Share

Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah
Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah
Penulis: Dini Lisdianti

Rumah Murah

"Cariin rumah yang murah. Gak apa-apa banyak hantunya, itu mah bisa diusir," ucap Bapak tergelak ketika mengobrol dengan Pak Hasan—tetangga yang memang jadi perantara untuk jual-beli rumah di kampungku.

Selama ini kami memang tinggal di rumah nenek dari pihak Ibu. Saudara Ibu sering sekali membicarakan keluarga kami karena tak mampu membeli rumah. Hingga akhirnya, bapak bekerja keras dan bisa menabung selama tiga tahun di bank. Entah berapa hasil tabungan Bapak sekarang.

"Sebenarnya ada, Pak. Malah saya udah coba tawarin ke mana-mana, pada gak mau. Udah nyerah tadinya, malah udah bilang ke yang punya gak akan nawarin lagi, capek. Tapi kalo Bapak mau, hayolah. Cuma, ya, itu ...."

Aku yang tengah mengerjakan tugas sekolah di depan komputer langsung mengubah posisi duduk, penasaran apa yang akan dijelaskan Pak Hasan tentang rumah itu karena memang tempat nonton TV dan ruang tamu hanya tersekat oleh dinding saja. Jadi, pembicaraan mereka bisa terdengar.

Tetiba Ibu melintas, membawa sepiring bakwan dan pisang goreng menggunakan nampan. Tak lupa dengan dua buat air yang terlihat mengepul. Sepertinya isinya kopi. Kesukaan Bapak. "Mangga disambil atuh. Biar enak ngobrolnya," ucap Ibu. Terdengar bunyi piring diletakkan di meja.

"Cuma gimana? Terusin atuh," ucap Bapak penasaran. Begitu juga denganku yang terus menguping.

"Rumahnya bekas korban bunuh diri, Pak." Penjelasan itu berhasil membuatku terperanjat, lantas menghampiri Bapak dan Ibu di ruangan sebelah.

Ibu pun menepuk kursi, memberi kode agar aku duduk di sebelahnya. "Terus, Pak?" timpalku bergegas duduk. Meski aku masih kelas 2 SMA, tetapi aku suka hal yang berbau horor. Lebih tepatnya, penasaran.

"Masalahnya, yang bunuh diri ...."

Belum sempat Pak Hasan menjelaskan, Bapak sudah memotong ucapan beliau. "Ah, cuma korban bunuh diri. Cukup rajin mengaji saja di rumah itu, urusan beres. Pasti korbannya tenang di alam sana. Mau dijual berapa memangnya?"

"30 juta nego, Pak. Kalau mau, kita bisa ke sana. Lokasinya ada di daerah Lembang."

Bayanganku, rumah harga segitu paling kecil dan mau roboh. Apalagi, mengingat tanah di Lembang terkenal mahal. Namun, aku masih penasaran dengan apa yang diucapkan oleh Pak Hasan tadi. Mau bertanya lebih lanjut, Bapak sudah berkata setuju dan meminta Pak Hasan untuk memakan makanan yang tersedia di meja. Tidak enak kalau sampai menganggu.

***

Hari Minggu kami pergi untuk melihat rumah tersebut. Pak Hasan membawa mobil, jadi Bapak tak perlu repot meminjam pada atasannya. Pekerjaan Bapak sebagai sopir pribadi. Gajinya lumayan, hanya saja utangnya banyak—bekas pinjam ke bank saat menikahkan adik bungsunya.

Ekspetasiku ternyata kalah dengan realita di lapangan. Rumah itu cukup besar, bahkan masuk dalam kategori bagus. Bagunannya kokoh, arsitekturnya saja mirip sekali dengan bangunan Belanda. Halamannya luas. Hanya saja, jauh dari rumah tetangga.

"Kayak bekas bangunan Belanda, Pak?" tanyaku.

"Iya, Neng. Dari zaman dulu ini. Cuma, kosong setelah kejadian 3 tahun yang lalu."

Ah, Pak Hasan malah bikin aku semakin penasaran. Akhirnya pria itu mempersilakan kami masuk, bahkan ia sudah membawa kuncinya. Adikku Via maju terlebih dahulu tanpa bicara, gadis yang baru duduk di kelas 2 SMP itu malah menolak untuk pindah sebenarnya.

Berbeda dengan Via, Ita terlihat gembira. Maklum saja, dia baru kelas 1 SD, mana paham dengan yang namanya lingkungan baru.

Kami pun mulai masuk, memperhatikan segala macam barang-barang di dalam yang masih lengkap. Semuanya tampak bagus dan unik. Apalagi guci-guci kecil di lemari kaca, seperti barang antik. Mungkin kalau kami sudah pindah, pasti pemiliknya akan membawa barang ini semuanya.

"Oh iya, Pak. Ini 30juta sudah beserta barang," kata Pak Hasan, membuat Bapak dan Ibu 'ber-hah' serempak. Kenapa aku malah merasa janggal, ya? Seperti ada yang tidak masuk akal.

Bapak langsung menjabat tangan Pak Hasan, pria bertubuh tambun itu berkata setuju dengan rumah ini. Sementara aku dan Ibu saling lirik. Sepertinya apa yang dipikirkan aku dan Ibu adalah sama. Kami pun kembali menyusuri ruangan demi ruangan. Ternyata rumah ini panjang ke belakang. Kamarnya pun ada tiga. Lumayan untuk keluarga kecil kami.

"Kita ke halaman belakang," ajak Pak Hasan.

Aku pun mengekor di belakang Ibu, sementara Via entah ke mana. Adikku itu memang sedikit pendiam, dia jarang berinteraksi bersama keluarga. Bisa dibilang cenderung asyik dengan dunianya sendiri.

"Putri, cari adik-adik kamu," bisik Ibu saat Pak Hasan sudah membuka pintu menuju halaman belakang.

"Iya nanti, Bu." Aku tak kalah berbisik.

Sekilas tidak ada yang aneh, hanya terlihat beberapa pohon besar—terutama di bagian tengah taman. Hanya saja, aku melihat ada bekas bakaran di rumput gajah, rumput yang sering digunakan untuk taman. Bekas bakarannya cukup luas, terlihat gosong-gosong di sana. Terutama bagian pohon, bawahnya tak kalah menghitam. Padahal sudah tiga tahun. Aneh.

"Duh, sayang banget bakar-bakar di taman. Jadi gak estetik, Pak," seruku sedikit mencebik.

"Bukan, Neng. Itu bekas yang bunuh diri," jawab Pak Hasan, membuatku menganga.

"Bakar diri, Pak?" tanyaku lagi.

Pak Hasan mengangguk. "Satu keluarga bakar diri. Ibu, bapak, dan dua anaknya."

Seketika bulu kuduk merinding. Aku melihat ada keraguan di wajah Bapak, tetapi beliau memilih mengalihkan pembicaraan. Malah, Bapak langsung menawar rumah itu agar diturunkan harganya sedikit. Semantara aku masih penasaran, siapa pemilik rumah ini? Kenapa bekas kebarannya tidak dibersihkan?

Aku terperanjat, saat tiba-tiba seseorang menarik tanganku. Ternyata itu Ita. "Kenapa?" tanyaku sembari berjongkok.

"Kak Via, Kak. Dia pingsan di bak mandi."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status