Share

Chapter 08

Rania refleks mundur sambil menutup mulut dengan tangannya, menghalangi niatan Farhan yang ingin melahap bibirnya. Rania tidak ingin melakukan hal itu sekarang karena bisa merusak kembali riasan yang sudah susah payah dia kerjakan. Bukan apa, karena jika sudah berciuman Farhan pasti ingin melakukan hal yang lebih, dan itu tidak cukup waktu yang sebentar.

"Jangan sekarang, kau bisa merusak make up-ku," tolak Rania secara halus. Bibir tipis itu memberenggut, sangat menggemaskan. "Aku sudah susah payah berdandan, kau malah ingin merusaknya lagi," sambung Rania.

Farhan terkekeh pelan lantas mencubit pelan pipi gembil Rania karena gemas. Setelah itu, Farhan merangkul pinggang ramping sang istri dan menariknya hingga merapat. Pria itu mendekatkan kepalanya tepat di samping telinga Rania.

"Baiklah, aku tidak akan melakukannya sekarang. Aku akan membuatmu tidak bisa tidur nanti malam," bisik Farhan yang membuat wajah Rania bersemu kemerahan karena malu.

"Kau-"

"Ayok pergi. Nara pasti sudah menunggu kita sekarang," ajak Farhan, mesra. Dia sengaja memotong perkataan istrinya, lalu menggandengnya ke luar.

Setelah perjalanan sekitar tiga puluh menit, Farhan dan Rania pun sampai di tempat tujuan. Kedatangan mereka langsung disambut ceria oleh gadis kecil yang lucu dan menggemaskan.

"Paman ... Bibi ...."

Gadis kecil berusia 4 tahun itu berlari sambil mengepakkan kedua tangannya seperti sedang terbang mendekati paman dan bibinya yang baru saja datang.

Farhan langsung menangkap gadis kecil itu lalu mengayunkan tubuh mungilnya ke atas sebelum kemudian mendekap dan mengahadiahi pipi gembul gadis kecil itu dengan banyak ciuman.

"Kenapa Paman dan Bibi lama sekali tidak main ke sini. Apa kalian tidak pernah merindukanku?" tanya Nara dengan nada bicara layaknya anak kecil seusiaan dengannya.

Rania mencubit hidung mungil Nara dengan gemas hingga membuat gadis kecil itu meringis kesakitan.

"Siapa bilang kami tidak rindu? Lihat ini, bibi bawakan apa untukmu?" Rania mengangkat paper bag yang dia bawa di hadapan Nara yang membuat mata gadis kecil itu langsung nampak berbinar.

Farhan menurunkan Nara dari pangkuannya, agar gadis kecil itu bisa mengambil hadiah yang mereka belikan untuknya.

"Apa ini, Bibi?" tanya Nara.

"Nara Sayang, katakan apa dulu sama Bibi dan Paman?" Elis, adik ipar Rania meminta agar Nara mengucapkan kata terima kasih kepada Rania dan Farhan.

"Terima kasih Bibi," ucap Nara, menggemaskan.

"Terima kasihnya cuma sama bibimu saja? Sama paman tidak?" tanya Farhan berpura-pura merajuk.

Bibir mungil gadis kecil itu menyeringai, menampakkan sederet gigi susunya yang berbaris rapi.

"Terima kasih Paman," katanya.

Sontak sikap polos Nara membuat Rania dan Farhan tertawa karena merasa lucu melihat tingkahnya yang menggemaskan.

"Ayok Kak, kita masuk," ucap Elis, mempersilakan kakak dan kakak iparnya masuk ke rumah.

"Bibi, aku mau digendong." Dengan nada manjanya, Nara mengangkat kedua tangan sambil menatap Rania dengan sorot yang menggemaskan.

"Baiklah, bibi akan menggendong keponakan bibi yang cantik ini," ujar Rania. Dengan senang hati dia langsung menuruti permintaan keponakannya. Mereka masuk ke rumah bersama-sama.

"Kau pasti sangat merindukan bibimu, iya 'kan, Nara?" tanya Farha sambil berjalan bersisian dengan Rania yang sedang menggendong keponakannya. Gadis kecil itu langsung mengangguk polos.

"Kalau rindu kami, kenapa kau tidak minta mamamu mengantarkan kamu ke rumah bibi dan paman saja?" tanya Rania kepada Nara.

Mereka sudah sampai di ruang keluarga. Rania langsung duduk di sofa panjang, bersebelahan dengan suaminya, dan Nara masih betah duduk dalam pangkuannya.

"Nara juga sering meminta aku dan papanya untuk main ke rumah kalian, tapi akhir-akhir ini mas Ikbal sedang sibuk di kantornya. Jadi, dia tidak bisa antar kami pergi. Kalian 'kan tahu sendiri, aku tidak bisa mengendarai mobil." tutur Elis yang baru saja kembali dari dapur sehabis membuatkan minum untuk Farhan dan Rania.

"Jam berapa suamimu pulang?" tanya Farhan.

"Aku sudah memberitahunya kalau kalian akan ke sini. Mungkin sebentar lagi dia pulang. Kita makan siang bersama, ya," sahut Elis.

Farhan hanya mengangguk pelan sebagai respons. Sementara itu, Rania sedang sibuk bercanda dengan keponakannya yang lucu.

Tiba-tiba saja, ponsel Farhan di dalam saku jasnya bergetar lama, memaksa pria itu untuk melihatnya. Keningnya nampak mengernyit dalam saat melihat sederet angka yang terpampang di layar ponselnya.

Farhan beranjak dari duduknya lalu berjalan agak menjauh untuk menjawab teleponnya. Rania sempat menoleh dan melihat ponsel Farhan. Dia merasa benda pipih yang dipegang suaminya itu asing di matanya, tetapi Rania tak mengacuhkannya karena sedang bermain dengan Nara.

Beberapa menit kemudian, Farhan mengakhiri teleponnya berbarengan dengan Ikbal, sang adik ipar yang baru saja pulang dari kantor.

"Mas Farhan, sudah lama?" sapa Ikbal yang baru datang sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman.

"Baru saja beberapa menit yang lalu," jawab Farhan ramah.

"Sehat, Mas? Kak Rania ikut?" tanya Ikbal. Mereka berjalan beriringan menuju ke ruang keluarga.

"Seperti yang kau lihat sekarang, kau juga sehat 'kan?" jawab Farhan sambil balik bertanya. "Rania sedang bermain dengan putrimu," sambungnya lagi.

Dua pria yang hanya berbeda usia sekita tiga tahunan itu melihat ke arah istri-istrinya yang sedang mengawasi Nara bermain warna dari crayon baru sambil mengobrol. Entah apa yang para istri itu sedang bicarakan, hingga sesekali terdengar tawa keluar dari bibir mereka.

"Eh, Mas Ikbal sudah pulang?" Elis langsung menyambut suaminya yang baru saja kembali dari kantor.

"Kalian terlalu asyik mengobrol hingga tidak sadar aku sudah ada di sini," ujar Ikbal seraya mendudukkan tubuhnya tepat di sebelah Elis.

Pria itu melihat putrinya yang sedang mewarnai buku bergambar. "Woah, sepertinya ada yang baru saja dapat mainan baru, nih?" tanyanya kepada Nara.

"Iya, Papa. Paman dan Bibi membelikan crayon ini, warnanya sangat cantik, Nara suka." Gadis kecil itu menunjukkan hasil mewarnainya kepada Ikbal. Sang ayah tersenyum melihat tingkah putrinya yang menggemaakan.

"Bagaimana di kantor? Kata Elis, kau sangat sibuk akhir-akhir ini," tanya Rania kepada Ikbal.

"Ya, begitulah Kak," jawab Ikbal tenang. "Tapi semua rasa lelahku sudah terbalaskan, aku berhasi memenangkan kontrak kerja sama dengan perusahaan besar," sambungnya lagi.

Rania tersenyum, turut merasakan kebahagiaan atas keberhasilan adik iparnya. Obrolan mereka sempat terhenti sejenak karena tiba-tiba saja Rania mendapatkan notifikasi pesan masuk dari nomor tidak dikenal. Sementara yang lainnya masih melanjutkan pembicaraan sambil sesekali bercanda.

Rania sangat syok saat melihat isi dari pesan tersebut. Tiba-tiba saja napasnya tercekat di kerongkongan selama beberapa detik. Mata Rania memerah, menahan amarah sekaligus cairan bening yang ingin tumpah.

Foto-foto sang suami tercinta terpampang jelas di depan mata sedang bersama seorang wanita yang tak terlihat wajahnya. Di sana nampak jelas terlihat Farhan sedang merangkul pinggang wanita itu dengan mesra, dan ada juga yang berpose sedang berciuman.

[Suamimu memiliki wanita simpanan.]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status