Share

Mimpi Aneh

Aku meminta Ibu untuk berbicara empat mata dengan Bapak, berharap ada jalan yang terbaik. Jika Bapak bersikukuh, lebih baik mengalah. Siapa tahu rumah itu memberi rezeki pada penghuninya. Mungkin sugesti kami terlalu terfokus pada korban bunuh diri, belum tentu jika sudah ditempati, 'kan?

Aku langsung memboyong Ita untuk masuk kamar. Kalau ada Nenek, pasti beliau minta dipijit. Kebetulan beliau sedang menginap di rumah Uwa karena akan ada acara hajatan. Sementara Ibu akan menyusul besok.

Sebelum tidur, aku mengajak adikku untuk mengobrol sembari membuka kunciran rambutnya yang sedikit agak pirang itu. Ita berceloteh banyak hal, termasuk betapa semangatnya gadis kecil itu akan pindah rumah. Katanya, rumahnya ramai, tidak seperti di sini.

"Masa, sih, Kakak gak lihat," ucapku sembari menyisir rambutnya.

"Padahal Adek udah ajak mereka ikut, tapi pada gak mau," ketusnya mulai menyimpan boneka barbie yang sedari tidak ia mainkan di atas lemari kecil samping ranjang.

Aku mulai menata bantal, menyuruh adikku untuk bergegas tidur karena waktu sudah begitu larut. "Pesan Kakak, jangan bayak bicara sama orang asing. Apalagi di tempat baru. Paham?"

Ia mengangguk. Aku mengacungkan jempol ke arahnya, lantas menutup tubuh mungil itu dengan selimut bulu halus bergambar hello kitty. Setelah memastikan Ita tidur, aku pun ikut terpejam karena memang sudah menguap sedari tadi.

Suara berisik, serta bau gosong membuatku sedikit tidak nyaman. Meski mata dipejamkan, tetapi pikiranku masih dalam keadaan sadar. Entah mengapa pipiku terasa geli, seperti ada rambut yang menggerayami. Perlihan tanganku menepis rambut itu. Mungkin punya Ita.

Karena sudah sangat menganggu, aku pun mulai mengubah posisi badan yang tadinya terlentang, menjadi menghadap adikku. Entah mengapa, aroma kamar ini semakin tidak enak. Lagi-lagi, aku membalikan badan menjadi terlentang kembali. Saat aku membuka mata, sosok di atas sana tiba-tiba jatuh dan melayang tepat di hadapanku hingga wajah kami saling bertemu.

Tenggerokonku tercekat, sulit untuk bicara. Rambutnya yang panjang menyentuh kulit wajahku. Tatapan dingin itu seakan mengisyaratkan kesedihan yang teramat dalam.

Hingga sebuah ketukan pintu membuatku tersentak. Tubuhku kini mulai bisa bangun dari tidur. Beberapa kali aku mengucap istigfar, berharap kejadian tadi hanya sugesti dari celotehan Ica sebelum tidur.

Suara azan berkumandang dari mesjid di depan rumah. Aku menoleh ke arah jam dinding, di mana jarumnya menunjukan pukul 04.30. Napas kuhela dengan berat. Waktu terlalu begitu singkat, bahkan aku merasa belum tidur sama sekali. Aneh ....

"Neng Putri, sudah bangun? Salat Subuh dulu, Neng." Terdengar suara Ibu dari luar. Sementara aku masih bergeming di tempat, rasanya antara bingung dan juga kaget.

Astagfirullah ... mau kalur dari kamar saja kepala pusing.

***

Satu minggu telah berlalu, tiba saatnya kepindahan kami ke Cikole Lembang. Para kerabat mengantar, bahkan mereka membawa bekal makanan masing-masing untuk dimakan bersama di rumah baru. Semua seakan larut dengan canda dan tawa, tak jarang saudara Ibu memuji rumah ini. Salah satu dari mereka bilang, "Pasti harganya mahal. Ternyata Agung teh hebat euy, bisa beli rumah bagus gini."

Kami sengaja menutup rapat kisah kelam rumah ini. Apalagi, Bapak tidak mau semua tahu rumah ini dibeli dengan harga murah karena suatu sebab. Biarkan orang di luar sana berspekulasi apa pun, yang penting kita tidak berniat sombong. Jika ada yang bertanya harga, Bapak hanya menjawab, "Harga wajar."

"Harus cepet-cepet adain pengajian, Gung. Ya biar enak ditempatinya, lebah barokah juga," ucap Nenek.

"Iya, Mak. Insya Allah. Ngumpulin duit dulu, supaya bisa undang tetangga." Bapak menjawab dengan senyum semringah. Sepertinya Bapak senang sudah bisa membuktikan bahwa beliau juga mampu.

Waktu tak terasa berjalan cepat, semua yang mengantar akhirnya pulang. Tiba saatnya kami beres-beres. Tidak banyak barang yang dibawa, mengingat fasilitas di sini pun sudah lengkap.

Saat sedang menyapu karpet, aku menoleh ke arah Ita yang sibuk bermain sendiri di halaman belakang.  Gadis itu sangat ceria, bahkan tertawa nyaring seakan ada teman yang tengah menggodanya.

Aku kembali melanjutkan aktivitas, menemani Bapak yang menutup beberapa toples kue dan memindahkan botol minuman kemasan ke dalam keresek hitam besar. Wajah beliau masih berseri. Akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya, "Sekolah Putri gimana, Pak?"

"Ya kayak biasa. Sekolah di Bandung dulu aja," jawabnya enteng.

"Jauh atuh, Pak."

Pria bertubuh tambun di sampingku tersenyum. "Pan bisa bareng sama Bapak perginya naik mobil. Bapak ke tempat kerja, kalian ke sekolah. Kecuali Adek, pasti pindah."

Sebenarnya tidak ada masalah, aku pun malas kalau harus beradaptasi lagi dengan sekolah baru. Bapak juga tidak perlu merogoh tabungan untuk perpindahan sekolah. Kasian kalau harus dibebani dengan biaya ini dan itu.

Suara Ita yang sedari tadi tertawa sudah tidak terdengar lagi. Ke mana anak itu? Aku pun mulai bangkit dan menoleh ke arah taman belakang. Di kejauhan, terlihat Kang Budi tengah melakukan sesuatu di depan pohon besar. Ada Via dan Ita juga di sana berdiri tepat samping kanan dan kiri beliau.

Penasaran dengan aktivitas mereka, aku pun meletakan sapu dan mulai berlari ke arah mereka. "Lagi apa, Kang?" tanyaku setelah berada di samping Via.

Terlihat Kang Budi menata sesajen dalam nampan bulat. Beberapa bunga, buah-buahan, serta benda aneh tersusun begitu rapi. Sementara di bawahnya, kain putih terbentang menjadi alas.

"Ini supaya roh jahat mereka tidak menganggu kalian."

Dahiku mengernyit. Sejak kapan juga Kang Budi berada di sini? Aku mengedarkan pandangan ke semua tempat, mungkin saja ada akses jalan lain untuk bisa masuk ke sini. Kalo iya, bahaya, termasuk menganggu privasi.

"Bapak tahu Akang bikin beginian?" Nadaku sedikit meninggi karena Bapak agak kurang percaya dengan hal semacam ini.

Kang Budi tidak menjawab, ia malah menyalakan korek dan menyulut dupa hingga baunya ke mana-mana. Kesal dengan hal itu, aku pun mencoba mengambil nampan. Namun, ketika berjongkok, tanganku dicekal oleh Kang Budi. "Jangan macam-macam Neng, nanti keluarga kalian sial seperti yang sudah-sudah."

Mata kami saling bertemu. Ada gurat kemarahan pada tatapan Kang Budi. Kata terakhir, menimbulkan banyak pertanyaan. Apa yang terjadi sebenarnya di rumah ini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status