Share

Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah
Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah
Penulis: Dini Lisdianti

Rumah Murah

Penulis: Dini Lisdianti
last update Terakhir Diperbarui: 2022-05-20 12:17:48

"Cariin rumah yang murah. Gak apa-apa banyak hantunya, itu mah bisa diusir," ucap Bapak tergelak ketika mengobrol dengan Pak Hasan—tetangga yang memang jadi perantara untuk jual-beli rumah di kampungku.

Selama ini kami memang tinggal di rumah nenek dari pihak Ibu. Saudara Ibu sering sekali membicarakan keluarga kami karena tak mampu membeli rumah. Hingga akhirnya, bapak bekerja keras dan bisa menabung selama tiga tahun di bank. Entah berapa hasil tabungan Bapak sekarang.

"Sebenarnya ada, Pak. Malah saya udah coba tawarin ke mana-mana, pada gak mau. Udah nyerah tadinya, malah udah bilang ke yang punya gak akan nawarin lagi, capek. Tapi kalo Bapak mau, hayolah. Cuma, ya, itu ...."

Aku yang tengah mengerjakan tugas sekolah di depan komputer langsung mengubah posisi duduk, penasaran apa yang akan dijelaskan Pak Hasan tentang rumah itu karena memang tempat nonton TV dan ruang tamu hanya tersekat oleh dinding saja. Jadi, pembicaraan mereka bisa terdengar.

Tetiba Ibu melintas, membawa sepiring bakwan dan pisang goreng menggunakan nampan. Tak lupa dengan dua buat air yang terlihat mengepul. Sepertinya isinya kopi. Kesukaan Bapak. "Mangga disambil atuh. Biar enak ngobrolnya," ucap Ibu. Terdengar bunyi piring diletakkan di meja.

"Cuma gimana? Terusin atuh," ucap Bapak penasaran. Begitu juga denganku yang terus menguping.

"Rumahnya bekas korban bunuh diri, Pak." Penjelasan itu berhasil membuatku terperanjat, lantas menghampiri Bapak dan Ibu di ruangan sebelah.

Ibu pun menepuk kursi, memberi kode agar aku duduk di sebelahnya. "Terus, Pak?" timpalku bergegas duduk. Meski aku masih kelas 2 SMA, tetapi aku suka hal yang berbau horor. Lebih tepatnya, penasaran.

"Masalahnya, yang bunuh diri ...."

Belum sempat Pak Hasan menjelaskan, Bapak sudah memotong ucapan beliau. "Ah, cuma korban bunuh diri. Cukup rajin mengaji saja di rumah itu, urusan beres. Pasti korbannya tenang di alam sana. Mau dijual berapa memangnya?"

"30 juta nego, Pak. Kalau mau, kita bisa ke sana. Lokasinya ada di daerah Lembang."

Bayanganku, rumah harga segitu paling kecil dan mau roboh. Apalagi, mengingat tanah di Lembang terkenal mahal. Namun, aku masih penasaran dengan apa yang diucapkan oleh Pak Hasan tadi. Mau bertanya lebih lanjut, Bapak sudah berkata setuju dan meminta Pak Hasan untuk memakan makanan yang tersedia di meja. Tidak enak kalau sampai menganggu.

***

Hari Minggu kami pergi untuk melihat rumah tersebut. Pak Hasan membawa mobil, jadi Bapak tak perlu repot meminjam pada atasannya. Pekerjaan Bapak sebagai sopir pribadi. Gajinya lumayan, hanya saja utangnya banyak—bekas pinjam ke bank saat menikahkan adik bungsunya.

Ekspetasiku ternyata kalah dengan realita di lapangan. Rumah itu cukup besar, bahkan masuk dalam kategori bagus. Bagunannya kokoh, arsitekturnya saja mirip sekali dengan bangunan Belanda. Halamannya luas. Hanya saja, jauh dari rumah tetangga.

"Kayak bekas bangunan Belanda, Pak?" tanyaku.

"Iya, Neng. Dari zaman dulu ini. Cuma, kosong setelah kejadian 3 tahun yang lalu."

Ah, Pak Hasan malah bikin aku semakin penasaran. Akhirnya pria itu mempersilakan kami masuk, bahkan ia sudah membawa kuncinya. Adikku Via maju terlebih dahulu tanpa bicara, gadis yang baru duduk di kelas 2 SMP itu malah menolak untuk pindah sebenarnya.

Berbeda dengan Via, Ita terlihat gembira. Maklum saja, dia baru kelas 1 SD, mana paham dengan yang namanya lingkungan baru.

Kami pun mulai masuk, memperhatikan segala macam barang-barang di dalam yang masih lengkap. Semuanya tampak bagus dan unik. Apalagi guci-guci kecil di lemari kaca, seperti barang antik. Mungkin kalau kami sudah pindah, pasti pemiliknya akan membawa barang ini semuanya.

"Oh iya, Pak. Ini 30juta sudah beserta barang," kata Pak Hasan, membuat Bapak dan Ibu 'ber-hah' serempak. Kenapa aku malah merasa janggal, ya? Seperti ada yang tidak masuk akal.

Bapak langsung menjabat tangan Pak Hasan, pria bertubuh tambun itu berkata setuju dengan rumah ini. Sementara aku dan Ibu saling lirik. Sepertinya apa yang dipikirkan aku dan Ibu adalah sama. Kami pun kembali menyusuri ruangan demi ruangan. Ternyata rumah ini panjang ke belakang. Kamarnya pun ada tiga. Lumayan untuk keluarga kecil kami.

"Kita ke halaman belakang," ajak Pak Hasan.

Aku pun mengekor di belakang Ibu, sementara Via entah ke mana. Adikku itu memang sedikit pendiam, dia jarang berinteraksi bersama keluarga. Bisa dibilang cenderung asyik dengan dunianya sendiri.

"Putri, cari adik-adik kamu," bisik Ibu saat Pak Hasan sudah membuka pintu menuju halaman belakang.

"Iya nanti, Bu." Aku tak kalah berbisik.

Sekilas tidak ada yang aneh, hanya terlihat beberapa pohon besar—terutama di bagian tengah taman. Hanya saja, aku melihat ada bekas bakaran di rumput gajah, rumput yang sering digunakan untuk taman. Bekas bakarannya cukup luas, terlihat gosong-gosong di sana. Terutama bagian pohon, bawahnya tak kalah menghitam. Padahal sudah tiga tahun. Aneh.

"Duh, sayang banget bakar-bakar di taman. Jadi gak estetik, Pak," seruku sedikit mencebik.

"Bukan, Neng. Itu bekas yang bunuh diri," jawab Pak Hasan, membuatku menganga.

"Bakar diri, Pak?" tanyaku lagi.

Pak Hasan mengangguk. "Satu keluarga bakar diri. Ibu, bapak, dan dua anaknya."

Seketika bulu kuduk merinding. Aku melihat ada keraguan di wajah Bapak, tetapi beliau memilih mengalihkan pembicaraan. Malah, Bapak langsung menawar rumah itu agar diturunkan harganya sedikit. Semantara aku masih penasaran, siapa pemilik rumah ini? Kenapa bekas kebarannya tidak dibersihkan?

Aku terperanjat, saat tiba-tiba seseorang menarik tanganku. Ternyata itu Ita. "Kenapa?" tanyaku sembari berjongkok.

"Kak Via, Kak. Dia pingsan di bak mandi."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Pembacaan Vonis (Tamat)

    Beberapa hari sebelum kematian Kang Budi ....Pria itu memandang rumah Pak Rehan—pria yang selalu ia panggil Tuan. Ia merasa terhormat, diundang untuk makan malam dan dijemput oleh sopir. Puluhan tahun mengabdi pada keluarga Megan, membuat Kang Budi dekat dengan omnya Megan tersebut. Fisik Kang Budi sudah tak sesempurna dulu, bahkan tampak menjijikkan jika dipandang orang lain. Namun, Pak Rehan tidak pernah menjadikan itu sebagai masalah. Ia tetap memperlakukan Kang Budi layaknya keluarga—bukan tukang kebun keluarga Megan.Kang Budi keluar mobil dengan perlahan, kakinya diseret, apa lagi ketika menaiki tangga menuju pintu. Kakinya terkadang terseok dan dengan baiknya sopir membantu beliau. Pak Sopir yang sudah mengabdi lama itu pun dengan sabar membuka pintu, mempersilakan tamu tuannya masuk. "Silakan, Kang. Saya ke pos dulu, ya. Kopi tadi belum habis, hehe," pamitnya. "Makasih, ya, Kang. Maaf tiap ke sini saya ngerepotin." Kang Budi membungkukkan badannya. "Enggaklah, kayak ke si

  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Masa Lalu Kelam

    Penjaga yang berusaha melawan berhasil dilumpuhkan. Sementara polisi yang lain berpencar untuk menangkap semua yang ada di dalam. Termasuk Ali dan Om Tio, ia menendang pintu kamar di mana seorang pria tanpa pakaian tengah berdiri mengangkat tangannya. Om Tio yang emosi berlari dan menonjok rahang pria itu. Ia merasa tak tega melihat Putri yang sudah dianggap keponakannya sendiri. Begitu juga Rena serta Lusi, mereka berlari menghampiri sahabatnya dan membetulkan kancing bagian atas yang sudah terbuka. Sementara itu, Ali menghampiri orang tua Putri, menatap Bu Aini yang bergetar ketakutan. Berbeda dengan Pak Agung, ia masih bertanya, "Ada apa ini? Kenapa kalian masuk tanpa izin? Kenapa Tuan Nur ditangkap?" "Tenang, Pak. Mari ikut saya ke luar." Di luar terjadi keramaian, warga yang ronda ikut membantu pengejaran orang-orang yang kabur. Tak lama, suasana mencekam itu sedikit mereda dengan dimasukkannya mereka ke mobil khusus—termasuk Bu Aini dan Pak Agung. Om Tio lebih memilih pergi

  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Misi Penggerebegan 2

    Beberapa hari ini, Rey sibuk chat bersama Rena dengan menggunakan nomor baru. Ia sengaja tidak berkomunikasi dengan Putri, mengingat ada Pak Agung di sana. Bahkan, Putri tidak jujur jika bapaknya masuk ke kelompok tersebut. Rey sengaja menghilangkan foto profile, takut jika Putri dalam keadaan ceroboh menyimpan ponsel. Namun, pria itu tetap bisa memonitor rumah serta keadaan Putri lewat sahabatnya, Rena. [Putri bilang sama Om Tio, katanya dia dijemput sama bapaknya. Gimana dong?] Membaca pesan itu, tidak membuat Rey kaget sama sekali. Sebab, ia tahu jika malam ini akan diadakan upacara suci di rumahnya Pak Agung. [Kita ketemu bisa? Ajak semua teman Putri. Aku punya rencana] Pesan sudah dibaca, tetapi Rena belum bisa memastikan apa-apa karena dia bertanya pada semua orang yang berhubungan dengan peristiwa ini. Akhirnya, jawaban dari mereka pun setuju untuk bertemu di tempat yang lebih private. Dengan cepat Rena membalas, [Oke. Di rumah aku aja Kak, biar lebih aman. Aku share alam

  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Misi Penggerebegan

    Setelah mengantar ibunya pulang ke rumah neneknya, gegas Putri pergi menuju tempat yang sudah dijanjikan oleh Rey. Yaitu, sebuah rumah dikawasan perumahan elite kota Bandung. Tak sulit bagi Putri untuk menemukan lokasi, sebab Rey sudah mengirim detail lokasi menggunakan WA—gadis itu hanya tinggal mengikuti arahan dari Google Map."Pak, Cempaka 2 kavling 2 di sebelah mana, ya," tanya Putri pada security saat sudah sampai di gerbang menuju perumahan. "Lurus, nanti belok kanan. Di sana ada keterangan nomornya, Neng," jawab pria itu sopan. "Makasih, Pak." Motor Putri kembali melaju, menapaki jalan yang ditunjukan oleh security tadi. Dari kejauhan, Putri melihat orang yang dicarinya tengah duduk di motornya. Ia langsung menghampiri Rey dan menekan klakson untuk mengagetkan karena pria berkemeja kotak biru itu sibuk dengan ponselnya.Rey menyambut kedatang Putri dengan tersenyum. Lantas, ia mengajak Putri untuk memasuki rumah yang beberapa bulan ini sering ia kunjungi. Di depan pintu r

  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Kehidupan Baru

    Sedih, bahagia, mati, dan hidup memang rahasia Tuhan. Lantas, apakah kesesatan ini bagian dari skenario Tuhan? Beribu kali aku berpikir, tetapi belum menemukan jawaban. Hanya bisa menangis di ranjang milik Ibu dan Bapak. Di luar tidak terdengar pembicaraan apa pun, hanya terdengar suara aktivitas memasak. Sepertinya Ibu. Tak lama, pintu dibuka. Aku menoleh sesaat. Ibu membawa nampan yang diisi nasi dan beberapa lauk. Pintu terbuka dengan lebar, entah kenapa bukannya ingin kabur, aku malah ingin bicara pada Ibu dari hati ke hati. Beliau meletakkan nampan di atas meja rias samping ranjang, lalu menarik kursinya dan duduk di sana. "Makan dulu, Neng. Kalo udah banyak tamu, Ibu bakalan sibuk."Pasti tamu yang Ibu maksud adalah orang-orang yang akan menghadiri upacara laknat nanti malam. Aku menghela napas kemudian menjawab, "Padahal Ibu ga usah bawa makanan, bukannya Putri bakalan jadi tumbal kalian? Akhirnya, kan, mati juga." "Kamu bukan menikah secara fisik, Put. Tapi hanya secara si

  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Aku Tidak Gila 2

    "Kamu ini kenapa, Gung? Emak perasaan kenal kamu sebagai orang yang kuat iman dan bertanggungjawab. Kenapa jadi gini?" tanya Nenek, Bapak hanya menunduk. Sengaja aku ikut duduk di samping Nenek, agar mudah menahan Bapak saat ingin bertemu Via. Ita aku suruh menemani kakaknya supaya ada teman mengobrol."Mak, saya melakukan ini supaya kehidupan saya dan anak-anak mendapat kedamaian." Nenek tampak menggeleng sembari mengucap istigfar. "Salat, Gung. Salat dan sedekah, dua hal eta yang bikin hidup damai. Kalo sekiranya kamu melakukan hal baik untuk anak-anak, mereka gak akan ketakutan gini pas ketemu kamu." "Mereka masih kecil, Mak. Belum paham dengan asam garam kehidupan," elak Bapak. Nenek tampak geram. "Kalau sampai terjadi sesuatu sama cucu Emak, demi Allah ... Emak gak akan maafin kalian." Karena takut darah tinggi Nenek kambuh, aku meminta beliau menemani Via dan Ita saja di kamar. Urusan bicara pada Bapak, biar aku yang hadapi, meski di hati ada rasa takut. Nenek pun beranjak

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status