Share

Penampakan Nenek

last update Huling Na-update: 2022-05-20 12:18:59

Bapak dan Ibu masih sibuk bernegosiasi. Bahkan, Ibu minta agar Bapak berpikir ulang. Sepertinya mereka tidak bisa diganggu, aku pun meminta Ita untuk mengantarku ke tempat kediaman Via sambil sedikit berlari.

"Di mana, Dek?" tanyaku.

Ita terus menarik tanganku menuju dapur yang gelap. Hingga aku harus mencari sakelar terlebih dahulu. Sepertinya rumah ini diurus dengan baik, terlihat dari perabotan yang tertata rapi ketika lampu sudah menyala. Ita berhenti di depan sebuah pintu yang sedikit terbuka—sangat sedikit, terdengar gemericik air dari keran di dalam sana.

Aku meminta Ita untuk menunggu. Lantas, pintu kamar mandi aku buka sembari memanggil nama via. Namun, tidak ada siapa-siapa di dalam sana. Yang ada hanya gayung yang bergoyang di dalam bak mandi setinggi pusar orang dewasa itu.

Dahiku mengernyit seketika. Sedikit kesal karena adikku berani berbohong. Dengan menghela napas panjang, tubuhku berbalik kemudian berjongkok kembali di depan Ita. Wajahnya terlihat bingung. Aku memegangi bahnya dan bertanya, "Adek bohong, ya, sama Kakak?"

Gadis kecil berkepang dua itu menggeleng. "Enggak, Kak."

"Itu di dalam gak ada siapa-siapa buktinya." Aku menunjuk ke kamar mandi yang pintunya masih terbuka.

Ita memiringkan kepalanya ke kiri sejenak, lantas kembali ke posisi semula dan berkata, "Tapi tadi Adek lihat Kak Via kepalanya ditenggelamin sama Nenek. Tuh, neneknya berdiri di belakang Kak Putri."

Aku menelan ludah seketika, merasa tenggorokan begitu kering. Mendengar penuturan Ita, bulu halus di pundak seperti tertiup angin. Begitu juga bulu-bulu di tangan yang spontan meremang. Sontak aku menoleh ke belakang, tetapi suasana di sana masih sama.

Suara keran dari wastafle membuat aku sedikit memekik dan mengucap istigfar beberapa kali. Kemunculan Via yang tengah mencuci tangannya menatapku dengan mata menyipit. "Kenapa, Kak? Lihat adik sendiri udah kek lihat hantu aja," ketusnya.

Suara Bapak dari luar terdengar memanggil kami. Dengan cepat aku menutup pintu kamar mandi lalu menarik tangan Ita untuk segera keluar dari sini. Tak lupa mematikan lampu kembali. Sepanjang jalan, Ita terus menengok ke belakang, seakang ada sesuatu yang ia lihat. Bahkan, ketika aku mencuri pandang ke arahnya, Ita malah sibuk berdadah ria. Duh, anak ini ....

Sementara yang dikhawatirkan malah bersikap tak acuh. Via sibuk memasang earphone, seakan tak peduli dengan suasana rumah ini. Padahal kemarin menolak, sudah sampai di sini malah terkesan betah.

"Gimana, kalian suka rumah ini?" tanya Bapak. "Ah, udah pasti suka, kan, ya? Suasananya adem. Dingin juga. Cita-cita Bapak punya rumah di Lembang." Bapak bertanya, tetapi malah dijawab sendiri. Kalau sudah begini, itu tandanya Bapak tidak mau menerima bantahan dari semua putrinya, termasuk Ibu.

"Kalo gitu cocok, Pak. Sebentar, saya panggil dulu si Akang penjaga rumah ini, ya. Siapa tahu ada yang mau Pak Agung tanyakan. Duduk aja dulu," ucap Pak Hasan dengan wajah semringah. Ia mempersilakan kami duduk di sofa merah ati yang begitu empuk, sementara beliau pergi—entah ke mana.

Suasana berubah hening. Wajah Bapak begitu cerah, ia sampai bersiul dengan pandangan mengarah ke segala arah. Sementara Ibu, ada gurat ragu dan khawatir terlihat di sana. Mungkin Ibu takut setelah mendengar cerita Pak Hasan tadi.

Aku mulai berdiri, menjelajahi setiap sudut ruang tamu yang tengah kami tempati. Meneliksik jengkal demi jengkal lemari kaca berisi guci kecil dan beberapa patung berbentuk manusia.

Suara ketukan pintu tak lantas membuatku terganggu. Hanya saja, dari pantulan kaca terlihat dua orang datang. Setelah Bapak meminta aku duduk kembali, aku pun mulai memutar badan.

Di depan sana ada Pak Hasan, membawa seorang pria yang fisiknya istimewa. Tangan kanannya tidak sempurna, begitu juga cara jalan yang sedikit diseret. Pandanganku mulai beralih pada wajah beliau, di mana kulit pipi tampak seperti luka bakar.

"Perkenalkan Pak Agung, ini namanya Kang Budi. Nah, Kang, ini ada Pak Agung sama Bu Ningsih. Dan itu putri-putrinya." Pak Hasan menunjuk kami, aku hanya membalas dengan senyuman.

Berbeda dengan Bapak dan Ibu yang menyalami pria berwajah datar itu. Tidak ada senyum atau sapaan, beliau hanya mengangguk saja. "Rumah ini jadi dibeli?" tanyanya kemudian, tatapannya bukan pada kami, melainkan pada Pak Hasan.

"Sepertinya begitu, Pak Agung sangat suka dengan rumah ini. Iya, kan, Pak?"

Bapak mengangguk pasti. Beliau pun menceritakan betapa antusiasnya tinggal di Lembang. Sampai pernah bermimpi mempunyai tanah di Cikole untuk bercocok tanam karena memang tanah Lembang terkenal subur untuk segala jenis sayuran.

Respon Kang Budi hanya anggukan pelan, itu pun sulit karena kulit lehernya hampir menyatu dengan kulit pipi. Sementara Ita menggenggam tanganku erat, gadis kecil itu malah diam di belakang punggungku. Sepertinya Ita takut.

"Semoga gak kabur kayak pembeli yang lain." Ucapan Kang Budi membuat aku dan Ibu saling menoleh satu sama lain. "Oh, iya, pintu menuju bawah tanah agak sedikit macet. Nanti saya perbaiki," lanjutnya dengan nada datar.

Ternyata rumah ini memiliki ruangan bawah tanah. Sebenarnya aku penasaran, ingin menjelajah lebih jauh, terutama kamar yang nantinya akan aku tempati bersama Ita. Kalau Via sudah pasti memilih untuk menyendiri.

Ada yang aneh dari Kang Budi, ia selalu saja memperhatikan Ita, membuat adikku kian takut. Bahkan, sesekali pria itu melambaikan tangan sebelah kirinya. Spontan aku semakin membuat Ita merapatkan tubuhnya ke belakang.

***

Malam hari, kami berkumpul di ruang keluarga—kecuali Via. Obrolan terkait rumah diawali oleh Ibu yang merasa keberatan. Katanya, perasaannya tidak enak. Akan tetapi, Bapak bersikukuh untuk pindah. Sebab, pembayaran sudah dibayar penuh.

"Sesekali Ibu teh harus belajar peka. Bapak gak enak jadi hinaan mereka. Katanya, puluhan tahun rumah tangga, tapi gak bisa beliin istrinya rumah. Harga diri dipertaruhkan, Bu," kata Bapak, tangannya sibuk membereskan surat kwitansi jual-beli.

Ibu menghela napas, menyandarikan punggungnya ke sofa. "Bukan begitu, maksud Ibu sabar dulu sambil lanjut nabung. Setidaknya, kita dapat rumah yang layak."

"Loh, itu kurang layak kumaha, Bu. Bagus, kok. Tanya anak-anak. Enya, kan, Neng?"

Aku baru akan menjawab, tapi didahului oleh Ita. "Iya, Adek banyak temen di sana. Tadi Adek sama temen baru main boneka di kamar."

Jawaban Ita membuat kami semua terdiam. Sampai Bapak menyela keheningan. "Namanya juga anak-anak, imajinasinya tinggi," katanya sambil pergi ke kamar.

Keadaan yang membingungkan. Di sisi lain, aku pun tidak tega sama Bapak. Sebab, saudara dari Ibu itu, jika sudah berbicara, tidak pernah dipikir dulu.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Pembacaan Vonis (Tamat)

    Beberapa hari sebelum kematian Kang Budi ....Pria itu memandang rumah Pak Rehan—pria yang selalu ia panggil Tuan. Ia merasa terhormat, diundang untuk makan malam dan dijemput oleh sopir. Puluhan tahun mengabdi pada keluarga Megan, membuat Kang Budi dekat dengan omnya Megan tersebut. Fisik Kang Budi sudah tak sesempurna dulu, bahkan tampak menjijikkan jika dipandang orang lain. Namun, Pak Rehan tidak pernah menjadikan itu sebagai masalah. Ia tetap memperlakukan Kang Budi layaknya keluarga—bukan tukang kebun keluarga Megan.Kang Budi keluar mobil dengan perlahan, kakinya diseret, apa lagi ketika menaiki tangga menuju pintu. Kakinya terkadang terseok dan dengan baiknya sopir membantu beliau. Pak Sopir yang sudah mengabdi lama itu pun dengan sabar membuka pintu, mempersilakan tamu tuannya masuk. "Silakan, Kang. Saya ke pos dulu, ya. Kopi tadi belum habis, hehe," pamitnya. "Makasih, ya, Kang. Maaf tiap ke sini saya ngerepotin." Kang Budi membungkukkan badannya. "Enggaklah, kayak ke si

  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Masa Lalu Kelam

    Penjaga yang berusaha melawan berhasil dilumpuhkan. Sementara polisi yang lain berpencar untuk menangkap semua yang ada di dalam. Termasuk Ali dan Om Tio, ia menendang pintu kamar di mana seorang pria tanpa pakaian tengah berdiri mengangkat tangannya. Om Tio yang emosi berlari dan menonjok rahang pria itu. Ia merasa tak tega melihat Putri yang sudah dianggap keponakannya sendiri. Begitu juga Rena serta Lusi, mereka berlari menghampiri sahabatnya dan membetulkan kancing bagian atas yang sudah terbuka. Sementara itu, Ali menghampiri orang tua Putri, menatap Bu Aini yang bergetar ketakutan. Berbeda dengan Pak Agung, ia masih bertanya, "Ada apa ini? Kenapa kalian masuk tanpa izin? Kenapa Tuan Nur ditangkap?" "Tenang, Pak. Mari ikut saya ke luar." Di luar terjadi keramaian, warga yang ronda ikut membantu pengejaran orang-orang yang kabur. Tak lama, suasana mencekam itu sedikit mereda dengan dimasukkannya mereka ke mobil khusus—termasuk Bu Aini dan Pak Agung. Om Tio lebih memilih pergi

  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Misi Penggerebegan 2

    Beberapa hari ini, Rey sibuk chat bersama Rena dengan menggunakan nomor baru. Ia sengaja tidak berkomunikasi dengan Putri, mengingat ada Pak Agung di sana. Bahkan, Putri tidak jujur jika bapaknya masuk ke kelompok tersebut. Rey sengaja menghilangkan foto profile, takut jika Putri dalam keadaan ceroboh menyimpan ponsel. Namun, pria itu tetap bisa memonitor rumah serta keadaan Putri lewat sahabatnya, Rena. [Putri bilang sama Om Tio, katanya dia dijemput sama bapaknya. Gimana dong?] Membaca pesan itu, tidak membuat Rey kaget sama sekali. Sebab, ia tahu jika malam ini akan diadakan upacara suci di rumahnya Pak Agung. [Kita ketemu bisa? Ajak semua teman Putri. Aku punya rencana] Pesan sudah dibaca, tetapi Rena belum bisa memastikan apa-apa karena dia bertanya pada semua orang yang berhubungan dengan peristiwa ini. Akhirnya, jawaban dari mereka pun setuju untuk bertemu di tempat yang lebih private. Dengan cepat Rena membalas, [Oke. Di rumah aku aja Kak, biar lebih aman. Aku share alam

  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Misi Penggerebegan

    Setelah mengantar ibunya pulang ke rumah neneknya, gegas Putri pergi menuju tempat yang sudah dijanjikan oleh Rey. Yaitu, sebuah rumah dikawasan perumahan elite kota Bandung. Tak sulit bagi Putri untuk menemukan lokasi, sebab Rey sudah mengirim detail lokasi menggunakan WA—gadis itu hanya tinggal mengikuti arahan dari Google Map."Pak, Cempaka 2 kavling 2 di sebelah mana, ya," tanya Putri pada security saat sudah sampai di gerbang menuju perumahan. "Lurus, nanti belok kanan. Di sana ada keterangan nomornya, Neng," jawab pria itu sopan. "Makasih, Pak." Motor Putri kembali melaju, menapaki jalan yang ditunjukan oleh security tadi. Dari kejauhan, Putri melihat orang yang dicarinya tengah duduk di motornya. Ia langsung menghampiri Rey dan menekan klakson untuk mengagetkan karena pria berkemeja kotak biru itu sibuk dengan ponselnya.Rey menyambut kedatang Putri dengan tersenyum. Lantas, ia mengajak Putri untuk memasuki rumah yang beberapa bulan ini sering ia kunjungi. Di depan pintu r

  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Kehidupan Baru

    Sedih, bahagia, mati, dan hidup memang rahasia Tuhan. Lantas, apakah kesesatan ini bagian dari skenario Tuhan? Beribu kali aku berpikir, tetapi belum menemukan jawaban. Hanya bisa menangis di ranjang milik Ibu dan Bapak. Di luar tidak terdengar pembicaraan apa pun, hanya terdengar suara aktivitas memasak. Sepertinya Ibu. Tak lama, pintu dibuka. Aku menoleh sesaat. Ibu membawa nampan yang diisi nasi dan beberapa lauk. Pintu terbuka dengan lebar, entah kenapa bukannya ingin kabur, aku malah ingin bicara pada Ibu dari hati ke hati. Beliau meletakkan nampan di atas meja rias samping ranjang, lalu menarik kursinya dan duduk di sana. "Makan dulu, Neng. Kalo udah banyak tamu, Ibu bakalan sibuk."Pasti tamu yang Ibu maksud adalah orang-orang yang akan menghadiri upacara laknat nanti malam. Aku menghela napas kemudian menjawab, "Padahal Ibu ga usah bawa makanan, bukannya Putri bakalan jadi tumbal kalian? Akhirnya, kan, mati juga." "Kamu bukan menikah secara fisik, Put. Tapi hanya secara si

  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Aku Tidak Gila 2

    "Kamu ini kenapa, Gung? Emak perasaan kenal kamu sebagai orang yang kuat iman dan bertanggungjawab. Kenapa jadi gini?" tanya Nenek, Bapak hanya menunduk. Sengaja aku ikut duduk di samping Nenek, agar mudah menahan Bapak saat ingin bertemu Via. Ita aku suruh menemani kakaknya supaya ada teman mengobrol."Mak, saya melakukan ini supaya kehidupan saya dan anak-anak mendapat kedamaian." Nenek tampak menggeleng sembari mengucap istigfar. "Salat, Gung. Salat dan sedekah, dua hal eta yang bikin hidup damai. Kalo sekiranya kamu melakukan hal baik untuk anak-anak, mereka gak akan ketakutan gini pas ketemu kamu." "Mereka masih kecil, Mak. Belum paham dengan asam garam kehidupan," elak Bapak. Nenek tampak geram. "Kalau sampai terjadi sesuatu sama cucu Emak, demi Allah ... Emak gak akan maafin kalian." Karena takut darah tinggi Nenek kambuh, aku meminta beliau menemani Via dan Ita saja di kamar. Urusan bicara pada Bapak, biar aku yang hadapi, meski di hati ada rasa takut. Nenek pun beranjak

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status