Share

Taruhan

"Tuan, anda sudah sampai di lantai 16. Bukankah tadi anda memencet tombol 16?" tanya seorang penjaga lift yang berdiri tepat di samping Quentin.

"Oh, i-iya!" Quentin tergagap. Lamunannya buyar seketika. Dia melangkah cepat keluar dari lift menuju satu lantai yang dia sewa selama beberapa tahun untuk menjalankan bisnis yang dia rintis sejak lulus dari jurusan arsitektur sebuah perguruan tinggi di New York.

Quentin memiliki 15 orang pegawai yang siap membantu untuk mewujudkan mimpi-mimpinya. Mereka begitu hangat dan loyal terhadap dirinya.

"Selamat pagi, Sir," sapa sekretarisnya yang bernama Mallory. "Saya sudah membuatkan teh chamomile dan meletakkannya di meja anda," ujar wanita berambut coklat terang dengan iris mata hazel itu.

"Terima kasih, Mallory," ucap Quentin datar seraya membuka pintu ruang kerja, lalu duduk di balik meja kerjanya. Sementara Mallory terus mengikuti. Dia sama sekali tak beranjak dari hadapan Quentin.

Harus diakui, sekretarisnya itu terlihat begitu cantik dan menawan. Quentin juga dapat merasakan kebaikan dan perhatian berlebih yang dipersembahkan Mallory untuknya. Namun, entah kenapa hati Quentin seakan tak tersentuh. "Apa yang kau tunggu, Mallory?" Quentin menautkan alis keheranan melihat sikap wanita cantik itu.

"Anda belum mencicipi tehnya. Saya ingin mendengar pendapat anda tentang rasanya," jawab Mallory ragu-ragu.

"Astaga," gumam Quentin. Dengan gayanya yang selalu tampak dingin dan misterius, dia meraih cangkir berbahan porselen tersebut, lalu menyesap isinya. "Not bad. Manis dan aromanya pas. Aku suka," sanjung Quentin.

"Ah, thank God. Syukurlah anda menyukainya." Seulas senyuman lebar tersungging di wajah cantik Mallory. "Baiklah, saya akan kembali ke meja," pamitnya riang seraya membalikkan badan, keluar dari ruangan bergaya minimalis modern tersebut.

Baru saja Mallory meninggalkan ruangannya, seorang pria lain masuk dengan wajah yang tak kalah ceria. "Sir! Aku tidak percaya bahwa timku berhasil menyelesaikan rancangan gedung yang dipesan oleh Tuan Campbell dalam waktu kurang dari seminggu!" seru pria berambut pirang dan bermata biru itu.

"Selamat, Richard. Aku sangat menghargai kerja kerasmu. Ingatkan aku untuk menransfer bonus di akhir bulan ini," timpal Quentin, masih dengan gayanya yang datar dan dingin.

"Anda baik sekali! Senang rasanya bekerja denganmu!" ujar Richard. Dia memberanikan diri mendekat, lalu menyalami Quentin penuh semangat.

"Tidak perlu berlebihan, Richard. Kembalilah ke meja kerjamu," ucap Quentin.

'Okay, Sir!" Richard memperbaiki posisi. Dia berdiri tegak sambil mengambil sikap hormat, layaknya seorang tentara yang memberi hormat pada atasan.

Quentin sempat tersenyum samar. Suatu hal yang tak akan dapat dilihat oleh Richard. Pegawai bertubuh jangkung itu lalu keluar dari ruangan Quentin dengan wajah semringah.

"Ada-ada saja." Quentin terkekeh. Dia kembali meminum teh buatan Mallory, sebelum menyalakan laptop dan berkutat pada pekerjaan. Beberapa kali tegukan cukup untuk membuatnya bersemangat menjalani hari.

Tak berselang lama, ketukan pelan terdengar. Pintu itupun terbuka dan menampakkan wajah Mallory yang menyembul di baliknya. "Maaf, Tuan. Ibu anda menelepon di line dua," ujar sekretaris cantik itu.

Quentin tertegun sejenak. "Ibuku?" ulangnya. Tanpa sadar, keringat dingin menetes membasahi dahi.

"Iya, ibu anda. Dia sudah menunggu, Tuan," jawab Mallory.

"Baiklah." Dengan perasaan tak menentu, Quentin menekan angka dua pada tombol yang terdapat di pesawat telepon. Dia mengatur napas lebih dulu sebelum mengucapkan salam. "Halo, Ma. Apa kabar?" sapanya pelan.

"Nak, Tintinku," balas sang ibu yang berada jauh di seberang sana. "Papamu sakit. Kapan kamu pulang?" Sebuah pertanyaan yang sama yang dilontarkan sang ibu sejak tiga tahun terakhir. Akan tetapi, Quentin juga selalu menjawabnya dengan kalimat yang sama.

"Aku masih sibuk, Ma. Nanti akan kuatur ulang jadwalku," tutur Quentin sambil berusaha menyembunyikan gejolak di dalam dada.

"Kapan, Nak? Minggu lalu, kamu juga bilang seperti ini. Apa begitu besar rasa sakit yang ditorehkan oleh papamu, sampai-sampai kamu tidak ingin menemui dia lagi, Nak? Bagaimanapun juga, dia adalah ayah kandungmu." Suara sang ibu yang bernama Agni, terdengar begitu memelas.

"Ma, aku janji akan mengatur ulang jadwalku. Aku akan pulang secepatnya." Lagi-lagi Quentin memberikan sebuah janji yang tak tahu kapan akan dia tepati.

"Sampai kapanpun, mama akan menunggumu, Nak. Mama kangen sekali." Agni mulai terisak, membuat dinding raksasa yang mengelilingi hati Quentin, jebol seketika.

"Ma, tunggu, ya. Sebentar lagi, akhir tahun. Aku janji akan pulang," bujuk Quentin. Nada suaranya begitu halus dan lembut.

"Benar ya, Nak. Mama tunggu, ya," sahut Agni penuh harap.

"Iya ...." Quentin tersenyum samar membayangkan wajah cantik nan anggun sang ibu. "Aku ...." Kata-kata Quentin terjeda ketika dia mendengar telepon genggam yang tersembunyi di saku celana, berdering nyaring.

"Ma, nanti kutelepon lagi, ya," putus Quentin ketika membaca sebuah nama yang tertera di layar ponselnya.

"Halo!" sapanya sesaat setelah mengakhiri pembicaraan dengan Agni. Kini Quentin mengalihkan fokus pada seseorang yang telah menghubunginya melalui ponsel.

"Keith! Berapa kali harus kukatakan bahwa jangan meneleponku di waktu pagi seperti ini!" tegur Quentin.

'Ah, beginikah caranya kau menyambut sahabat? Sudah beberapa hari ini kau tidak menraktirku makan di restoran mewah," kelakar pria bernama Keith tersebut.

"Apa maumu!" tanya Quentin tanpa basa-basi.

"Nanti malam! Jam sepuluh tepat di tempat biasa, Crow menunggumu," ujar Keith.

"Apa dia menantang balapan?" Quentin mulai tertarik dengan kata-kata Keith.

"Tantangan terbesar sepanjang karirmu, teman!" seru Keith berapi-api.

Ekspresi dingin yang sedari tadi dipancarkan oleh Quentin, mendadak berubah menjadi mimik ceria. "Oke, aku menerimanya!" sahut Quentin yakin.

Tepat pukul sepuluh malam, Quentin tiba di alamat yang telah disepakati sebelumnya. Dengan mengendarai mobil kesayangan berjenis mustang keluaran lama bercat merah hitam, dia melaju melintasi padang rumput, lalu berhenti di depan sebuah pabrik tua yang sudah tak beroperasi.

Quentin turun dari kendaraannya dengan gagah. Berbalut T-shirt hitam dan jaket kulit berwarna senada, dia melangkah ke dalam bangunan pabrik. Setiap kali balapan, Quentin tak pernah menampakkan wajahnya. Dia selalu menyembunyikan paras rupawannya di balik masker hitam bergambar mulut iblis bergigi runcing yang tertawa. 

Sementara itu, di dalam bangunan terbengkalai tersebut, ratusan orang tengah berpesta. Muda-mudi berdansa diiringi alunan musik yang menghentak dan memekakkan telinga. Mobil-mobil sport mewah terparkir berjajar di sisi kanan kiri ruangan pabrik yang sudah terbengkalai tersebut.

"My man!" seru seseorang dari arah kerumunan. Quentin menoleh dan mendapati sahabatnya, Keith, tengah berjalan bersama seorang pria berambut gondrong.

"Diakah orangnya?" terka Quentin sambil memperhatikan pria yang berdiri di samping Keith.

"Kau pasti sudah pernah mendengar nama Crow. Anak dari penguasa jaringan pasar gelap terbesar di wilayah Manhattan," tutur Keith.

"Jadi, ini adalah Crow?" tunjuk Quentin.

"Aku menawarimu sebuah kesepakatan." Pria bernama Crow tadi maju beberapa langkah hingga berada tepat di depan Quentin.

"Kau dan aku bertanding. Jika kau menang, BMW sportku akan menjadi milikmu. Namun, jika aku yang menang, maka mustang kesayanganmu akan jatuh ke tanganku," tawar Crow.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status