Share

Penampakan Nenek

Bapak dan Ibu masih sibuk bernegosiasi. Bahkan, Ibu minta agar Bapak berpikir ulang. Sepertinya mereka tidak bisa diganggu, aku pun meminta Ita untuk mengantarku ke tempat kediaman Via sambil sedikit berlari.

"Di mana, Dek?" tanyaku.

Ita terus menarik tanganku menuju dapur yang gelap. Hingga aku harus mencari sakelar terlebih dahulu. Sepertinya rumah ini diurus dengan baik, terlihat dari perabotan yang tertata rapi ketika lampu sudah menyala. Ita berhenti di depan sebuah pintu yang sedikit terbuka—sangat sedikit, terdengar gemericik air dari keran di dalam sana.

Aku meminta Ita untuk menunggu. Lantas, pintu kamar mandi aku buka sembari memanggil nama via. Namun, tidak ada siapa-siapa di dalam sana. Yang ada hanya gayung yang bergoyang di dalam bak mandi setinggi pusar orang dewasa itu.

Dahiku mengernyit seketika. Sedikit kesal karena adikku berani berbohong. Dengan menghela napas panjang, tubuhku berbalik kemudian berjongkok kembali di depan Ita. Wajahnya terlihat bingung. Aku memegangi bahnya dan bertanya, "Adek bohong, ya, sama Kakak?"

Gadis kecil berkepang dua itu menggeleng. "Enggak, Kak."

"Itu di dalam gak ada siapa-siapa buktinya." Aku menunjuk ke kamar mandi yang pintunya masih terbuka.

Ita memiringkan kepalanya ke kiri sejenak, lantas kembali ke posisi semula dan berkata, "Tapi tadi Adek lihat Kak Via kepalanya ditenggelamin sama Nenek. Tuh, neneknya berdiri di belakang Kak Putri."

Aku menelan ludah seketika, merasa tenggorokan begitu kering. Mendengar penuturan Ita, bulu halus di pundak seperti tertiup angin. Begitu juga bulu-bulu di tangan yang spontan meremang. Sontak aku menoleh ke belakang, tetapi suasana di sana masih sama.

Suara keran dari wastafle membuat aku sedikit memekik dan mengucap istigfar beberapa kali. Kemunculan Via yang tengah mencuci tangannya menatapku dengan mata menyipit. "Kenapa, Kak? Lihat adik sendiri udah kek lihat hantu aja," ketusnya.

Suara Bapak dari luar terdengar memanggil kami. Dengan cepat aku menutup pintu kamar mandi lalu menarik tangan Ita untuk segera keluar dari sini. Tak lupa mematikan lampu kembali. Sepanjang jalan, Ita terus menengok ke belakang, seakang ada sesuatu yang ia lihat. Bahkan, ketika aku mencuri pandang ke arahnya, Ita malah sibuk berdadah ria. Duh, anak ini ....

Sementara yang dikhawatirkan malah bersikap tak acuh. Via sibuk memasang earphone, seakan tak peduli dengan suasana rumah ini. Padahal kemarin menolak, sudah sampai di sini malah terkesan betah.

"Gimana, kalian suka rumah ini?" tanya Bapak. "Ah, udah pasti suka, kan, ya? Suasananya adem. Dingin juga. Cita-cita Bapak punya rumah di Lembang." Bapak bertanya, tetapi malah dijawab sendiri. Kalau sudah begini, itu tandanya Bapak tidak mau menerima bantahan dari semua putrinya, termasuk Ibu.

"Kalo gitu cocok, Pak. Sebentar, saya panggil dulu si Akang penjaga rumah ini, ya. Siapa tahu ada yang mau Pak Agung tanyakan. Duduk aja dulu," ucap Pak Hasan dengan wajah semringah. Ia mempersilakan kami duduk di sofa merah ati yang begitu empuk, sementara beliau pergi—entah ke mana.

Suasana berubah hening. Wajah Bapak begitu cerah, ia sampai bersiul dengan pandangan mengarah ke segala arah. Sementara Ibu, ada gurat ragu dan khawatir terlihat di sana. Mungkin Ibu takut setelah mendengar cerita Pak Hasan tadi.

Aku mulai berdiri, menjelajahi setiap sudut ruang tamu yang tengah kami tempati. Meneliksik jengkal demi jengkal lemari kaca berisi guci kecil dan beberapa patung berbentuk manusia.

Suara ketukan pintu tak lantas membuatku terganggu. Hanya saja, dari pantulan kaca terlihat dua orang datang. Setelah Bapak meminta aku duduk kembali, aku pun mulai memutar badan.

Di depan sana ada Pak Hasan, membawa seorang pria yang fisiknya istimewa. Tangan kanannya tidak sempurna, begitu juga cara jalan yang sedikit diseret. Pandanganku mulai beralih pada wajah beliau, di mana kulit pipi tampak seperti luka bakar.

"Perkenalkan Pak Agung, ini namanya Kang Budi. Nah, Kang, ini ada Pak Agung sama Bu Ningsih. Dan itu putri-putrinya." Pak Hasan menunjuk kami, aku hanya membalas dengan senyuman.

Berbeda dengan Bapak dan Ibu yang menyalami pria berwajah datar itu. Tidak ada senyum atau sapaan, beliau hanya mengangguk saja. "Rumah ini jadi dibeli?" tanyanya kemudian, tatapannya bukan pada kami, melainkan pada Pak Hasan.

"Sepertinya begitu, Pak Agung sangat suka dengan rumah ini. Iya, kan, Pak?"

Bapak mengangguk pasti. Beliau pun menceritakan betapa antusiasnya tinggal di Lembang. Sampai pernah bermimpi mempunyai tanah di Cikole untuk bercocok tanam karena memang tanah Lembang terkenal subur untuk segala jenis sayuran.

Respon Kang Budi hanya anggukan pelan, itu pun sulit karena kulit lehernya hampir menyatu dengan kulit pipi. Sementara Ita menggenggam tanganku erat, gadis kecil itu malah diam di belakang punggungku. Sepertinya Ita takut.

"Semoga gak kabur kayak pembeli yang lain." Ucapan Kang Budi membuat aku dan Ibu saling menoleh satu sama lain. "Oh, iya, pintu menuju bawah tanah agak sedikit macet. Nanti saya perbaiki," lanjutnya dengan nada datar.

Ternyata rumah ini memiliki ruangan bawah tanah. Sebenarnya aku penasaran, ingin menjelajah lebih jauh, terutama kamar yang nantinya akan aku tempati bersama Ita. Kalau Via sudah pasti memilih untuk menyendiri.

Ada yang aneh dari Kang Budi, ia selalu saja memperhatikan Ita, membuat adikku kian takut. Bahkan, sesekali pria itu melambaikan tangan sebelah kirinya. Spontan aku semakin membuat Ita merapatkan tubuhnya ke belakang.

***

Malam hari, kami berkumpul di ruang keluarga—kecuali Via. Obrolan terkait rumah diawali oleh Ibu yang merasa keberatan. Katanya, perasaannya tidak enak. Akan tetapi, Bapak bersikukuh untuk pindah. Sebab, pembayaran sudah dibayar penuh.

"Sesekali Ibu teh harus belajar peka. Bapak gak enak jadi hinaan mereka. Katanya, puluhan tahun rumah tangga, tapi gak bisa beliin istrinya rumah. Harga diri dipertaruhkan, Bu," kata Bapak, tangannya sibuk membereskan surat kwitansi jual-beli.

Ibu menghela napas, menyandarikan punggungnya ke sofa. "Bukan begitu, maksud Ibu sabar dulu sambil lanjut nabung. Setidaknya, kita dapat rumah yang layak."

"Loh, itu kurang layak kumaha, Bu. Bagus, kok. Tanya anak-anak. Enya, kan, Neng?"

Aku baru akan menjawab, tapi didahului oleh Ita. "Iya, Adek banyak temen di sana. Tadi Adek sama temen baru main boneka di kamar."

Jawaban Ita membuat kami semua terdiam. Sampai Bapak menyela keheningan. "Namanya juga anak-anak, imajinasinya tinggi," katanya sambil pergi ke kamar.

Keadaan yang membingungkan. Di sisi lain, aku pun tidak tega sama Bapak. Sebab, saudara dari Ibu itu, jika sudah berbicara, tidak pernah dipikir dulu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status