ini," jelas Quentin.

"Ya, ampun!" Tanpa memberikan penjelasan, perawat itu langsung berbalik meninggalkan Quentin yang kebingungan. Tak lama kemudian, dia kembali seraya mengajak beberapa orang perawat pria dan seorang petugas keamanan rumah sakit.

"Apa kerabat anda tidak memberitahukan kemana dia akan pergi?" tanya salah seorang perawat pria.

"Kalau saya tahu, tidak mungkin saya sepanik ini!" timpal Quentin.

"Ini gawat. Bagaimana aku harus melaporkan pada dokter?" Para perawat dan petugas keamanan itu berkerumun sambil berdiskusi, sampai salah satu dari mereka menoleh kepada Quentin.

"Anda bisa menunggu kami menemukan kerabat anda dengan melunasi biaya administrasi dan lain-lain di loket depan, mengingat anda tidak dapat menunjukkan nomor asuransi kesehatan," ujar si perawat.

"Oh, ya, tentu! Tak masalah." Quentin memaksakan senyum. Dia bergegas meninggalkan ruang perawatan menuju loket pembayaran. Quentin memang sengaja tak memberikan kartu asuransi supaya identitas aslinya tak dapat terdeteksi.

Setelah melunasi semua biaya, Quentin memilih untuk meninggalkan rumah sakit secara diam-diam, lalu kembali ke apartemennya. Dia cukup bersyukur karena Tuhan tak jadi memisahkan Quentin dengan mobil kesayangannya.

"Aku bisa tidur nyenyak malam ini," gumamnya sembari bersiul. Namun, siulannya terhenti tatkala dia mengingat Rosemary yang menghilang secara misterius.

"Ah, biarlah. Itu bukan urusanku. Lagipula, Crow bukan orang baik-baik. Dia adalah anak ketua gangster," gumam Quentin dalam hati.

Dia melanjutkan langkahnya memasuki apartemen dan beristirahat di kamarnya yang rapi dan nyaman sampai esok hari.

Quentin kembali menjalani kehidupan dia yang sebenarnya di dunia nyata, sebagai perintis perusahaan arsitektur kecil-kecilan.

Di satu sisi, Quentin memiliki cita-cita untuk membesarkan perusahaannya. Namun, di sisi lain, kehidupan sebagai seorang pembalap liar jalanan juga tak bisa dia tinggalkan begitu saja.

"Sir." Sapaan Mallory pagi itu menjadi pembuka harinya. Sang sekretaris membukakan pintu ruang kerjanya dengan riang.

"Terima kasih," balas Quentin tanpa tersenyum. 

"Oh, ya. Saya hanya ingin mengingatkan jadwal hari ini. Jam sepuluh nanti, anda mempunyai janji dengan klien terbesar yang pernah memakai jasa kita," tutur Mallory berapi-api.

"Tuan Frank Gallaway, sang raksasa properti, tiba-tiba mempercayakan rancangan bangunan gedung mall terbarunya pada kita. Kudengar, itu karena dia tertarik pada karya anda yang terpajang di pameran arsitektur pusat kota, beberapa minggu yang lalu," sambung Mallory semakin antusias.

"Ya, Mallory. Kau sudah mengatakannya berkali-kali," ujar Quentin seraya mendesah pelan.

"Ah, maaf. Saya hanya terlalu semangat," ucap Mallory tersipu.

"Uhm ...." Quentin mengamati permukaan meja kerja. "Tumben kau tidak membuatkanku teh?"

"Ah, ya, ampun. Tunggu sebentar, Sir!" Mallory menepuk dahi, lalu tergesa-gesa meninggalkan ruangan Quentin menuju ke pantry.

Namun, tak lama kemudian, dia kembali lagi pada Quentin dengan wajah pucat dan tegang.

"Ada apa lagi?" tanya Quentin datar.

"Gawat! Tuan Gallaway tiba-tiba memajukan jadwalnya. Dia sudah ada di lobi bawah, Sir. Bagaimana ini?" seru Mallory panik.

"Ya, sudah. Persilakan beliau kemari," sahut Quentin enteng. "Jangan lupa suguhkan teh chamomile."

"Baik, Sir." Mallory buru-buru undur diri dan turun ke lobi. Di sana, dia mengantarkan Gallaway hingga masuk ke dalam kantor Quentin.

"Tuan Frank Gallaway sudah hadir bersama putrinya, Sir," tunjuk Mallory sopan pada seorang pria paruh baya dan wanita muda berparas cantik jelita yang berdiri tepat di sebelahnya.

"Apa kabar, Tuan Arsyanendra. Senang sekali akhirnya aku bisa bertemu langsung dengan anda," ujar Frank seraya mengulurkan tangan.

Quentin memang menyambut uluran tangan itu. Akan tetapi pandangannya sama sekali tak bisa lepas dari sosok cantik di samping Frank.

"Rosemary?" desis Quentin begitu lirih.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status